Rofiqotul Aini NIM 53325002
Program studi Doktor PAI
Pascasarjana UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Pendahuluan
Setiap
tanggal 25 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Guru Nasional sebagai
bentuk penghargaan kepada para pendidik yang telah mengabdikan diri untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Tahun 2025 ini menjadi momen reflektif yang
sangat penting di tengah derasnya arus digitalisasi
pendidikan, dimana guru menghadapi realitas baru: dunia
belajar yang semakin terbuka, serba cepat, dan sarat teknologi. Transformasi
digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk cara guru
mengajar, siswa belajar, serta bagaimana nilai-nilai pendidikan ditanamkan.
Teknologi
pendidikan menghadirkan kemudahan yang luar biasa: pembelajaran dapat dilakukan
di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Namun di balik kemajuan itu,
muncul pula tantangan etika yang
semakin kompleks, mulai dari integritas akademik, penyalahgunaan teknologi,
hingga mulai memudarnya nilai-nilai kemanusiaan dalam interaksi pendidikan.
Momentum
Hari Guru Nasional tahun 2025, hendaknya menjadi ajang refleksi bagi para guru
yang tidak hanya berperan sebagai pendidik dan pengajar ilmu pengetahuan,
tetapi juga sebagai penjaga nilai moral dan teladan etika bagi siswa di era digital. Sebagaimana perkataan Ki
Hadjar Dewantara (1936) bahwa:
“Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak; maksudnya, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.”
Dalam
konteks digitalisasi, kutipan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan sejatinya
tetap harus berorientasi pada kemanusiaan, bukan semata pada kemajuan
teknologi.
Pembahasan
Digitalisasi
pendidikan membawa banyak manfaat khususnya dalam hal pembelajaran. Proses
belajar mengajar kini menjadi lebih fleksibel dan inklusif. Guru dapat
memanfaatkan berbagai platform pembelajaran daring seperti Google Classroom,
Moodle, Learning Management System (LMS), zoom meeting, google meet
dan lain sebagainya. Kemudian Sumber belajar juga mudah sekali untuk diakses
seperti e-book, jurnal, proseding, dan video-video pembelajaran di youtube.
Media digital juga sudah sangat banyak seperti quizizz, kahoot, wordwall,
canva, google form yang bisa digunakan para guru dalam pembelajaran.
Disisi
lain kemajuan teknologi juga memunculkan dilema
etika dalam dunia pendidikan. Paling tidak ada empat
tantangan utama yang perlu diperhatikan: Pertama, tantangan integritas
akademik. Kemudahan akses informasi sering kali membuat siswa tergoda untuk
menyalin karya orang lain (copy paste) tanpa mencantumkan sumber.
Fenomena plagiarisme digital semakin
marak, terutama dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI) yang dapat menulis teks
secara instan. Disinilah guru memiliki peran penting dalam menanamkan etika
intelektual, diantaranya mengajarkan kejujuran akademik,
tanggung jawab terhadap karya ilmiah, serta kemampuan berpikir kritis terhadap
informasi yang diperoleh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paulo
Freire dalam bukunya pedagogy of the oppressed (1970) bahwa: “Education
does not change the world. Education changes people. People change the world.” Pendidikan
tidaklah bisa mengubah dunia. Pendidikan adalah proses mengubah manusia dan
manusialah yang kelak akan mengubah dunia.
Kedua, tantangan
privasi dan keamanan data. Pembelajaran digital merekam jejak
dan menyimpan banyak data pribadi siswa seperti: identitas , hasil belajar,
hingga interaksi daring. Tanpa literasi digital yang baik, guru dan siswa bisa
menjadi korban kebocoran data atau penyalahgunaan informasi. Karena itu, sangat
penting bagi guru untuk memiliki kesadaran
etika digital, yakni kemampuan memahami batas dan tanggung
jawab dalam penggunaan teknologi. Menurut Howard
Gardner, dalam bukunya Five
Minds for the Future (2006), salah satu kompetensi penting abad
ke-21 adalah “the ethical mind” yaitu pikiran
etis yang menuntun manusia untuk bertindak dengan kesadaran moral. Dunia
digital tidak hanya menuntut kita menjadi pintar, tetapi juga menjadi benar.
Ketiga,
tantangan dehumanisasi pendidikan. Kemajuan teknologi berisiko menjauhkan
hubungan emosional dan sosial antara guru dan siswa. Interaksi tatap muka yang
hangat antara guru dan siswa kini sering tergantikan oleh layar dan algoritma.
Pendidikan pun berpotensi kehilangan sentuhan kemanusiaannya. Padahal,
sebagaimana diungkapkan oleh John Dewey (1916), “Education
is not preparation for life; education is life itself.” Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan,
karena pada hakikatnya pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Yaitu hidup
yang penuh interaksi, empati, dan kemanusiaan. Guru memiliki tanggung jawab
untuk memastikan bahwa digitalisasi tidak menghapus nilai-nilai empati,
kepedulian, dan interaksi sosial yang membentuk karakter siswa. Teknologi
seharusnya menjadi sarana untuk memperkuat relasi kemanusiaan, bukan menggantikan
peran guru. Karena peran guru sebagai teladan tidaklah bisa tergantikan. Pendidikan harus tetap berfokus pada
pembentukan karakter, bukan sekadar pencapaian akademik.
Keempat, tantangan
kesenjangan digital dan tanggung jawab sosial. Tidak semua siswa dan guru
memiliki akses yang sama terhadap perangkat dan internet. Di beberapa daerah,
pembelajaran digital masih menjadi tantangan besar karena keterbatasan
infrastruktur. Oleh karena itu, digitalisasi harus disertai kebijakan yang berkeadilan
agar tidak memperlebar kesenjangan pendidikan.
Guru di
era modern tidak hanya dituntut untuk menguasai teknologi, tetapi juga untuk
menumbuhkan empati sosial artinya
memahami kondisi siswa dari berbagai latar belakang dan menyesuaikan strategi
pembelajaran dengan keadilan dan inklusivitas. Dalam semangat Hari Guru
Nasional, hal ini menjadi wujud nyata dari semboyan Ki Hadjar Dewantara yang
abadi: “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun
karso, tut wuri handayani.” Guru di era digital harus tetap menjadi
teladan (tulodho), penggerak semangat belajar (mangun karso), dan
pendorong kemandirian (tut wuri handayani).
Penutup
Digitalisasi
pendidikan adalah keniscayaan, tetapi etika
adalah kebutuhan. Teknologi tanpa nilai akan kehilangan arah,
sedangkan kecerdasan tanpa moral akan kehilangan makna. Oleh karena itu, di
tengah perubahan zaman, guru tetap menjadi sosok yang tak tergantikan. Guru
tetap memiliki posisi yang sangat strategis sebagai penjaga
moralitas dan nilai etika di tengah derasnya arus teknologi. Sebab
secanggih apa pun perangkat digital, ia tidak akan mampu menggantikan sentuhan
hati seorang guru. Guru adalah pelita di tengah kegelapan informasi, penuntun
di tengah derasnya arus digitalisasi.
Pada
peringatan Hari Guru Nasional 2025 ini,
mari kita renungkan kembali bahwa pendidikan digital bukan hanya tentang
inovasi, tetapi juga tentang kearifan. Digitalisasi
bukan ancaman, melainkan peluang untuk memperkuat makna kemanusiaan dalam
pendidikan. Tantangan etika adalah pengingat bahwa kecanggihan harus berjalan
seiring dengan kebijaksanaan. Akhir
kata “Guru hebat bukanlah yang paling mahir dalam
penguasaan teknologi, tetapi yang mampu menjadikan teknologi sebagai sarana
menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan”.
Selamat
Hari Guru Nasional 2025
Guru
Hebat, Etika Kuat, Indonesia Bermartabat.
Referensi:
Dewantara, Ki Hajar. (2004). Bagian pertama:
Pendidikan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa.
Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the
Oppressed. New York: Continuum. Work originally published, 19(5),
21-31.
Gardner,
Howard. (2006). Five Minds for the Future.
Harvard: Business School Press.
Dewey,
John. (1916). Democracy and Education. New
York: Macmillan.
0 Comments