Sinergi Tanpa Batas: Kolaborasi Guru dan Teknologi untuk Pembelajaran Berkualitas

 Nama: Husti Fauza Fidaroini

NIM: 20624001

Kelas: A

Di tengah percepatan transformasi digital, pendidikan Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang besar. Teknologi bukan lagi pelengkap, melainkan bagian tak terpisahkan dari proses belajar-mengajar. Namun, teknologi tanpa sentuhan guru berisiko menjadi alat kosong tanpa makna; sebaliknya, guru tanpa penguasaan teknologi berpotensi tertinggal dari dinamika zaman. Menyambut Hari Guru Nasional 2025 dengan tema “Guru Hebat, Indonesia Bermartabat di Era Digital”, esai ini menegaskan bahwa pembelajaran berkualitas hanya mungkin terwujud melalui kolaborasi sinergis antara guru dan teknologi di mana guru tetap menjadi jiwa dari proses pendidikan, sementara teknologi menjadi sayap yang memperluas jangkauan dan kedalaman belajar.

Kolaborasi antara guru dan teknologi bukan berarti teknologi menggantikan peran guru. Justru, teknologi menjadi sarana bagi guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif, personal, dan menarik. Di masa pandemi, ketika ruang kelas berpindah ke layar, guru-guru di seluruh Indonesia termasuk di daerah 3T berjuang mempelajari platform daring, membuat video pembelajaran, dan menjaga semangat siswa dari balik layar. Pengalaman itu membuktikan bahwa guru adalah penggerak utama, sementara teknologi hanyalah alat yang efektif ketika digunakan dengan niat dan strategi yang tepat.

Hari ini, kolaborasi tersebut bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Seorang guru IPA dapat menggunakan simulasi laboratorium virtual untuk memperlihatkan reaksi kimia yang berbahaya jika dilakukan langsung. Guru sejarah bisa mengajak siswa menjelajahi situs cagar budaya melalui virtual reality, sehingga pembelajaran tidak lagi abstrak. Bahkan, dengan bantuan learning management system seperti Google Classroom atau Rumah Belajar, guru dapat memberikan umpan balik instan, melacak progres belajar siswa, dan menyesuaikan materi sesuai kebutuhan individu sesuatu yang sulit dilakukan dalam kelas konvensional.

Lebih jauh lagi, teknologi memungkinkan diferensiasi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Namun, tanpa intervensi guru dalam memantau, memotivasi, dan mengarahkan penggunaan platform tersebut bisa jadi tidak optimal. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator digital menjadi krusial. Seperti dijelaskan Burhanudin dan Sitti (2023), integrasi keterampilan abad ke-21 dalam pembelajaran termasuk berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas, adaptasi, dan literasi teknologi hanya dapat terwujud jika guru menjadi arsitek aktif dalam proses tersebut, bukan sekadar pengguna pasif alat digital (Abdul et al., 2023).

Namun, kolaborasi ideal ini tidak terjadi begitu saja. Masih banyak guru yang menghadapi hambatan infrastruktur, keterbatasan pelatihan, atau keraguan terhadap perubahan. Di satu sisi, pemerintah telah meluncurkan program seperti Platform Merdeka Mengajar dan pelatihan TIK bagi guru; di sisi lain, implementasi di lapangan seringkali tidak merata. Data Kemdikbudristek (2024) menunjukkan bahwa hanya 48% guru di daerah terpencil yang mampu mengintegrasikan teknologi secara mandiri dalam pembelajaran sehari-hari. Oleh karena itu, kolaborasi guru dan teknologi juga memerlukan dukungan sistemik seperti akses internet yang adil, pelatihan berkelanjutan yang relevan, serta ruang bagi guru untuk bereksperimen tanpa takut gagal.

Lebih dari sekadar alat, teknologi juga membuka ruang bagi kolaborasi antarguru. Melalui komunitas daring, guru dari Sabang hingga Merauke bisa saling berbagi praktik baik, modul pembelajaran, atau strategi menghadapi siswa kesulitan belajar. Inilah wajah baru profesionalisme guru di era digital, tidak bekerja sendiri, tetapi saling menguatkan dalam ekosistem pembelajaran yang terbuka dan kolaboratif.

Namun, kolaborasi ini juga membawa tantangan etis. Penggunaan teknologi dalam pendidikan tidak boleh mengabaikan nilai moral dan akhlak. Dalam konteks ini, peran guru sebagai penjaga nilai kemanusiaan justru semakin penting. Sebagaimana diingatkan oleh Nurhabibah dkk. (2025), “Guru dan orang tua perlu menjadi teladan dalam penggunaan teknologi, misalnya dengan menunjukkan sikap bijak dalam bermedia sosial dan tidak menyebarkan informasi yang belum terverifikasi” (Mei et al., 2025). Tanpa keteladanan dan konsistensi nilai, teknologi justru bisa mempercepat degradasi moral siswa melalui paparan konten negatif, cyberbullying, atau plagiarisme.

Tantangan lain muncul dari ketimpangan digital. Tidak semua siswa memiliki perangkat atau kuota internet yang memadai. Di sinilah guru dituntut untuk kreatif melalui mengombinasikan metode daring dan luring, memanfaatkan media cetak digital yang bisa diunduh saat ada sinyal, atau menggunakan radio pendidikan seperti yang dilakukan di beberapa daerah 3T selama pandemi. Teknologi harus diadaptasi, bukan dipaksakan. Guru yang hebat adalah yang mampu menyesuaikan teknologi dengan realitas sosial siswanya.

Di level kebijakan, dukungan pemerintah harus lebih konkret. Selain pelatihan, guru membutuhkan akses ke perangkat yang layak, infrastruktur jaringan yang stabil, dan insentif untuk inovasi. Kolaborasi guru dan teknologi tidak akan optimal jika hanya mengandalkan semangat tanpa sarana yang memadai.

Yang perlu diingat, teknologi harus selalu diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang humanis. Penggunaan AI, misalnya, bukan untuk menggantikan penilaian guru terhadap siswa, melainkan untuk membantu guru memahami pola belajar siswa secara lebih mendalam. Demikian pula, video interaktif atau kuis daring tidak boleh hanya mengejar “keseruan”, tetapi harus dirancang untuk memupuk rasa ingin tahu, sikap kritis, dan kreativitas inti dari pembelajaran berkualitas.

Kolaborasi antara guru dan teknologi bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk membangun pendidikan Indonesia yang berdaulat, adil, dan bermartabat. Di tangan guru yang melek teknologi, teknologi menjadi alat emansipasi membebaskan siswa dari keterbatasan ruang, waktu, dan latar belakang. Namun, tanpa nilai, empati, dan kebijaksanaan guru, teknologi hanyalah gema kosong di ruang maya.

Peran ini terasa paling krusial di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), di mana infrastruktur digital masih minim, tetapi semangat belajar tak pernah padam. Di sana, guru sering kali menjadi satu-satunya jembatan antara dunia luar dan murid-muridnya. Mereka tidak hanya mengajar, tapi juga mencari sinyal di puncak bukit untuk mengunduh materi, membuat modul cetak dari konten daring, atau mengajak siswa belajar lewat WhatsApp ketika aplikasi berat tak bisa diakses. Inilah wujud kolaborasi nyata: bukan sekadar menggunakan teknologi canggih, tetapi menghadirkan makna dari keterbatasan, dengan kreativitas dan keteguhan hati.

Lebih dari itu, di tengah banjir informasi dan konten instan, guru menjadi penjaga moralitas digital. Mereka tidak hanya mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi, tapi juga untuk apa dan dengan nilai apa. Dalam kelas, guru menanamkan etika digital: menghargai hak cipta, menghindari hoaks, dan bersikap empati di ruang maya. Inilah esensi "Guru Hebat" di era digital bukan yang paling mahir coding, tapi yang paling konsisten menanamkan karakter di tengah gemuruh disrupsi.

Di Hari Guru Nasional 2025 ini, mari kita dukung guru-guru yang terus belajar, beradaptasi, dan berinovasi bukan demi mengikuti tren, tetapi demi masa depan anak bangsa. Karena hanya ketika guru dan teknologi berjalan beriringan, kita bisa memastikan bahwa setiap anak Indonesia, di mana pun berada, berhak atas pembelajaran yang berkualitas, bermakna, dan membebaskan.

 

Daftar pustaka

Abdul, B., Mantau, K., Talango, S. R., Komunikasi, K., Kolaborasi, K., Kreativitas, K., & Adaptasi, K. (2023). Irfani : jurnal pendidikan islam PROSES PEMBELAJARAN ( LITERATURE REVIEW ) Irfani : jurnal pendidikan islam. 19, 86–107.

Mei, N., Nurhabibah, S., Sari, H. P., Fatimah, S., Tarbiyah, F., Islam, P. A., Negeri, U. I., Syarif, S., Riau, K., Panam, A. K., Hr, J., No, S., & Baru, S. (2025). Pendidikan Karakter di Era Digital : Tantangan dan Strategi dalam Membentuk Generasi Berakhlak Mulia sumber informasi . Namun , fenomena ini juga memunculkan tantangan baru , yakni pengaruh. 3.

 

Post a Comment

0 Comments