DIGITALISASI PENDIDIKAN DAN TANTANGAN ETIKA DI ERA MODERN

Oleh: Rifki Nuriza (50324005/MPGMI A)

Pendahuluan

Di era modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi digital, pendidikan telah mengalami transformasi radikal. Digitalisasi pendidikan, yang mencakup penggunaan platform e-learning, kecerdasan buatan (AI), dan media sosial sebagai alat pembelajaran, telah membuka pintu bagi akses pendidikan yang lebih luas dan inklusif. Menurut UNESCO, lebih dari 1,5 miliar siswa di seluruh dunia terkena pandemi COVID-19, yang mempercepat adopsi teknologi digital dalam pendidikan sebagai solusi darurat. Namun dibalik manfaatnya, digitalisasi ini juga membawa tantangan etika yang kompleks, seperti isu privasi data, ketimpangan akses, dan integritas akademik. Tantangan ini tidak hanya mempengaruhi kualitas pendidikan tetapi juga nilai-nilai moral yang menjadi dasar pendidikan itu sendiri.

Relevansi tema ini dengan Hari Guru Nasional 2025 tidak bisa diabaikan. Hari Guru Nasional, yang diperingati setiap tanggal 25 November di Indonesia, merupakan momen untuk menghormati peran guru sebagai pahlawan pendidikan. Pada tahun 2025, perayaan ini akan jatuh pada era pasca-pandemi di mana digitalisasi pendidikan semakin mendominasi. Guru, sebagai aktor utama dalam ekosistem pendidikan, berpikir pada dilema etika: bagaimana memanfaatkan teknologi untuk menginspirasi siswa tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan dan kejujuran. Dengan latar belakang ini, esai ini akan menganalisis manfaat dan tantangan etika digitalisasi pendidikan, sekaligus menghitung peran guru dalam menghadapinya, sebagai persiapan menuju Hari Guru Nasional 2025. Melalui diskusi ini, kita diharapkan dapat merumuskan gagasan yang lebih bijak untuk masa depan pendidikan yang etis dan inklusif.

Isi

                Digitalisasi pendidikan telah menjadi kekuatan pendorong perubahan positif di era modern. Secara argumentatif, teknologi digital memungkinkan akses pendidikan yang demokratis, di mana siswa di daerah terpencil dapat mengikuti kelas virtual melalui platform seperti Google Classroom atau Zoom. Menurut laporan World Economic Forum (2023), AI dalam pendidikan dapat mempersonalisasi pembelajaran, membantu siswa dengan kebutuhan khusus, dan meningkatkan efisiensi guru. Misalnya, alat seperti Duolingo atau Khan Academy menawarkan konten edukasi gratis yang dapat diakses kapan saja, sehingga mengurangi ketergantungan pada buku teks tradisional. Namun dibalik manfaat ini, terdapat tantangan etika yang perlu dijelaskan secara mendalam, karena digitalisasi seringkali mengabaikan aspek kemanusiaan.

Salah satu tantangan etika utama adalah isu privasi dan keamanan data. Di era digital, data siswa seperti riwayat pembelajaran dan preferensi pribadi sering dikumpulkan oleh platform pendidikan untuk tujuan analisis. Argumen saya adalah bahwa hal ini dapat menimbulkan pelanggaran privasi, di mana data tersebut rentan disalahgunakan oleh pihak ketiga, seperti perusahaan teknologi atau bahkan pemerintah. Sebuah studi dari Electronic Frontier Foundation (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 50% aplikasi pendidikan mengumpulkan data tanpa persetujuan yang jelas, yang berpotensi mengakibatkan diskriminasi atau eksploitasi. Refleksi saya sebagai pendidik hipotetis: Bayangkan seorang guru yang harus memilih antara menggunakan AI untuk menjaga kemajuan siswa atau menjaga privasi mereka. Pengalaman pribadi saya, meskipun hipotetis, mengingatkan pada saat saya mengajar dengan berani dan menemukan bahwa siswa merasa tidak nyaman ketika aktivitas mereka dilacak secara real-time. Dilema ini mencerminkan etika yang lebih luas: bagaimana menyeimbangkan inovasi teknologi dengan hak asasi manusia?

Lebih jauh lagi, ketimpangan akses menjadi tantangan etika yang argumentatif saya soroti sebagai bentuk ketidakadilan struktural. Digitalisasi pendidikan mengasumsikan bahwa semua siswa memiliki akses yang sama terhadap perangkat dan internet, padahal kenyataannya tidak demikian. Di Indonesia, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2023), sekitar 30% siswa di pedesaan masih kesulitan mengakses gadget dan koneksi stabil, memperlebar jurang pendidikan antara kelas sosial. Ini bukan hanya masalah teknologi, tetapi juga etika, karena digitalisasi dapat memperkuat diskriminasi jika tidak diikuti dengan kebijakan inklusif. Refleksi saya: Sebagai seorang yang pernah mengajar di sekolah pedalaman, saya merasakan betapa frustasinya siswa yang tertinggal karena tidak memiliki smartphone, sementara teman-temannya di kota maju dengan mudah. Gagasan saya adalah bahwa pemerintah dan institusi pendidikan harus menerapkan program afirmatif, seperti distribusi perangkat gratis, untuk memastikan digitalisasi tidak menjadi alat opresi.

Tantangan etika lainnya adalah integritas akademik, seperti plagiarisme yang semakin marak dengan bantuan AI seperti ChatGPT. Secara argumentatif, teknologi ini memudahkan siswa untuk menyalin tugas tanpa usaha, yang mengeros nilai-nilai kejujuran dan kreativitas. Laporan dari Turnitin (2024) menunjukkan peningkatan 20% kasus plagiarisme di kalangan pelajar sejak pandemi. Refleksi saya: Dalam pengalaman hipotetis sebagai guru, saya pernah menghadapi siswa yang mengandalkan AI untuk mengerjakan esai, yang membuat saya memikirkan apakah teknologi ini membunuh rasa ingin tahu alami mereka. Untuk mengatasi hal ini, saya menganjurkan pendekatan reflektif, seperti mengintegrasikan pelajaran etika digital ke dalam kurikulum, di mana siswa belajar tentang konsekuensi moral dari plagiarisme. Selain itu, Kecanduan teknologi menjadi isu psikologis yang sering diabaikan. Digitalisasi dapat menyebabkan siswa kecanduan layar, yang berdampak pada kesehatan mental, seperti depresi dan kurangnya interaksi sosial. Argumen saya adalah bahwa guru harus menjaga etika, dengan menerapkan batasan penggunaan teknologi dan mendorong pembelajaran berbasis manusia.

Dalam refleksi keseluruhan, digitalisasi pendidikan adalah pisau bermata dua: ia menawarkan kemajuan tetapi juga menguji nilai-nilai etika kita. Gagasan inspiratif saya adalah bahwa guru dapat menjadi agen perubahan dengan mengadopsi pendekatan holistik, seperti pelatihan etika digital dalam program pengembangan guru, untuk mempersiapkan Hari Guru Nasional 2025 sebagai momen transformasi.

Penutup

Digitalisasi pendidikan di era modern telah membawa manfaat luar biasa tetapi juga tantangan etika yang mendalam, seperti privasi data, ketimpangan akses, integritas akademik, dan dampak psikologis. Analisis saya menunjukkan bahwa tanpa pendekatan etis, teknologi dapat melecehkan ketidakadilan dan mengeros nilai-nilai pendidikan. Refleksi atas pengalaman hipotetis ini menggarisbawahi perlunya keseimbangan antara inovasi dan moralitas, di mana guru berperan sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan.

Seiring menjelang Hari Guru Nasional 2025, mari kita jadikan momen ini sebagai inspirasi untuk aksi kolektif. Guru bukan hanya sekedar penyampai pengetahuan, namun juga pemimpin etis yang dapat membentuk generasi masa depan. Pesan inspiratif saya:Biarkan digitalisasi menjadi alat untuk membangun dunia yang lebih adil dan bermoral, di mana setiap siswa kekuatan merasakan teknologi tanpa kehilangan esensi kemanusiaan. Dengan komitmen bersama, kita dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang, menciptakan pendidikan yang tidak hanya cerdas secara teknologi tetapi juga bijak secara etis.

 

Post a Comment

0 Comments