GURU HEBAT, BENTENG MORAL DI TENGAH BADAI MEDIA SOSIAL “PERAN GURU DALAM MENANGKAL DAMPAK NEGATIF MEDIA SOSIAL”

Oleh : Agus Royo (50324011)

Setiap 25 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Guru Nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap para pendidik yang telah berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa. Peringatan tahun 2025 mengusung tema “Guru Hebat, Benteng Moral di Tengah Badai Media Sosial.” Tema ini terasa sangat relevan ketika kita melihat bagaimana dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan besar: derasnya arus informasi dan pengaruh media sosial yang tidak selalu positif.

Di satu sisi, media sosial membuka peluang luar biasa untuk belajar, berbagi ilmu, dan berinovasi. Namun di sisi lain, ia juga menjadi sumber misinformasi, budaya instan, serta degradasi moral di kalangan generasi muda. Dalam konteks inilah, peran guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai benteng moral dan filter nilai yang menjaga peserta didik agar tetap berpikir kritis dan berperilaku etis di tengah banjir informasi digital.

Hari Guru Nasional 2025 menjadi momentum reflektif untuk menegaskan kembali pentingnya peran guru dalam menangkal dampak negatif media sosial serta membangun karakter generasi digital yang cerdas, santun, dan berintegritas.

1. Media Sosial: Pisau Bermata Dua bagi Dunia Pendidikan

Kemajuan teknologi membawa berkah sekaligus ujian. Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan siswa. Mereka dapat mengakses pelajaran daring, menonton video edukatif, atau berdiskusi di forum belajar digital. Namun, tanpa bimbingan yang bijak, media sosial dapat menjadi “ruang gelap” yang menjerumuskan: penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga budaya konsumtif dan hedonisme.

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (2024), lebih dari 80% pelajar di Indonesia aktif di media sosial setiap hari. Sayangnya, literasi digital mereka belum seimbang dengan tingkat konsumsi informasi yang tinggi. Di sinilah peran guru menjadi krusial. Guru bukan hanya fasilitator pembelajaran, tetapi juga navigator moral yang membimbing siswa agar mampu memilah informasi dan menggunakan media sosial secara bertanggung jawab.

2. Guru Sebagai Role Model di Era Digital

Keteladanan guru merupakan kunci dalam membentuk perilaku siswa. Di era digital, keteladanan ini tidak hanya ditunjukkan di ruang kelas, tetapi juga di dunia maya. Guru yang aktif berbagi konten edukatif, menulis refleksi inspiratif di media sosial, atau mengajak siswa berdiskusi mengenai etika digital akan menjadi contoh nyata bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk kebaikan.

Guru hebat adalah mereka yang tidak menolak perubahan, tetapi justru menaklukkannya dengan nilai. Seorang guru yang mampu menggunakan platform digital sebagai ruang belajar akan membuat siswa melihat bahwa media sosial bukan tempat untuk mengeluh atau bersaing popularitas, melainkan sarana untuk menebar ilmu dan kebaikan.

Sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Di era digital, pernyataan itu menemukan makna baru: setiap unggahan guru adalah pengajaran, dan setiap interaksi daring adalah kesempatan untuk menanamkan nilai.

3. Strategi Guru Menangkal Dampak Negatif Media Sosial

Peran guru di era digital bukan sekadar menegur siswa yang terlalu lama bermain ponsel, melainkan mengarahkan dan memfasilitasi penggunaan teknologi secara produktif. Ada beberapa strategi konkret yang dapat dilakukan:

  • Integrasi literasi digital dalam pembelajaran. Guru dapat mengajarkan cara mengenali berita palsu, pentingnya menjaga privasi digital, serta etika berkomentar di media sosial.
  • Pemanfaatan media sosial untuk pembelajaran positif. Misalnya, guru membuat tantangan edukatif di TikTok seperti “Math Challenge” atau vlog reflektif tentang nilai-nilai karakter.
  • Kolaborasi dengan orang tua. Pendidikan etika digital tidak cukup hanya di sekolah. Guru dapat bekerja sama dengan orang tua untuk memantau aktivitas daring anak dan menanamkan disiplin digital.
  • Menumbuhkan budaya literasi dan diskusi kritis. Guru dapat mengajak siswa membedah isu-isu viral dengan pendekatan ilmiah, agar mereka terbiasa berpikir analitis, bukan reaktif.

Dengan strategi ini, guru berperan ganda: sebagai pendidik dan penjaga moralitas digital yang menuntun generasi muda agar tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus teknologi.

4. Refleksi Pribadi: Belajar dari Keteladanan Guru

Sebagai mahasiswa yang pernah merasakan bimbingan guru di masa sekolah, penulis menyadari bahwa nilai-nilai yang ditanamkan guru jauh lebih berharga daripada sekadar pengetahuan akademik. Seorang guru di sekolah menengah dahulu pernah berkata, “Bijaklah sebelum mengunggah, karena setiap kata adalah cermin diri.” Kalimat itu sederhana, namun terus terngiang hingga kini setiap kali hendak menulis sesuatu di dunia maya.

Pengalaman tersebut mengajarkan bahwa pendidikan karakter tidak lahir dari ceramah panjang, tetapi dari teladan yang konsisten. Guru yang sabar, disiplin, dan berhati-hati dalam berkata telah membentuk generasi yang lebih berhati-hati pula dalam bermedia sosial. Itulah makna sejati dari guru hebat: bukan sekadar mengajar, melainkan menginspirasi dengan tindakan nyata.

Guru di era digital menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya. Namun, tantangan itu sekaligus menjadi peluang untuk membuktikan bahwa guru tetap memiliki peran sentral dalam membangun peradaban bangsa.

Guru hebat bukan mereka yang menggantikan peran teknologi, melainkan yang mampu mengarahkan teknologi agar berpihak pada kemanusiaan. Dengan kebijaksanaan, empati, dan semangat literasi, guru menjadi benteng terakhir yang menjaga moral generasi muda di tengah derasnya arus informasi.

Pada Hari Guru Nasional 2025 ini, marilah kita kembali meneguhkan komitmen: bahwa guru adalah penjaga nurani bangsa, penuntun di era digital, dan penggerak Indonesia bermartabat.

“Guru yang hebat tidak hanya mengajarkan rumus dan teori, tetapi juga menyalakan api kebijaksanaan di hati muridnya.”

 

Post a Comment

0 Comments