REVOLUSI PERAN GURU DALAM ERA DIGITAL: Inovasi, Tantangan, dan Harapan Menjelang Hari Guru 2025

SHODIKUN; UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan (shodikun@mhs.uingusdur.ac.id)

A.    Pendahuluan

1.      Latar Belakang

Zaman digital telah menjungkirbalikkan cara manusia, termasuk dalam ranah pendidikan. Akses internet, perangkat mobile, kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI), dan pembelajaran berbasis kode (coding) menjadi bagian dari realitas sehari-hari. Di dalam konteks ini, peranan guru tidak lagi sekadar sebagai penyampai informasi atau “penceramah di depan kelas,” melainkan harus berkembang menjadi inovator, fasilitator, desainer pengalaman belajar, dan pembimbing dalam dunia yang berubah begitu cepat.

Menjelang Hari Guru 2025 (25 Oktober 2025), momentum ini menjadi relevan untuk merefleksikan bagaimana guru dapat merespons tantangan zaman digital dan mengambil posisi strategis dalam memajukan kualitas pendidikan Indonesia.

2.      Relevansi dengan Hari Guru 2025 dan Inisiatif Regional

Sejalan dengan peringatan Hari Guru 2025, berbagai inisiatif telah diluncurkan untuk meningkatkan kompetensi guru, terutama di Jawa Tengah. Kerja sama antara Pimpinan Wilayah Ikatan Guru Indonesia Jawa Tengah (IGI Jateng), STEKOM Semarang, Garuda 21, Telkom Jawa Tengah, dan Google Indonesia menyelenggarakan pelatihan Pembelajaran Mendalam (deep learning) dan Koding, dan Kecerdasan Artifisial (KKA) di hampir setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah. Program ini dirancang untuk menyiapkan guru menjadi agen perubahan digital dan memperkuat kesiapan dalam menghadapi transformasi pendidikan nasional.

Pelatihan semacam ini bukan sekadar tambahan program—melainkan bagian integral dari strategi peningkatan kapasitas guru agar relevan dan bermakna dalam era revolusi industri 4.0 dan pasca-pandemi.

B.     Pembahasan

  1. Analisis: Tantangan dan Peluang Guru dalam Era Digital

Tantangan utama dalam mewujudkan inovasi pendidikan di era digital tidak hanya berkaitan dengan semangat guru untuk berubah, tetapi juga dengan kondisi nyata di lapangan yang sering kali belum mendukung. Salah satu hambatan terbesar adalah kesenjangan infrastruktur dan akses teknologi di berbagai wilayah Indonesia. Sekolah-sekolah di daerah tertinggal masih banyak yang mengalami kesulitan dalam memperoleh koneksi internet yang stabil, perangkat pembelajaran yang memadai, serta dukungan teknis yang diperlukan untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis digital. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ketimpangan antara sekolah perkotaan yang relatif siap dengan sekolah pedesaan yang masih bergantung pada metode konvensional. Tanpa fondasi infrastruktur yang kuat, gagasan tentang transformasi pendidikan digital akan sulit diwujudkan secara merata di seluruh pelosok negeri (Jurnal Unmer).

Selain persoalan infrastruktur, kesiapan kompetensi guru juga menjadi tantangan yang tidak kalah penting. Sebagian besar guru masih menghadapi kesenjangan keterampilan dalam hal coding, pemanfaatan kecerdasan buatan (AI), maupun penggunaan metode pembelajaran digital yang efektif. Perubahan paradigma dari pembelajaran tradisional menuju pembelajaran berbasis teknologi membutuhkan proses adaptasi yang berkelanjutan. Guru tidak hanya dituntut untuk memahami materi ajar, tetapi juga untuk menguasai perangkat digital serta mampu mendesain pengalaman belajar yang interaktif dan relevan bagi peserta didik abad ke-21. Kondisi ini menegaskan pentingnya program pelatihan berkelanjutan yang sistematis, seperti yang diungkapkan dalam penelitian Journal Universitas Pasundan, bahwa pembelajaran sepanjang hayat menjadi kunci utama bagi guru untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Namun, kendala dalam mengadopsi teknologi tidak selalu bersifat teknis. Ada pula faktor psikologis berupa resistensi dan kecemasan yang dirasakan oleh sebagian guru. Kekhawatiran bahwa teknologi akan menggantikan peran mereka di kelas, atau rasa tidak percaya diri terhadap kemampuan diri untuk mengikuti perkembangan digital, sering kali menjadi penghambat utama inovasi. Guru yang telah lama terbiasa dengan metode konvensional cenderung merasa tidak nyaman mencoba hal-hal baru yang melibatkan perangkat atau aplikasi digital. Jika kecemasan ini tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat, maka upaya transformasi pendidikan berisiko berjalan lambat. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan yang empatik dan lingkungan belajar yang suportif agar guru dapat melihat teknologi sebagai mitra yang memperkuat, bukan menggantikan, peran mereka sebagai pendidik.

Di sisi lain, beban kerja yang tinggi dan tumpukan tugas administratif juga menjadi faktor yang menghambat guru untuk berinovasi. Banyak guru yang harus membagi waktu antara mengajar, menyusun perangkat pembelajaran, melaksanakan penilaian, hingga mengisi berbagai laporan administratif yang diwajibkan oleh sistem pendidikan. Situasi ini sering kali membuat guru kesulitan untuk menyisihkan waktu bagi eksplorasi teknologi baru atau pengembangan materi ajar berbasis digital. Padahal, inovasi membutuhkan ruang dan waktu untuk bereksperimen, mencoba, serta melakukan refleksi. Jika beban administratif tidak dikelola dengan baik, potensi kreativitas guru akan terhambat. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan dan dukungan institusional yang meringankan beban administratif, sekaligus memberikan ruang bagi guru untuk berfokus pada pengembangan kompetensi dan inovasi pembelajaran.

Secara keseluruhan, tantangan-tantangan tersebut menggambarkan bahwa inovasi pendidikan di era digital tidak dapat dipandang hanya dari sisi teknologi semata. Ia merupakan proses kompleks yang melibatkan kesiapan infrastruktur, peningkatan kompetensi, perubahan mindset, dan penataan sistem kerja yang mendukung guru untuk berkembang. Jika keempat aspek ini dapat ditangani secara sinergis, maka guru Indonesia akan mampu bertransformasi menjadi agen pembelajaran yang tangguh, kreatif, dan relevan di tengah laju perkembangan teknologi global.

Di balik berbagai tantangan yang dihadapi dunia pendidikan, tersimpan peluang besar bagi guru untuk mengambil peran strategis dalam memajukan inovasi pembelajaran di era digital. Salah satu peluang utama terletak pada pemanfaatan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti peran guru. AI dapat digunakan untuk menganalisis hasil belajar siswa, menyesuaikan tingkat kesulitan materi, serta memberikan rekomendasi pengayaan sesuai kebutuhan individu. Dengan demikian, proses belajar menjadi lebih personal dan efektif. Namun, peran manusia tetap tidak tergantikan — guru tetap menjadi fasilitator moral, sosial, dan emosional yang membimbing siswa dalam mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan etika dalam belajar. Kehadiran AI justru memperkuat fungsi guru sebagai pengarah pembelajaran yang lebih bermakna dan berorientasi pada karakter.

Selain AI, peluang besar juga muncul melalui penguatan pelajaran coding dan literasi data di lingkungan sekolah. Pemerintah Indonesia, melalui dukungan berbagai institusi seperti Universitas Gadjah Mada, telah merencanakan integrasi coding dan AI dalam kurikulum nasional mulai dari tingkat dasar hingga menengah. Langkah ini tidak hanya memperluas wawasan teknologi siswa, tetapi juga membuka kesempatan bagi guru untuk menjadi pemandu kompetensi abad ke-21. Dengan memahami dasar-dasar pemrograman dan analisis data, guru dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis, dan kreatif. Melalui pendekatan ini, guru berperan penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga mampu menciptakan solusi inovatif untuk berbagai tantangan sosial dan ekonomi di masa depan.

Peluang berikutnya dapat ditemukan melalui kolaborasi lintas sektor antara dunia pendidikan dan industri teknologi. Kerja sama antara organisasi profesi seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI) Jawa Tengah, perguruan tinggi seperti STEKOM Semarang, Garuda 21, serta perusahaan besar seperti Telkom dan Google Indonesia telah membuka jalan bagi peningkatan kompetensi guru dalam bidang digital. Melalui kolaborasi semacam ini, guru memperoleh akses pada sumber daya pelatihan, perangkat digital, serta platform pembelajaran yang inovatif. Lebih dari itu, kerja sama multi-pihak ini memperluas jejaring profesional guru dan mempercepat penyebaran praktik baik di berbagai daerah. Dengan saling berbagi pengalaman dan inovasi, komunitas guru dapat tumbuh menjadi kekuatan kolektif yang mampu mendorong transformasi pendidikan secara nasional.

Selain dalam ranah kolaborasi, era digital juga menawarkan peluang besar bagi guru untuk mengembangkan kreativitasnya melalui pembuatan materi ajar digital. Guru kini memiliki kesempatan untuk merancang e-book interaktif, video pembelajaran, simulasi, hingga aplikasi berbasis AI, virtual reality (VR), atau augmented reality (AR). Materi ajar digital seperti ini tidak hanya membuat proses belajar lebih menarik, tetapi juga menumbuhkan partisipasi aktif siswa dalam eksplorasi pengetahuan. Contoh inisiatif dari Fakultas Sains dan Teknologi yang melatih guru SMK dalam pembuatan materi digital membuktikan bahwa transformasi pembelajaran bukan lagi konsep abstrak, melainkan realitas yang sedang berkembang. Dengan terus berinovasi, guru tidak hanya berperan sebagai pengguna teknologi, tetapi juga sebagai pencipta konten pendidikan yang relevan, inspiratif, dan berdaya guna bagi generasi masa depan.

Secara keseluruhan, peluang-peluang ini memperlihatkan bahwa guru bukan sekadar penonton dalam arus revolusi digital, melainkan aktor utama yang menentukan arah perubahan pendidikan. Dengan memanfaatkan AI, menguasai coding, membangun kolaborasi lintas sektor, dan berkreasi melalui media digital, guru dapat menjadi pionir inovasi yang menghadirkan pembelajaran yang lebih kontekstual, kreatif, dan humanis. Inilah momentum bagi guru Indonesia untuk melangkah lebih jauh,  tidak hanya beradaptasi terhadap teknologi, tetapi juga memimpin perubahan dengan semangat belajar tanpa henti dan dedikasi terhadap kemajuan bangsa.

      2.     Gagasan: Strategi dan Model Inovasi Guru

Model inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru di era digital menuntut perpaduan antara kreativitas pedagogis dan pemanfaatan teknologi mutakhir. Salah satu model yang menjanjikan adalah desain pembelajaran hybrid yang diperkaya dengan kecerdasan buatan atau AI-augmented learning. Model ini menggabungkan pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran daring (online), sehingga siswa memperoleh fleksibilitas dalam belajar. Teknologi AI berperan membantu guru menyesuaikan materi sesuai kemampuan individu siswa, memberikan latihan tambahan bagi yang membutuhkan, serta merekomendasikan kegiatan pengayaan bagi siswa berprestasi. Melalui pendekatan ini, pembelajaran menjadi lebih personal dan efektif, sementara guru dapat memantau perkembangan setiap siswa secara real-time tanpa kehilangan sentuhan humanistik dalam proses belajar.

Selain itu, pendekatan Project-Based Learning (PBL) berbasis coding dan AI juga menjadi salah satu model inovatif yang dapat diterapkan. Dalam model ini, guru mendorong siswa untuk belajar melalui proyek konkret, seperti membuat aplikasi sederhana, chatbot, atau melakukan analisis data menggunakan algoritma dasar. Pendekatan berbasis proyek tidak hanya melatih keterampilan teknis, tetapi juga menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, dan kreatif. Dengan memanfaatkan coding dan AI sebagai alat pembelajaran, guru membantu siswa memahami bahwa teknologi bukan sekadar alat konsumtif, melainkan media untuk mencipta dan berinovasi. Proyek-proyek semacam ini juga dapat diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran, menjadikan pembelajaran lebih kontekstual dan relevan dengan tantangan abad ke-21.

Inovasi tidak akan berjalan efektif tanpa adanya kolaborasi antarguru. Oleh karena itu, pembentukan komunitas praktik (Communities of Practice) menjadi model penting dalam memperkuat ekosistem pembelajaran digital. Melalui wadah seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI) Jawa Tengah, guru dapat saling berbagi pengalaman, modul, dan ide adaptasi teknologi di kelas. Kegiatan pelatihan yang diselenggarakan bersama STEKOM Semarang, Telkom, dan Google Indonesia menjadi contoh nyata kolaborasi lintas lembaga yang mendorong pertukaran pengetahuan dan praktik baik antarpendidik. Kolaborasi semacam ini tidak hanya meningkatkan kapasitas individu guru, tetapi juga menciptakan jejaring profesional yang dapat mempercepat adopsi inovasi di berbagai daerah.

Sejalan dengan itu, pengembangan kompetensi guru dapat diperkuat melalui program micro-credential dan pembelajaran berkelanjutan. Program ini berupa kursus singkat bersertifikat, seperti “Coding untuk Guru” atau “AI di Kelas”, yang memungkinkan guru memperoleh keterampilan baru tanpa harus meninggalkan kewajiban mengajar. Pendekatan micro-credential memberikan fleksibilitas bagi guru untuk belajar sesuai minat dan kebutuhan mereka, sekaligus memperkaya portofolio profesional. Dengan adanya sertifikat digital yang diakui secara nasional maupun internasional, guru dapat terus memperbarui kompetensi mereka dalam menghadapi perkembangan teknologi yang cepat. Inisiatif semacam ini juga menumbuhkan budaya lifelong learning, di mana guru terus berkembang dan beradaptasi sepanjang kariernya.

Namun, inovasi digital tidak dapat dilepaskan dari dimensi etika dan literasi AI. Guru memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa penggunaan teknologi di kelas tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Mereka perlu mengajarkan siswa tentang pentingnya menjaga privasi data, memahami potensi bias dalam algoritma, serta bersikap kritis terhadap informasi yang dihasilkan oleh sistem cerdas. Studi Indonesian Teachers’ Roles in Designing and Utilizing AI Tools dalam IJLTER (2025) menunjukkan bahwa guru berperan penting dalam membangun kerangka etika penggunaan AI di lingkungan pendidikan. Dengan memadukan inovasi dan kesadaran etis, guru dapat memastikan bahwa teknologi menjadi sarana pembebasan pengetahuan, bukan alat yang membatasi kemanusiaan.

Secara keseluruhan, kelima model inovasi tersebut menunjukkan bahwa peran guru di era digital tidak lagi terbatas pada penyampai materi, tetapi telah bergeser menjadi perancang pengalaman belajar yang dinamis, reflektif, dan berorientasi masa depan. Melalui kombinasi AI, coding, kolaborasi profesional, pelatihan berkelanjutan, dan kesadaran etika, guru dapat memimpin transformasi pendidikan menuju arah yang lebih adaptif dan berkeadilan.

 

3.      Refleksi dan Pengalaman: Kisah Praktis dan Makna bagi Guru

Sebagai refleksi, saya melihat beberapa pengalaman guru yang telah mengikuti pelatihan digital menunjukkan bahwa:

·     Guru awalnya merasa canggung menggunakan aplikasi AI atau alat coding, namun setelah didampingi dalam kelompok kecil, mereka mulai percaya diri membuat modul interaktif.

·      Beberapa guru memadukan metode pembelajaran tradisional dengan tantangan coding ringan (misalnya dalam pelajaran matematika) sehingga murid merasa lebih antusias.

·    Terdapat perubahan mindset: dari “saya mengajar” ke “saya belajar bersama siswa dalam ekosistem digital,” menjadikan guru sebagai pembelajar seumur hidup.

Dalam pengalaman konkret, saya pernah berdiskusi dengan peserta pelatihan di kota X (Jawa Tengah) yang menyampaikan bahwa setelah pelatihan coding bersama IGI–STEKOM–Google, mereka membuat kelas “klub robotika sederhana” dan siswa berhasil membuat program sensor gerak. Ini menjadi bukti bahwa inovasi bisa dimulai dari hal kecil, dipupuk melalui komunitas, dan kemudian menyebar ke sekolah lain.

Refleksi penting: inovasi bukan sekali jadi—guru harus siap bereksperimen, gagal, mengevaluasi, dan terus menyesuaikan. Guru yang berhasil menjadi inovator bukan yang sempurna dari awal, melainkan yang mau terus mencoba.

C.    Penutup

1.      Kesimpulan

Dalam era serba digital, guru memegang peran strategis sebagai agen perubahan pendidikan. Meskipun tantangan—seperti keterbatasan infrastruktur, kesiapan kompetensi, dan beban kerja—terlihat nyata, peluang untuk menjadi inovator pembelajaran terbuka lebar. Melalui adopsi AI, pengajaran coding, kolaborasi lintas lembaga, dan pengembangan komunitas praktik, guru dapat mentransformasi proses belajar mengajar agar lebih relevan di abad ke-21.

Pelatihan yang diselenggarakan oleh IGI Jawa Tengah bekerja sama dengan STEKOM Semarang, Telkom Jawa Tengah, dan Google Indonesia—untuk menguatkan pembelajaran mendalam, coding, dan kecerdasan buatan di hampir seluruh kabupaten/kota Jawa Tengah—merupakan langkah strategis yang sangat tepat dalam menyongsong Hari Guru 2025. Upaya ini tidak hanya menyiapkan guru menghadapi tuntutan teknologi, tetapi juga meremajakan semangat profesionalisme dan kreativitas dalam tugas mulia mendidik generasi.

2.      Pesan Inspiratif

Menjelang Hari Guru 2025, saya ingin menyampaikan kepada setiap guru:

Jangan takut menjadi pelopor. Setiap eksperimen kecil dalam kelas Andaapresiasi siswa dengan aplikasi sederhana, tantang mereka membuat logika pemrograman kecil, atau gunakan AI sebagai mitra refleksi adalah benih inovasi yang dapat berkembang menjadi revolusi pendidikan.

Tugas guru di era digital bukanlah mempertahankan cara lama, tetapi membentuk cara baru yang lebih adaptif, kreatif, dan manusiawi. Jadilah guru yang tidak hanya mengajar, tetapi menciptakan masa depan.

 Sumber Bacaan:

·   Yusuf, D. “Peran guru, inovasi pembelajaran, era digital.” Jurnal Pendidikan Dasar, 2025. Journal Universitas Pasundan

·     Priazhanto, R. Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran Era Digital.

·    “Indonesian Teachers’ Roles in Designing and Utilizing AI Tools.” IJLTER, 2025.

·    Misbachul Jannah et al. “The Debate on AI and Coding Integration Issue in Indonesian Education Policy.” J-TRAGOS, 2025. Jurnal Unmer

·     Chen et al. “Teaching the Teachers: Building Generative AI Literacy in Higher Ed Instructors.”

·      Liu et al. “Decoding Instructional Dialogue: Human-AI Collaborative Analysis of Teacher Use of AI Tool at Scale.” 



 

Post a Comment

0 Comments