NESA APRILIA (20624024)
ETIKA PROFESI KEGURUAN B
Transformasi digital yang melanda segala
aspek kehidupan telah menempatkan pendidikan sebagai garis depan yang wajib
mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah arus kemajuan teknologi. Guru,
sebagai pilar utama, kini berada dalam dilema profesional: bagaimana menjaga
martabat profesi mereka saat dihadapkan pada inovasi disruptif seperti
kecerdasan buatan, platform pembelajaran daring, dan dominasi media sosial yang
tak terkendali. Oleh karena itu, upaya untuk meneguhkan nilai humanis bukan
lagi sekadar semboyan, melainkan panggilan mendalam bagi pendidik. Mereka harus
berperan aktif membentuk siswa yang tidak hanya unggul secara teknis, tetapi
juga memiliki martabat dan adab yang berakar kuat.
Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25
November 2025 memberikan momentum sempurna untuk tema ini. Dirayakan sejak
1994, hari ini adalah penghormatan terhadap dedikasi para pendidik yang telah
membentuk bangsa. Dengan transformasi digital yang semakin intensif, guru bukan
lagi sekadar penyampai ilmu, tetapi penjaga nilai humanis seperti empati,
integritas, dan solidaritas. Tanpa itu, pendidikan bisa terjebak dalam
pragmatisme, di mana siswa lebih mahir mengoperasikan teknologi daripada
memahami empati antarmanusia. Latar belakang ini mengingatkan kita bahwa
martabat guru jauh melampaui fasilitas atau gaji, martabat sejati terletak pada
kapasitas mereka menegakkan humanisasi di tengah arus digital yang rawan
mengikis etika.
Guru bermartabat didefinisikan sebagai
sosok yang memiliki kompetensi profesional dan moral tinggi, berfungsi sebagai
panutan karakter. Meskipun guru di Indonesia diakui sebagai "pahlawan
tanpa tanda jasa" karena pengabdian mereka di tengah keterbatasan
infrastruktur, peranan dan kehormatan mereka kini menghadapi ancaman di era
digital. Tantangan tersebut meliputi meningkatnya ketergantungan siswa pada
gadget dan penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) yang berpotensi mengurangi
interaksi tatap muka. Oleh karena itu, analisis menyimpulkan bahwa pendidikan
harus tetap berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan untuk mencegah siswa
kehilangan keterampilan sosial yang penting.
Pendidikan beradab menjadi fondasi
pendidikan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan esensial seperti toleransi,
kejujuran, dan kepedulian. Di tengah arus transformasi digital, prinsip ini
menuntut penegasan kembali pentingnya interaksi tatap muka yang bermakna dan
kolaborasi sebagai inti pembelajaran. Guru bermartabat berperan sebagai
fasilitator yang menggunakan teknologi, seperti Google Classroom, bukan untuk
menggantikan peran manusia, melainkan untuk memperkaya pengalaman belajar.
Dengan mengintegrasikan teknologi melalui proyek-proyek sosial, seperti
melaksanakan kampanye anti-bullying daring,
secara langsung mengajarkan siswa tentang tanggung jawab sosial dan
kepedulian di ruang digital.
Pengamatan menunjukkan bahwa guru di
daerah terpencil tetap menjadi sumber inspirasi, bahkan tanpa akses internet
yang memadai. Mereka berhasil menanamkan nilai-nilai beradab melalui metode
tradisional seperti cerita rakyat, permainan, dan diskusi keluarga. Ini
menggarisbawahi bahwa digitalisasi bukanlah ancaman, melainkan mitra potensial.
Tantangan utamanya terletak pada kesenjangan digital dimana siswa di pedesaan
cenderung kekurangan akses. Oleh karena itu, guru bermartabat harus berperan
sebagai jembatan yang mengintegrasikan teknologi dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Temuan UNESCO (2023) memperingatkan bahwa fokus berlebihan pada
keterampilan Abad ke-21 tanpa dasar etis dapat menghasilkan generasi yang
inovatif tetapi kurang bermoral.
Pengamatan lain datang dari fenomena screen
time yang berlebihan telah menjadi tantangan serius di era digital, di mana
banyak siswa lebih nyaman berinteraksi dengan avatar virtual daripada manusia
nyata. Hal ini tidak hanya mengurangi keterampilan sosial seperti kepercayaan
dan solidaritas, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan mental
seperti kecemasan dan isolasi sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai
penelitian kesehatan global. Guru bermartabat harus memimpin dengan teladan,
misalnya dengan membatasi penggunaan gadget di kelas melalui aturan ketat
seperti "zona bebas layar" selama diskusi tatap muka, serta mendorong
kegiatan luar ruangan yang melibatkan olahraga atau proyek. Pendekatan ini
bukanlah anti-teknologi, melainkan pro-humanis, yang bertujuan untuk membangun
keseimbangan antara dunia digital dan interaksi nyata, sehingga siswa dapat
berkembang secara holistik tanpa kehilangan empati dan koneksi manusiawi.
Peran guru bermartabat menjadi krusial
dalam mewujudkan Profil Pelajar Pancasila secara utuh di bawah Kurikulum
Merdeka, yang menekankan enam dimensi utama seperti berakhlak mulia dan gotong royong.
Jika ruang interaksi sosial siswa telah sepenuhnya tergantikan oleh layar, maka
dimensi gotong royong yang mendorong kerja sama, saling membantu, dan
solidaritas komunitas akan sulit tercapai, begitu pula berakhlak mulia yang menjunjung
tinggi nilai-nilai humanis seperti kejujuran dan kepedulian. Oleh karena itu,
guru adalah agen perubahan yang secara sadar menyeimbangkan adopsi teknologi
dengan penguatan karakter dan kecerdasan sosial-emosional. Dengan demikian,
pendidikan dapat menghasilkan generasi yang tidak hanya mahir teknologi, tetapi
juga bermoral dan siap berkontribusi bagi masyarakat.
Transformasi digital telah mengubah
lanskap pendidikan, menempatkan guru sebagai penjaga utama nilai-nilai
kemanusiaan seperti empati, integritas, dan solidaritas di tengah inovasi
seperti kecerdasan buatan dan platform daring. Esai ini menekankan bahwa guru
bermartabat bukan hanya penyampai ilmu, melainkan fasilitator yang
mengintegrasikan teknologi untuk memperkaya pembelajaran tanpa menggantikan
interaksi manusia. Tantangan seperti kesenjangan digital dan dominasi gadget
mengancam keterampilan sosial siswa, sehingga pendidikan harus berpegang pada
prinsip humanis untuk menghasilkan generasi yang inovatif sekaligus bermoral,
sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila. Hal
ini menunjukkan bahwa digitalisasi adalah mitra, bukan ancaman, asalkan
guru berperan sebagai jembatan yang menyeimbangkan teknologi dengan penguatan
karakter.
Di era digital yang penuh tantangan,
seorang guru dituntut untuk tampil bermartabat, sebagai pahlawan tanpa tanda
jasa yang senantiasa meneguhkan nilai humanis sebagai fondasi pendidikan.
Momentum Hari Guru Nasional 2025 ini selayaknya menjadi pengingat untuk terus
menginspirasi siswa melalui teladan, interaksi bermakna, dan kolaborasi yang
membangun solidaritas. Dengan hati yang penuh empati dan integritas, seorang
pendidik sejatinya tidak hanya membentuk pikiran, tetapi juga jiwa yang
tangguh, guna memastikan bahwa di balik layar gadget, manusia sejati tetap
bersinar. Inovasi harus terus berjalan, namun jangan sampai teknologi dibiarkan
mengikis kemanusiaan, karena sosok pendidik berintegritas inilah yang menjadi
cahaya penerang masa depan bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Jannah, R &
Rosdiana. (2025). Transformasi Digital dan Literasi Teknologi Terhadap
Profesionalisme Guru. Socius: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 2
(10), 782-786.
Nurdi, Khairunnisa
H., & Adrian, F. (2024). Peran Guru dalam Implementasi Pedagogi Humanis di
Era Digital. JIIC: Jurnal Intelek Insan Cendikia, 1(10), 8053-8059.
Safitri, U. & Gistituati,
N. (2024). Penerapan Kurikulum Merdeka Berdasarkan Teori Belajar Humanisme di
Pendidikan Dasar. Mitra PGMI: Jurnal Kependidikan MI, 10(1), 116-126.
Said, K. (2023). Implikasi
Pemikiran Pendidikan Humanistik terhadap Praktik Pembelajaran di Era Digital.
IBTIDA’IY : Jurnal Prodi PGMI, 8(2), 1-9.
0 Comments