Nama: Laelatul Nur Auliyah (20624045)
Etika Profesi Keguruan B
Pendidikan merupakan fondasi utama dari sebuah peradaban negara. Di
Indonesia, impian mulia untuk menjadi bangsa yang berprestasi dan memiliki
kemampuan bersaing di tingkat global tidak akan terwujud tanpa adanya
kepemimpinan yang hebat dari para pengajar. Saat ini, kita menghadapi gelombang
perubahan yang tak terelakkan, yang dipicu oleh Revolusi Industri 4. 0 dan
Society 5. 0, di mana teknologi telah berubah dari sekadar alat menjadi medan
utama dalam persaingan pengetahuan. Dalam situasi perubahan yang sangat cepat
ini, muncullah sebuah pertanyaan penting yang mengganggu pikiran masyarakat:
"Apakah guru tidak melek teknologi, Indonesia terpuruk? " Pertanyaan
ini bukan hanya sekadar ungkapan, melainkan cerminan dari kekhawatiran mendalam
tentang ketidakseimbangan kemampuan digital di antara para pendidik, yang jika
dibiarkan tanpa perhatian yang cukup, akan menjadi hambatan bagi kemajuan
negara secara keseluruhan.
Fenomena guru yang kurang mahir dalam teknologi, yang sering dikenal
sebagai 'gaptek', sejatinya lebih dari sekadar masalah teknis sederhana. Ini
mencerminkan tantangan sistemik yang kompleks, mencakup kesiapan budaya,
infrastruktur yang tidak merata, serta keinginan profesional untuk terus
beradaptasi. Jika para guru, yang merupakan ujung tombak dalam mencetak
generasi masa depan yang unggul, tidak bisa menguasai literasi digital yang
sangat penting, maka proses pendidikan berisiko terjebak dalam metode lama yang
membosankan. Akibatnya, jelas bahwa peserta didik kita tidak akan siap
menghadapi kompleksitas dunia digital yang akan datang, dan pada akhirnya, hal
ini akan menghambat Indonesia dalam menggapai potensi tertinggi dan martabatnya
di kancah dunia. Untuk itu, pembaruan kompetensi pendidik di abad ke-21
merupakan sebuah keharusan mutlak yang tak bisa ditawar. Isu ini menjadi sangat
penting dan mendesak untuk diperhatikan, khususnya menjelang peringatan Hari
Guru Nasional (HGN) pada tahun 2025. HGN 2025 seharusnya dijadikan sebagai
momentum untuk refleksi bersama dan percepatan kompetensi, di mana tema
"Guru Hebat, Indonesia Bermartabat" perlu diwujudkan sebagai komitmen
yang jelas untuk memberdayakan guru agar bertransformasi dari sekadar penyampai
informasi menjadi fasilitator pembelajaran, pembuat konten, dan mentor digital.
Langkah nyata harus diambil untuk memastikan setiap guru, tanpa memandang usia
atau lokasi, mendapatkan akses dan dorongan untuk mengintegrasikan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pembelajaran. Guru hebat di era digital
adalah mereka yang dapat menggunakan teknologi dengan bijak untuk menanamkan
nilai karakter, mengembangkan nalar kritis, dan memfasilitasi kolaborasi,
sehingga martabat pendidikan Indonesia dapat tersanjung setinggi-tingginya.
Kesenjangan digital di kalangan pengajar adalah suatu masalah yang
dapat diidentifikasi dengan jelas dan diukur. Berbagai penelitian mengungkapkan
adanya perbedaan signifikan dalam pemahaman TIK di antara berbagai kelompok
usia guru; para guru yang lebih tua, meskipun memiliki banyak pengalaman dalam
mengajar, sering kali terbatas oleh pola lama seperti metode ceramah serta
dibebani dengan tanggung jawab keluarga. Di sisi lain, guru yang lebih muda
yang biasanya lebih terampil dengan teknologi seringkali mengalami kendala
akibat kurangnya sarana di sekolah, seperti proyektor yang ketinggalan zaman,
koneksi internet yang tidak memadai, atau bahkan tidak adanya komputer yang
memadai. Penelitian oleh Hazizah dan Rigianti (2021) di antara guru SD juga
menunjukkan bahwa usia memiliki dampak pada daya ingat serta kecenderungan
untuk tetap mempertahankan cara lama, sehingga menghalangi proses adaptasi
terhadap teknologi. Tantangan terbesar terletak pada perubahan cara pikir,
yaitu mengubah penggunaan teknologi dari sekadar alat administratif untuk
'mengirim dan menerima tugas' menjadi alat strategis untuk menciptakan
pembelajaran yang kreatif dan interaktif. Literasi digital pedagogis menjadi
hal yang sangat penting (Lesasunanda dan Malik, 2024). Kemampuan ini meliputi
lebih dari sekadar keterampilan teknis dasar, namun lebih kepada kemampuan guru
untuk secara bermakna menggabungkan TIK, seperti Google Workspace, Platform
Merdeka Mengajar (PMM), atau alat interaktif lainnya, dalam kegiatan
belajar-mengajar.
Seorang pendidik yang luar biasa saat ini diharuskan untuk tidak
hanya menggunakan PowerPoint secara sembarangan, tetapi juga merancang simulasi
daring, membuat podcast edukasi singkat, atau memimpin diskusi dengan
menggunakan papan digital kolaboratif. Pengalaman praktik di lapangan telah
memberikan optimisme, dimana pelatihan mendalam yang didukung oleh supervisi
langsung, seperti In House Training (IHT), terbukti mampu meningkatkan
kemampuan teknologi informasi guru secara drastis, seperti yang terlihat di SDN
Purwosari 02 Semarang yang menunjukkan peningkatan dari 69% menjadi 94%
(Kristyanti, 2021). Sukses dari program-program ini bergantung pada pelatihan
yang berkelanjutan, praktis, dan sesuai dengan kebutuhan mata pelajaran. Guru
perlu didorong untuk beralih dari peran pasif sebagai konsumen konten menjadi
kreator konten pendidikan yang inovatif. Di samping itu, upaya untuk mengatasi
tantangan ini seharusnya didukung sepenuhnya oleh inisiatif tingkat nasional.
Pemerintah telah menunjukkan dedikasi yang kuat melalui program Merdeka
Belajar, dengan PMM sebagai inti dari transformasi digital. Platform ini
memberikan akses pelatihan yang sebelumnya terbatas dan tidak merata, terutama
bagi guru yang berada di daerah terpencil. Data menunjukkan bahwa fitur pelatihan
mandiri di PMM telah diakses oleh hampir tujuh kali lipat lebih banyak peserta
dibandingkan pelatihan tatap muka sebelum pandemi (Oliver Wyman, 2023), yang
menunjukkan efektivitas teknologi dalam mengatasi permasalahan lokasi dan
kesetaraan. Bahkan, pemakaian aplikasi seperti Google Meet, Google Form, dan
Google Classroom oleh para guru juga terbukti efektif dalam memberikan
pengalaman serta kemampuan lunak (Utama et al. , 2023).
Konsep pembelajaran komunitas yang didorong oleh PMM perlu
dikembangkan lebih lanjut dan diterapkan secara luas di seluruh sekolah dan
antar sekolah. Komunitas ini berfungsi sebagai tempat yang aman bagi para
pendidik untuk berbagi praktik terbaik, menyelesaikan masalah digital bersama,
serta melaksanakan pembelajaran rekan sejawat. Dalam lingkungan kolaboratif
ini, para guru yang sudah berpengalaman bisa menjadi pembimbing bagi kolega
mereka yang masih berjuang, sehingga bisa menciptakan budaya inovasi yang
muncul dari bawah. Kerja sama ini akan mengubah guru yang dianggap "kurang
melek teknologi" menjadi bagian penting dari solusi yang membawa
perubahan. Namun, keberhasilan perbaikan ini tidak bisa sepenuhnya diandalkan
kepada guru saja, karena banyak tantangan digital berasal dari masalah
infrastruktur yang tidak merata. Di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan
Terluar), masalah utama seperti ketersediaan listrik, akses internet, dan
perangkat yang sesuai masih harus diatasi terlebih dahulu.
Memaksa pengajar di daerah dengan sinyal internet tidak stabil untuk
menerapkan kurikulum berbasis digital adalah sebuah beban yang tidak adil dan
tidak masuk akal. Oleh karena itu, ide revitalisasi harus mencakup investasi
besar dalam infrastruktur yang terfokus. Pemerintah dan para pemangku
kepentingan harus memastikan adanya koneksi internet yang andal dan terjangkau
di setiap sekolah, distribusi perangkat keras yang memadai dan berkelanjutan,
serta yang tidak kalah penting, peningkatan kesejahteraan bagi para guru,
khususnya guru honorer di daerah terpencil. Seorang guru yang terbebani oleh
masalah finansial dan fasilitas yang minim akan kehilangan kapasitas mental
juga semangat untuk terus belajar dan berinovasi. Peningkatan kesejahteraan
bukan hanya sekadar insentif, melainkan fondasi yang memungkinkan guru
memusatkan perhatian sepenuhnya pada pengembangan profesional mereka dan
penerapan teknologi informasi dan komunikasi di dalam kelas. Hanya dengan
dukungan material dan infrastruktur yang kokoh, semangat "Merdeka
Belajar" dapat benar-benar terwujud dan martabat guru dapat terangkat.
Pertanyaan mendasar "Apakah guru tidak paham teknologi, apakah
Indonesia terhambat? " harus dijawab dengan keyakinan yang jelas: Indonesia tidak
akan terhambat jika kita memiliki komitmen yang bulat dan kuat untuk
memberdayakan para guru. Guru yang luar biasa adalah pencipta masa depan
bangsa. Di era digital ini, kehebatan mereka diukur dari seberapa cepat mereka
beradaptasi dengan perubahan, menjadikan teknologi sebagai teman, bukan lawan
yang menakutkan. Peringatan Hari Guru Nasional 2025 harus menjadi momen penting
untuk kerjasama semua pihak pemerintah, institusi pendidikan, masyarakat, dan
industri teknologi dalam menciptakan ekosistem di mana setiap guru merasa didukung,
dihargai, dan di fasilitasi untuk melakukan transformasi secara berkelanjutan.
Tantangan bagi guru yang kurang familiar
dengan teknologi sebenarnya adalah peluang besar untuk memperkuat dan
memperbarui sistem pendidikan di tanah air. Dengan menekankan pada Pemahaman
Digital yang menyeluruh, memperkuat Jaringan Kerjasama melalui PMM dan kelompok
belajar, serta memastikan adanya Infrastruktur dan Kesejahteraan yang merata,
kita bisa menjamin bahwa guru-guru di Indonesia tidak hanya sekadar tahu
tentang teknologi, tetapi juga berkembang menjadi innovator dalam pendidikan
digital yang berdaya. Kepada semua pendidik di seluruh Indonesia: Teruslah
menjadi pelajar sejati. Era digital adalah ruang baru yang luas untuk imajinasi
Anda. Anggap setiap masalah teknologi sebagai peluang berharga untuk
menciptakan pengalaman belajar yang lebih berarti, interaktif, dan inspiratif
bagi generasi muda. Jadilah pendidik yang luar biasa, karena melalui tangan
Anda, martabat Indonesia di arena internasional akan terwujud. Teruslah maju,
para guru Indonesia!
Daftar
Pustaka
Hazizah, Z., & Rigianti, H. A. (2021).
Kesenjangan Digital di Kalangan Guru SD dengan Rentang Usia 20-58 Tahun di
kecamatan Rajabasa. Jurnal Pendidikan Modern, 7(1), 1–7.
Kristyanti, A. (2021). In House Training
sebagai Upaya Peningkatan Kompetensi Literasi IT Guru pada Masa Pandemik di SDN
Purwosari 02 Kota Semarang. Jurnal Inovasi Pembelajaran di Sekolah,
2(2), 245–254. https://doi.org/10.51874/jips.v2i2.30
Lesasunanda, R. A., & Malik, A. (2024).
Peningkatan Kualitas Guru Melalui Literasi Digital di MAN 1 Sumbawa Barat. Jurnal
Ilmiah Profesi Pendidikan, 9(3), 1904-1915.
https://doi.org/10.29303/jipp.v9i3.2365 Oliver Wyman. (2023). Peran
Teknologi dalam Transformasi Pendidikan di Indonesia: Tinjauan dampak terkini
gerakan Merdeka Belajar.
Oliver Wyman. Utama, R. E., Santoso, G.,
& Asbari, M. (2023). Penguatan Kemampuan Guru pada Google Meet, Gform,
GClassroom, Breakout Rooms, Jamboard, Recoording, GDrive, GDocs, Gmail, dan
Whiteboarding. Journal of Community Service and Engagement (JOCOSAE),
3(1), 77–85.
Utama, R. E., Santoso, G., & Asbari, M.
(2023). Penguatan Kemampuan Guru pada Google Meet, Gform, GClassroom, Breakout
Rooms, Jamboard, Recoording, GDrive, GDocs, Gmail, dan Whiteboarding. Journal
of Community Service and Engagement (JOCOSAE), 3(1), 77–85.
1 Comments
Kerenn, semangat terus nulisnyaa😍😍
ReplyDelete