Naela Nurhendriawati
Tadris Matematika B
20624030
Tema: Hari Guru
Nasional
Judul: Guru, Lentera Ilmu dan Cahaya Peradaban
Setiap
tahun pada tanggal 25 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Guru
Nasional. Peringatan ini bukan sekadar rutinitas seremonial, melainkan sebuah
pengingat akan kontribusi besar guru sebagai arsitek peradaban bangsa. Dalam
dinamika masyarakat yang terus berubah, peran guru menjadi semakin kompleks dan
strategis, tidak hanya sebagai penyampai ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai
pendidik karakter dan agen pembaharuan. Esensi peringatan ini harus kita maknai
secara mendalam, sebagai bentuk penghargaan atas jasa, pengorbanan, dan
dedikasi tanpa pamrih yang telah diberikan oleh para pahlawan tanpa tanda jasa
ini dalam membentuk masa depan generasi penerus bangsa.
Guru
memegang peran kunci dalam proses transformasi pengetahuan. Mereka adalah
jembatan yang menghubungkan antara teori abstrak dengan realitas kehidupan
nyata. Namun, peran ini sering kali menghadapi tantangan dalam penerapannya.
Sebuah studi yang dilakukan terhadap guru-guru di Indonesia menunjukkan bahwa
banyak guru mengalami kesenjangan antara pengetahuan teoritis yang mereka
kuasai dengan kemampuan untuk menerapkannya dalam pembelajaran kontekstual. Hal
ini menunjukkan bahwa pengembangan kompetensi guru tidak boleh berhenti pada
penguasaan materi, tetapi harus mencakup kemampuan untuk mentransformasikan
ilmu tersebut menjadi nilai dan keterampilan yang aplikatif bagi peserta didik.
Proses transformasi pengetahuan ini memerlukan pendekatan pedagogis yang
inovatif, di mana guru tidak hanya mentransfer informasi, tetapi juga
membimbing siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri melalui
pengalaman dan refleksi.
Dalam
konteks pendidikan karakter, peran guru menjadi sangat sentral dan tidak
tergantikan. Ki Hajar Dewantara, dengan filosofi "Ing Ngarsa Sung Tuladha,
Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani," menempatkan guru sebagai
figur yang tidak hanya mengajar di depan kelas, tetapi juga memberikan
keteladanan dan motivasi. Filosofi ini menggarisbawahi bahwa pendidikan yang
efektif lahir dari hubungan emosional dan spiritual antara guru dan siswa, di
mana nilai-nilai luhur ditransmisikan melalui keteladanan dan interaksi
sehari-hari. Guru, melalui sikap, perkataan, dan perilakunya, menjadi model
nyata bagi siswa dalam internalisasi nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin,
tanggung jawab, empati, dan rasa hormat. Proses penanaman karakter ini tidak
dapat diserahkan sepenuhnya kepada kurikulum tertulis; ia membutuhkan sentuhan
manusiawi dan kedekatan personal yang hanya dapat diberikan oleh guru yang
berkomitmen dan penuh kasih sayang.
Di
era disrupsi teknologi, tantangan yang dihadapi guru semakin kompleks dan
multidimensi. Kemudahan akses informasi seringkali dianggap menggeser otoritas
guru sebagai sumber pengetahuan utama. Namun, penelitian membuktikan bahwa
justru di era digital ini, peran guru sebagai fasilitator dan pemandu dalam
memilah informasi yang valid menjadi semakin krusial. Guru dituntut untuk tidak
hanya melek teknologi, tetapi juga mampu membimbing siswa mengembangkan
literasi digital dan berpikir kritis, sehingga siswa tidak sekadar menjadi
konsumen informasi pasif, melainkan produsen pengetahuan yang bertanggung
jawab. Di tengah banjir informasi dan maraknya disinformasi, guru berperan
sebagai navigator yang membekali siswa dengan kemampuan untuk menilai
kredibilitas sumber, menganalisis bias, dan menyusun argumentasi yang logis.
Selain itu, guru juga harus mampu memanfaatkan teknologi untuk menciptakan
pengalaman belajar yang lebih interaktif, personal, dan menarik, sekaligus
menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dan pengembangan kemampuan
sosial-emosional siswa.
Namun,
di balik peran strategis tersebut, realita di lapangan seringkali tidak ideal
dan penuh dengan tantangan struktural. Beban administratif yang berlebihan
kerap menjadi penghambat utama kreativitas dan inovasi guru. Sebuah laporan
penelitian mengungkap bahwa beban kerja non-pengajaran, seperti penyusunan
administrasi dan laporan, mengambil porsi waktu yang signifikan dari waktu yang
seharusnya dapat digunakan untuk persiapan mengajar dan pengembangan diri. Guru
sering terjebak dalam rutinitas birokratis yang melelahkan, seperti mengisi
beragam formulir, menyusun RPP yang berlebihan, dan melaporkan setiap aktivitas
kepada berbagai tingkat pemerintahan. Kondisi ini berpotensi mengurangi esensi
dari profesi guru itu sendiri, yaitu interaksi edukatif dengan peserta didik.
Ketika energi dan waktu guru terkuras untuk urusan administratif, maka kualitas
interaksi pembelajaran di kelas pun dapat menurun. Guru menjadi lebih fokus
pada pemenuhan tuntutan administratif daripada pada kebutuhan belajar siswa
yang beragam dan dinamis.
Oleh
karena itu, diperlukan kebijakan yang holistik dan sistematis untuk
memberdayakan guru dan mengembalikan marwah profesi ini. Peningkatan
kualifikasi dan sertifikasi guru harus diimbangi dengan pembenahan sistem yang
meringankan beban administratif, sehingga guru dapat fokus pada tugas utamanya,
yaitu mendidik. Reformasi birokrasi pendidikan yang memangkas rantai pelaporan
dan menyederhanakan administrasi adalah sebuah keharusan. Selain itu,
pengembangan profesional berkelanjutan harus difokuskan pada peningkatan
kapasitas pedagogis dan penguatan kompetensi abad ke-21, bukan sekadar pada
pemenuhan syarat formal. Dukungan dalam bentuk penyediaan sumber daya, akses
terhadap teknologi, dan lingkungan kerja yang kolaboratif juga sangat penting
untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pertumbuhan profesional guru.
Ketika guru dibebaskan dari belenggu administratif dan diberikan ruang untuk
berinovasi, maka potensi mereka sebagai agen perubahan pendidikan dapat
dioptimalkan. Guru yang terberdayakan akan mampu menciptakan pembelajaran yang
relevan, memotivasi siswa, dan pada akhirnya, berkontribusi signifikan terhadap
peningkatan mutu pendidikan nasional.
Sebagai
penutup, Hari Guru Nasional harus menjadi momentum refleksi bersama untuk
memperkuat komitmen dalam membangun ekosistem pendidikan yang memberdayakan
guru. Refleksi ini tidak hanya dilakukan oleh insan pendidikan, tetapi juga
oleh seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, orang tua, dan
masyarakat luas. Dengan dukungan yang tepat, guru tidak hanya akan menjadi
profesi yang mulia dalam retorika, tetapi juga dalam praktik nyata. Mari kita
bersama-sama membangun budaya yang menghargai, mendukung, dan memuliakan guru,
karena pada akhirnya, kemajuan sebuah peradaban dapat dilihat dari bagaimana ia
memperlakukan dan memposisikan para gurunya. Guru adalah investasi terbesar
bagi masa depan bangsa; merekalah yang menanam benih pengetahuan dan karakter
yang akan tumbuh menjadi pohon peradaban yang kokoh dan berbuah manis bagi
generasi mendatang. Selamat Hari Guru Nasional, untuk semua pahlawan yang
dengan setia menerangi jalan pengetahuan dan membentuk masa depan bangsa.
Sisdiknas,
D. (2019). Analisis Kemampuan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Guru dalam Pembelajaran
Abad 21. Jurnal Ilmu Pendidikan, 25(2), 112-120.
Dewantara,
K. H. (1977). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa.
Pratiwi, N., & Setiawan, H. (2021). Peran Guru
dalam Membangun Literasi Digital Siswa di Era Society 5.0. Jurnal Pendidikan
Indonesia, 10(3), 450-461.
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2020). Kajian Beban
Kerja Guru di Indonesia. Jakarta: Kemenpan RB.
Aman,
A. (2018). Kebijakan Sertifikasi Guru dan Dampaknya terhadap Peningkatan
Kualitas Pembelajaran: Sebuah Evaluasi. Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan
Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang, Kemendikbud.
0 Comments