GURU SEBAGAI MOTOR PENGGERAK MODERASI BERAGAMA DI ERA DIGITAL

 

Nurul Atikah

(20624036)

Etika Profesi Keguruan - B

            Di tengah derasnya arus digitalisasi, peran guru tidak lagi terbatas pada ruang kelas dan papan tulis. Dunia maya kini menjadi ruang belajar baru, tempat nilai, ide dan keyakinan bersaing untuk mendapatkan perhatian generasi muda. Namun, di ruang tanpa batas itu pula sering muncul ujaran kebencian, fanatisme sempit, dan polarisasi identitas yang mengancam keutuhan sosial bangsa. Dalam konteks inilah, guru memiliki peran penting sebagai motor penggerak moderasi beragama yakni pendidik yang menanamkan nilai keseimbangan, toleransi, dan kebijaksanaan berpikir di tengah derasnya arus informasi digital.

Relevansi tema ini dengan Hari Guru Nasional sangat kuat. Di era Revolusi Industri 5.0, guru bukan saja pengajar, tetapi juga penjaga moralitas digital. Nilai kemanusiaan harus diperkuat bersamaan dengan kemajuan teknologi. Sebagaimana dikatakan oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dikutip dari brilio.net : “Tidak penting apa agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Pernyataan itu menjadi panggilan moral bahwa kebaikan lintas identitas adalah nilai yang mesti ditanamkan guru-guru kita.

Era digital membawa dua wajah kontras. Di satu sisi, teknologi membuka akses luas terhadap pengetahuan lintas budaya dan agama. Di sisi lain, ruang digital sering dimanfaatkan untuk menyebarkan ujaran kebencian, intoleransi, dan radikalisme. Misalnya, penelitian oleh Fitriani (2023) menunjukkan bahwa media sosial menjadi medium yang sangat efektif dalam penyebaran paham intoleran di kalangan remaja karena lemahnya literasi digital keagamaan. Di dunia di mana generasi muda banyak membentuk pemahaman keagamaan bukan dari guru atau lembaga formal, melainkan dari unggahan viral yang belum mendapat verifikasi, risiko munculnya sikap hitam-putih sangat besar. Maka guru menjadi benteng terakhir dalam menanamkan nalar kritis dan sikap moderat agar siswa tidak mudah terombang-ambing oleh narasi ekstrem yang mudah tersebar.

Guru bukan hanya penyampai ilmu, melainkan juga teladan nilai. Dalam era digital, keteladanan itu diperluas, bukan hanya dalam tindakan nyata di kelas, tetapi juga dalam jejak digitalnya. Guru yang mampu berinteraksi bijak di media sosial menanggapi perbedaan dengan argumen logis dan bahasa santun secara tidak langsung sedang mendidik generasi digital dengan praktik nyata moderasi beragama. Menurut Nasir & Lestari (2024), guru yang aktif mengajarkan etika bermedia sosial kepada siswa terbukti mampu menurunkan risiko paparan hoaks dan radikalisme digital hingga sekitar 40%. Literasi digital religius menjadi kunci, bukan sekadar kemampuan teknis mengakses informasi, tetapi juga moral dalam menafsirkan kebenaran dan menghargai keberagaman. Dengan demikian, guru harus mampu membentuk daya pikir siswa agar tidak hanya “menerima” informasi digital, tetapi juga “menilai” dan “memaknai”.

Moderasi beragama bukan hanya isu teologis, melainkan juga proyek kebangsaan. Indonesia berdiri di atas keberagaman, dan guru adalah penjaga nilai-nilai kebinekaan itu. Ketika guru mengajarkan toleransi dalam perbedaan keyakinan, mereka sedang menanamkan fondasi perdamaian nasional. Hasil kajian oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta (PPIM UIN Jakarta) (2022) menunjukkan bahwa sekolah yang mengintegrasikan pendidikan moderasi beragama dalam kurikulum terbukti lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang harmonis dan bebas konflik identitas.

Namun tantangan muncul ketika algoritma media sosial memperkuat ruang gema (echo-chamber) yang mempersempit pandangan siswa. Dalam kondisi ini, guru perlu menjadi “penyeimbang algoritma” menghadirkan ruang dialog di kelas, baik fisik maupun virtual, yang memungkinkan siswa saling bertukar pandangan tanpa rasa takut. Guru bukan sekadar penguasa kelas, tetapi moderator nilai yang menuntun murid untuk memahami makna keberagaman secara utuh. Sebagaimana kata Nurcholish Madjid yang dikutip oleh tempo.co: “Agama bukan untuk memecah, melainkan mempersatukan manusia dalam kebaikan.” Pandangan ini harus terus dihidupkan oleh guru di era digital yang penuh fragmentasi.

Melalui hal yang saya alami sendiri, saya menyaksikan banyak guru kini berjuang menavigasi “kebisingan digital”. Di satu sisi mereka dituntut mengikuti teknologi agar tidak tertinggal, di sisi lain harus tetap menjaga nilai-nilai luhur pendidikan. Ada guru yang dengan sabar memanfaatkan aplikasi, platform daring, bahkan media sosial untuk menyebarkan pesan damai dan nilai keagamaan yang toleran. Ada pula yang membuka kelas daring diskusi lintas agama, membiasakan siswa saling menghormati perbedaan keyakinan. Namun tidak semua guru siap. Sebagian masih canggung menggunakan teknologi, sebagian lagi merasa kehilangan arah karena derasnya perubahan. Di sinilah pentingnya penguatan kapasitas digital guru. Program pelatihan literasi digital yang dikembangkan pemerintah memang langkah baik, tetapi perlu diperluas agar semua guru memiliki kemampuan menjadi agen moderasi beragama berbasis digital yang berakhlak sekaligus cakap teknologi.

Dalam semangat digitalisasi pendidikan, sering muncul anggapan bahwa teknologi bersifat netral nilai,  padahal tidak demikian. Teknologi membawa ideologi tersendiri, yakni kecepatan, efisiensi, dan individualisme. Jika guru tidak hadir secara aktif dalam ruang digital, maka nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan bisa digantikan oleh algoritma yang tidak mengenal empati. Maka, digitalisasi tanpa moderasi beragama hanya akan mencetak generasi yang cerdas secara teknologi tetapi miskin arah spiritual dan moral. Guru harus menjadi pengendali nilai dalam arus digitalisasi, mengajarkan bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan. Moderasi beragama menuntut keseimbangan yakni tidak menolak kemajuan, tetapi juga tidak larut di dalamnya. Guru yang berperan aktif akan memastikan bahwa digitalisasi tetap berpihak pada kemanusiaan.

Menjadi guru di era digital adalah tantangan sekaligus kehormatan. Tantangan, karena dunia maya penuh disrupsi nilai dan kebenaran semu. Kehormatan, karena di tengah kebingungan itu, guru tetap dipercaya menjadi pelita bagi kebijaksanaan. Guru yang mampu menjadi motor penggerak moderasi beragama adalah mereka yang tidak hanya mengajarkan “apa yang benar”, tetapi juga “bagaimana berpikir dengan benar”.
Jika bangsa ini ingin tetap bermartabat di tengah derasnya arus teknologi, maka jawabannya hanya satu guru yang menanamkan nilai moderasi, kebijaksanaan, dan kemanusiaan dalam setiap piksel dunia digital.

 

Referensi

Brilio.net. (2025, August 31). 50 kata-kata bijak Gus Dur untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Brilio.net. https://www.brilio.net/ragam/50-kata-kata-bijak-gus-       dur-untuk-menjaga-persatuan-dan-kesatuan-bangsa-250831z.html


Fitriani, S. (2023). Peran Guru dalam Menangkal Radikalisme Digital di Kalangan            Remaja. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Islam, 12(2), 145–159.


Nasir, A., & Lestari, D. (2024). Literasi Digital Religius sebagai Upaya Moderasi Beragama di Sekolah Menengah. Jurnal Literasi Digital Pendidikan Islam, 5(1),   33–48.


Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta. (2022). Integrasi Nilai Moderasi      Beragama dalam Kurikulum Pendidikan Nasional. Laporan Penelitian Nasional.

 

Tempo.co. (2022, August 29). Mengenang pemikiran cendikiawan muslim Nurcholis Madjid. Tempo. https://www.tempo.co/politik/mengenang-pemikiran-cendikiawan-muslim-nurcholis-madjid--299156







Post a Comment

0 Comments