Nama : Soleha Oktaviani
NIM : 20624053
Kelas : Etika Profesi Keguruan A
Transformasi digital dalam
pendidikan bukan lagi sekadar wacana, melainkan kenyataan yang membentuk ulang
cara guru mengajar dan cara siswa belajar. Di tengah derasnya teknologi dan
tuntutan zaman, pertanyaan penting muncul: bagaimana guru dapat tetap menjaga
martabat pendidikan Indonesia? Esai ini berargumen bahwa guru hebat adalah
sosok penggerak inovasi bukan sekadar pengguna teknologi, melainkan pemimpin
perubahan yang memanusiakan pembelajaran. Melalui contoh nyata dari berbagai
wilayah Indonesia, terlihat bagaimana kreativitas guru menghadirkan harapan
baru bagi pendidikan bangsa.
Tantangan digitalisasi masih nyata
di banyak daerah. Nashrullah, Rahman, dan Majid (2024) menegaskan bahwa
kesenjangan infrastruktur, literasi digital yang belum merata, serta resistensi
terhadap perubahan masih menjadi batu sandungan. Namun di balik tantangan itu,
guru-guru Indonesia menunjukkan bahwa inovasi tidak harus menunggu fasilitas
sempurna. Salah satu contoh paling inspiratif datang dari SDN 01 Tegalontar, Sragi, Pekalongan, Jawa
Tengah, yang menjalankan program “Kejar Rakom” (Kelas Belajar Radio Komunitas).
Ketika banyak siswa tidak memiliki ponsel pintar atau kuota internet selama
pandemi, guru-guru sekolah ini mengajar melalui siaran radio komunitas PPK FM Sragi setiap Senin–Sabtu. Mereka
menyiapkan materi layaknya penyiar profesional, melatih intonasi, menyusun
naskah, hingga membuka sesi tanya jawab melalui telepon rumah. Program ini
membuktikan bahwa teknologi sederhana seperti radio dapat menjadi jembatan pembelajaran
yang efektif bagi daerah dengan keterbatasan digital. Contoh serupa terlihat di
Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat,
wilayah perbatasan yang banyak mengalami blank spot. Guru SD seperti Titis Kartikawati bekerja sama dengan RRI Sanggau untuk menyiarkan
pembelajaran setiap Senin–Jumat. Dengan kondisi geografis berupa hutan dan
daerah perbukitan, siaran internet tidak dapat diandalkan. Namun melalui radio,
seluruh siswa dapat tetap belajar dari rumah. Program ini bukan hanya
mempertahankan proses belajar, tetapi juga memperkuat martabat pendidikan di
daerah tertinggal. Guru-guru seperti Titis membuktikan bahwa teknologi lokal
dapat dioptimalkan, dan pendidikan tidak harus berhenti hanya karena listrik
atau sinyal terbatas.
Sementara itu, di daerah 3T lain
seperti Papua Barat, perubahan digital hadir melalui inovasi kebijakan
pemerintah. Para guru di sana mulai menggunakan Awan Penggerak, sistem penyimpanan lokal nirkoneksi yang
memungkinkan mereka mengakses materi kurikulum Merdeka tanpa internet. Guru
hanya perlu mengunduh konten saat berada di lokasi yang memiliki sinyal, lalu
membaginya ke perangkat sekolah. Seorang guru SMP di Manokwari Barat menyatakan
bahwa Awan Penggerak memudahkannya mengakses modul ajar, video pembelajaran,
dan pelatihan guru, meski daerahnya sering tidak memiliki akses internet
stabil. Kasus ini menunjukkan bagaimana teknologi yang dirancang sesuai konteks
lokal dapat memperkuat kapasitas guru sebagai pemimpin pembelajaran.
Namun guru hebat tidak berhenti pada
pemanfaatan teknologi semata. Mereka juga menjadi inovator pedagogi yang
memahami kebutuhan psikologis siswa. Misalnya, seorang guru Bimbingan Konseling
di Jakarta menciptakan “ruang aman digital” untuk menghadapi kasus
cyberbullying. Ia menggunakan Padlet agar siswa dapat menceritakan pengalaman
mereka secara anonim. Dari platform sederhana itu, lahir percakapan yang lebih
sehat, empati antar-siswa, dan kesadaran bahwa ruang digital juga membutuhkan
etika. Praktik ini sejalan dengan pendapat Rahma et al. (2024) bahwa peran guru
bergeser menjadi fasilitator digital yang memandu siswa menghadapi risiko dan
tantangan dunia maya.
Di sisi lain, digitalisasi justru
menjadi penguat kreativitas guru di daerah terpencil. Contohnya datang dari SDN Fatubai, Desa Oehalo, Timor Tengah Utara
(NTT). Guru bernama Roni
Hariyanto Bhidju menghadapi realitas bahwa sebagian besar siswanya tidak
memiliki akses internet. Setelah mengikuti bootcamp Pijar Sekolah, Roni membuat
modul digital dan video pembelajaran
sederhana menggunakan perangkat seadanya. Ia membawa hasil pelatihan ke
sekolah dan menyesuaikan materi dengan konteks lokal desa. Video dan modul itu
kemudian dipresentasikan melalui proyektor bantuan pemerintah, atau dibagikan
secara fisik kepada siswa yang tidak memiliki perangkat. Upaya Roni menunjukkan
bahwa digitalisasi tidak identik dengan fasilitas mahal; yang terpenting adalah
kemauan untuk berinovasi demi murid.
Kisah nyata di atas membuktikan
argumen utama esai ini: guru hebat bukan diukur dari seberapa canggih
teknologinya, tetapi dari kemampuannya menjadikan teknologi sebagai alat untuk
memanusiakan pembelajaran. Derek et al. (2023) menjelaskan bahwa inovasi pembelajaran
muncul ketika guru mampu merancang pengalaman belajar yang relevan bagi siswa.
Guru matematika di Makassar, misalnya, mengubah suasana belajar yang kaku
menjadi interaktif menggunakan GeoGebra dan Quizizz. Hasilnya, siswa lebih
percaya diri dan nilai rata-rata kelas meningkat. Ini menunjukkan bahwa
teknologi dapat menjadi katalis pembelajaran jika guru memanfaatkannya secara
kreatif dan kontekstual.
Namun, transformasi digital juga
membutuhkan keberanian guru meninggalkan zona nyaman. Banyak guru gagap
teknologi, kelelahan administrasi digital, atau takut salah menekan tombol.
Tetapi semangat belajar guru Indonesia tidak padam. Komunitas guru di Merdeka
Mengajar, MGMP, dan KKG menjadi ruang saling menguatkan. Para guru berkumpul
untuk belajar hal baru, berbagi praktik baik, dan berdiskusi tentang desain
pembelajaran digital. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Setiap orang menjadi
guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Di era digital, makna ini semakin luas kelas
tidak lagi dibatasi dinding, melainkan terbentang sejauh kreativitas guru.
Kesimpulannya, transformasi digital
bukan sekadar adaptasi teknologi, tetapi reformasi cara berpikir. Guru hebat
adalah mereka yang mampu melihat peluang inovasi di tengah keterbatasan,
menghadirkan empati dalam ruang digital, dan memastikan bahwa pendidikan tetap
menyentuh hati. Melalui kreativitas guru-guru Indonesia dari pekarangan radio
komunitas hingga perangkat berbasis awan martabat pendidikan Indonesia terus
terjaga. Jika guru terus berinovasi, belajar, dan memimpin perubahan, maka masa
depan pendidikan Indonesia akan tetap cerah meski dunia terus berubah.
Referensi
Anggraini, D. F. (2021). Peran guru sebagai inovator
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di era digital. AZKIYA: Jurnal
Pendidikan Islam, 6(2), 254–266.
Derek, S. V. P., Audita, S., Rahayu, E. D., &
Nurhidayat, F. (2023). Peran guru dalam meningkatkan literasi digital di
kalangan siswa. Jurnal Strategi, 10(2), 45–55.
Lisa, M., Yusuf, D., Izmala, A., & Iskandar, S. (2023). Peran
guru dalam mendorong inovasi pembelajaran di era digital. Pendas: Jurnal
Ilmiah Pendidikan Dasar, 8(1), 112–120.
Nashrullah, M., Rahman, S., & Majid, A. (2024). Transformasi
digital dalam pendidikan Indonesia: Analisis kebijakan dan implikasinya
terhadap kualitas pembelajaran. Mudir: Jurnal Manajemen Pendidikan, 6(1),
13–25.
Rahma, I. D., Rahmadania, R., Ningrum, T. R. S., &
lainnya. (2024). Transformasi peran guru di era kecerdasan buatan: Dari
pengajar menjadi fasilitator digital. RIGGS: Journal of Education and
Technology, 5(2), 90–101.
0 Comments