Lutfandi
Yuansyah
Email:
lutfandiy1@gmail.com
Pascasarjana
Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Pendahuluan
Perayaan
Hari Guru Nasional 2025 hadir di tengah transformasi pendidikan yang begitu
masif. Digitalisasi ini telah mengubah lanskap pembelajaran dari ruang kelas
konvensional menjadi berekosistem digital yang sangat kompleks.
Platform-platform digital dalam pembelajaran daring dan kecerdasan buatan dalam
pendidikan kini bukan lagi wacana futuristik, melainkan realitas yang dihadapi
guru dan siswa setiap hari.
Dalam
satu dekade terahir, kemajuan teknologi telah mengubah wajah pendidikan secara
radikal. Pembelajaran kini tidak lagi terbatas pada ruang kelas secara fisik,
ia merambah ke ruang-ruang digital melalui platform-platform daring, kecerdasan
buatan, dan sistem pembelajaran adaptif. Transformasi ini menghadirkan peluang
besar, akses pendidikan menjadi lebih luas, sumber belajar lebih beragam, dan
interaksi lintas budaya semakin terbuka.
Namun, dibalik kemudahan akses
informasi dan inovasi pedagogis yang ditawarkan teknologi, muncul pertanyaan
yang sangat mendasar: apakah kita siap menghadapi dilema etika yang
memyertainya? Ketika algoritma dapat menyelesaikan tugas siswa dalam hitungan detik,
ketika identitas digital dapat dimanipulasi dengan mudah, dan ketika batas
antara bantuan teknologi dan kecurangan akademik menjadi kabur, kita berada di
persimpangan jalan yang menuntut refleksi mendalam tentang integritas moral
dalam pendidikan.
Essay ini mengajak kita untuk
menelusuri tantangan etika yang dihadapi oleh peserta didik dan pendidik di era
digital, sekaligus sebagai bahan refleksi tentang bagaimana nilai-nilai
fundamental pendidikan dapat tetap terjaga di tengah arus perubahan yang sangat
deras.
Paradoks
Kemudahan: Ketika Teknologi Menggerus Integritas Akademik
Digitalisasi
membawa kemudahan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Siswa dapat
mengakses jutaan sumber informasi hanya dengan beberapa ketukan jari. Namun,
kemudahan ini juga membuka pintu bagi praktik-praktik yang mengancam integritas
akademik. Plagiasi menjadi lebih mudah dilakukan, tugas dapat dibeli dari jasa
penulis daring, dan kecerdasan buatan generatif dapat menghasilkan essay yang
sulit dibedakan dari karya manusia. Fenomena ini tidak hanya terjadi di
kalangan peserta didik, tetapi juga mulai menyentuh ranah pendidik dan lembaga
pendidikan. Nilai kejujuran, orisinalitas, dan tanggung jawab akademik perlahan
terkikis oleh budaya instan yang ditawarkan teknologi.
Penelitian
OECD (2023) menunjukkan bahwa 38% mahasiswa di negara berkembang mengaku pernah menyalin sebagian
atau seluruh karya akademik dari sumber daring tanpa mencantumkan rujukan yang
benar. Sementara itu, riset McCabe & Pavela (2020) tentang kejujuran
akademik di 24 Universitas menyebutkan bahwa kemajuan teknologi telah
meningkatkan kasus plagiarisme digital secara signifikan, terutama sejak
maraknya penggunaan Artificial Inteligent.
Tantangan
terbesar bukan pada teknologinya sendiri, melainkan pada mindset yang
berkembang di kalangan peserta didik. Surbei yang dilakukan di berbagai
institusi pendidikan menunjukkan meningkatnya toleransi terhadap kecurangan
akademik, dengan dalih argumentasi bahwa “semua orang melakukannhya” atau
“teknologi memang diciptakan untuk mempermudah pekerjaan kita”. Pembenaran
semacam ini mencerminkan krisis etika yang lebih dalam, yakni hilangnya
pemahaman tentang makna sejati pembelajaran.
Pembelajaran
bukan sekedar tentang hasil akhir berupa nilai atau sertifikat, tetapi tentang
proses pembentukan karakter, pengembangan kemampuan berpikir kritis, dan
penanaman sifat kejujuran. Ketika siswa mengambil jalan pintas dengan
memanfaatkan teknologi secara tidak etis, mereka bukan hanya menipu sistem
penilaian, tetapi juga merampas kesempatan mereka sendiri untuk bertumbuh
secara moral dan intelektual.
Dilema
Pendidik: Antara Adaptasi dan Pelestarian Nilai
Transformasi
digital benyak mengubah wajah pendidikan global. Berdasarkan data laporan
UNESCO (2024), lebih dari 75% sekolah di Asia kini menggunakan platform digital
dalam proses pembelajaran. Sistem seperti Learning Management System (LMS),
Artificial Intelligence Tutor, dan Adaptive Learning mempercepat efisiensi
serta personalisasi belajar. Perubahan ini menuntut peran guru bergesert dari
pengajar informasi menjadi fasilitator pembelajaran. Guru kini harus
beradaptasi dengan perangkat digital, memahami algoritma pembelajaran, serta
mampu memanfaatkan teknologi untuk menumbuhkan literasi digital siswa.
Bagi
pendidik, digitalisasi menghadirkan dilema yang tidak kalah rumit. Di satu
sisi, mereka dituntut untuk berdaptassi dengan teknologi baru, mengintegrasikan
platform digital dalam pembelajaran, dan memanfaatkan data analitik untuk
meningkatkan efektivitas pembelajaran. Di sisi lain, mereka juga haris tetap
menjadi penjaga nilai-nilai etika dan integritas akademik.
Lantas,
bagaimana cara menyeimbangkan pengawasan terhadap aktivitas digital siswa tanpa
melanggar privasi mereka? Sejauh mana penggunaan sistem deteksi plagiasi yang
cangguh dapat dibenarkan? Apakah adil jika menggunakan algoritma kecerdasan
buatan untuk menilai karya siswa ketika teknologi yang sama dapat digunakan
siswa untuk mengerjakannya? Bagaimana membedakan antara kolaborasi produktif
dan kecurangan kelompok dalam proyek daring? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
sering muncul dan dihadapi guru di era digital sekarang ini.
Lebih
jauh lagi, pendidik juga dituntut untuk menghadapi tekanan dalam rangka
meningkatkan literasi digital mereka. Kesenjangan digital tidak hanya terjadi
antar siswa, tetapi juga antar guru. Guru yang tidak melek teknologi beresiko
tertinggal, sementara fokus berlebihan pada kompetensi teknis dapat mengalihkan
perhatian dan pengembangan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi
inti dalam pendidikan.
Ancaman
terhadap Hubungan Guru dan Siswa
Salah
satu aset terbesar dalam pendidikan adalah relasi antara guru dan siswa.
Hubungan ini dibangun atas fondasi kepercayaan, empati, dan interaksi personal
yang bermakna. Namun, digitalisasi berpotensi mengikis kualitas relasi ini. Pembelajaran
daring yang berkempanjangan telah menunjukkan betapa sulitnya membangun koneksi
emosional melalui layar. Hilangnya kontak mata, keterbatasan bahasa tubuh, dan
gangguan teknis dapat mengurangi kehangatan dan kedalaman interaksi pedagogis.
Guru kesulitan membaca kondisi emosional siswa, sementara siswa juga kehilangan
momen-momen informal yang justru sering menjadi ruang belajar yang paling
bermakna.
Lebih mengkhawatirkan lagi,
ketergantungan pada sistem otomatis dan kecerdasan buatan dalam proses
pembelajaran dapat mendepersonalisasikan pendidikan. Ketika feedback diberikan
oleh algoritma, ketika bimbingan datang dari chatbot, dan ketika penilaian dilakukan
oleh mesin, lantas dimana posisi sentuhan manusiawinya yang harusnya menjadi
jiwa dalam pendidikan?
Peserta didik di era digital
menghadapi tantangan pembentukan identitas yang unik. Mereka hidup di dua dunia
sekaligus, dunia nyata dan dunia maya. Media sosial menciptakan tekanan untuk
menampilkan citra sempurna, sementara internet dapat mendorong perilaku yang
tidak bertanggung jawab.
Fenomena-fenomena seperti
cyberbullying, penyebaran informasi palsu, dan polarisasi opini menjadi
tantangan etika yang harus dihadapi siswa setiap hari. Mereka perlu belajar
bagaimana menjadi warga digital yang bijak, bagaimana berkomunikasi dengan
sopan di ruang maya, dan bagaimana memilih dan memilah informasi yang valid
dari hoaks. Namun, pendidikan literasi digital dan etika digital masih belum
prioritas di banyak institusi pendidikan.
Keseimbangan
Menuju Pendidikan Digital yang Beretika
Menghadapi tantangan-tantangan
diatas, kita perlu pendekatan yang seimbang dan holistik. Pertama, diperlukan
dialog terbuka antara pendidik, peserta didik, orang tua, dan pemangku
kebijakan tentang nilai-nilai etika di era digital. Kita tidak dapat melarang
penggunaan teknologi, tetapi kita dapat membbimbing penggunaannya agar dapat
digunakan secara bijak dan bertanggung jawab.
Kedua, kurikulum pendidikan perlu
secara eksplisit memasukkan pendidikan karakter digital. Dengan demikian, siswa
tidak hanya perlu belajar cara menggunakan teknologi, tetapi juga kapan,
mengapa, dan untuk tujuan apa teknologi tersebut harus digunakan. Mereka perlu
memahami konsekuensi etis dari tindakan digital yang mereka lakukan.
Ketiga, guru bukan hanya dilengkapi
dengan kompetensi teknis saja, tetapi juga membutuhkan bekal pemahaman mendalam
tentang dimensi etika teknologi pendidikan. Program pengembangan profesional
guru harus mencakup dilema-dilema etis yang mungkin meeak hadapi dan juga
strategi untuk mengatasinya.
Keempat, institusi pendidikan perlu
mengembangkan kebijakan yang jelas dan adil terkait integrias akademik di era
digital. Aturan-aturan tentang plagiasi, kolaborasi, dan penggunaan AI perlu
didefinisikan dengan jelas dan dikomunikasikan secara transparan. Namun,
pendekatan yang terlalu punitif beresiko memunculkan isu-isu kontraproduktif,
yang dibutuhkan adalah budaya kejujuran yang dipupuk melalui teladan dan
penghargaan terhadap integritas dalam pendidikan.
Penutup
Digitalisasi
pendidikan adalah keniscayaan yang tidak bisa kita tolak. Namun, kita memiliki
pilihan tentang bagaimana kita meresponnya. Kita dapat membiarkan teknologi
mendikte arah pendidikan, atau kita dapat memastikan bahwa nilai fundamental
dalam pendidikan tetap menjadi kompas dalam pemanfaatan teknologi.
Di Hari Guru Nasional 2025 ini,
marilah kita menghormati para pendidik yang telah berjuang tidak hanya untuk
mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga untuk membentuk karakter di tengah
kompleksitas era digital. Mereka adalah penjaga nilai-nilai kemanusiaan yang
paling bergarga.
Bagi peserta didik, kalian harus
ingat bahwa pendidikan adalah tentang menjadi manusia yang lebih baik, bukan
hanya mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Teknologi adalah alat, bukan tujuan.
Maka gunakanlah dengan bijak untuk memperkaya proses pembelajaran, bukan untuk
menghindaru proses belajar itu sendiri.
Krisis etika yang kita hadapi hari
ini adalah penggilan untuk kembali pada esensi pendidikan. Pembentukan manusia
seutuhnya yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara
moral dan emosional. Di tengah pusaran teknologi yang terus berkembang, marilah
kita pegang teguh nilai-nilai kemanusiaan yang menjadikan pendidikan sebagai
proses yang transformatif dan bermakna.
Seperti yang dikatakan oleh Ki
Hadjar Dewantara, pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada
anak-anak agat mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Di
era digital ini, kodrat tersebut mencakup kemampuan untuk menggunakan teknologi
dengan bijak dan beretika, menjadi warga digital yang bertanggung jawab, dan
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kamanusiaan yang abadi.
0 Comments