Dilema Guru di Hari Guru

Rifqi Khoirul Ikhsan
50224003
Pascasarjana UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan 

Pendahuluan

Peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November merupakan momen penting untuk merefleksikan kembali posisi guru dalam sistem pendidikan Indonesia. Peringatan ini biasanya dipenuhi dengan ungkapan apresiasi, pemberian penghargaan, serta narasi tentang pengabdian guru yang tak mengenal pamrih. Dalam budaya pendidikan Indonesia, guru sering diposisikan sebagai figur yang penuh keikhlasan dan ketulusan dalam bekerja. Namun, di balik idealisasi tersebut, terdapat kenyataan sosial yang kompleks terkait kesejahteraan guru, terutama mereka yang berstatus honorer.

Berbagai survei di tahun 2024 menunjukkan bahwa mayoritas guru honorer masih berada dalam kategori rentan secara ekonomi, bahkan untuk bisa dikatakan “layak” secara ekonomi sekalipun. Sebuah laporan dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mencatat bahwa 74% guru honorer di Indonesia digaji di bawah Rp 2 juta per bulan (IDEAS, 2024). Bahkan, 20,5% guru honorer menerima gaji kurang dari Rp 500.000 (Ideas, 2024). Kenyataan tersebut bukanlah isapan jempol semata, hal itu tercermin dalam sebuah postingan yang di unggah oleh akun TikTok @sadampermanawiyana yang menjelaskan bahwa ada guru yang digaji Rp. 66.000 untuk satu bulan dia mengajar, dibuktikan dengan sebuah foto slip gaji yang diterima dari guru tersebut, dan hal yang sangat mengharukkan guru tersebut mengungkapkan bahwa yang menjadi motivasinya untuk semangat mengajar meski digaji dengan sangat rendah adalah karena bahagia melihat senyum anak didiknya (Wiyana, 2025). Kondisi ini menunjukkan adanya ironi yang luar biasa, ketika guru yang bekerja untuk menciptakan masa depan bangsa yang cerah justru harus menerima realita betapa gelapnya kesejahteraan dari pekerjaanya. Betapa kontrasnya antara peran strategis dengan kelayakan gaji yang mereka peroleh. Fakta ini menunjukkan polemik ketimpangan struktural yang belum mampu diatasi pemerintah Indonesia hingga tahun 2025 ini.

Momentum Hari Guru memberikan ruang reflektif untuk mengkaji ulang dilema tersebut. Apakah keikhlasan guru dapat terus direproduksi dan dirayakan secara romantis ketika kesejahteraan mereka masih jauh dari layak? Apakah tuntutan profesionalisme, inovasi pedagogis, dan peningkatan mutu pembelajaran masih dapat dijalankan secara optimal ketika kebutuhan dasar pun belum terpenuhi? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya relevan untuk dipertimbangkan setiap peringatan Hari Guru, tetapi juga menjadi pijakan penting dalam menilai kembali arah kebijakan pendidikan nasional. Dengan demikian, esai ini berupaya mengurai dilema tersebut secara kritis sekaligus mengajak pembaca untuk menimbang kembali posisi, peran, dan hak-hak dasar guru dalam kerangka pembangunan pendidikan yang lebih berkeadilan.

 

Profesionalisme Guru dan Beban Moral Keikhlasan

Profesi guru secara teoretis menggabungkan dua dimensi: profesionalitas dan moralitas. Profesionalitas terlihat dari kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang harus dimiliki. Sementara itu, moralitas mencakup nilai-nilai luhur seperti pengabdian, ketulusan, dan keikhlasan (Syam & Santaria, 2020). Pada setiap peringatan Hari Guru, kedua dimensi ini biasanya dipertemukan dalam narasi publik yang menekankan bahwa guru bekerja bukan semata-mata demi materi, tetapi demi misi mulia mencerdaskan kehidupan bangsa. Narasi ini kemudian membentuk citra ideal bahwa guru adalah figur pengorbanan yang rela menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Namun, konstruksi moral tersebut meskipun penting sering kali menimbulkan ambivalensi ketika dihadapkan pada realitas kesejahteraan guru yang belum sepenuhnya terpenuhi. Dengan demikian, relasi antara profesionalitas dan moralitas tidak hanya menjadi aspek filosofis dalam profesi guru, tetapi juga menjadi titik krusial dalam memahami dilema struktural yang mereka hadapi di Indonesia.

Narasi ini memang memiliki nilai etis, namun bisa menjadi beban moral ketika digunakan sebagai alasan untuk menutupi ketimpangan kesejahteraan. Guru seolah dituntut untuk tetap ikhlas meskipun gaji yang diterima jauh dari layak. Dalam konteks etika profesi, keikhlasan merupakan nilai personal, sedangkan kesejahteraan merupakan hak yang harus diberikan secara struktural oleh negara dan lembaga pendidikan. Pemaksaan keikhlasan justru dapat menjadi bentuk ketidakadilan moral yang mengabaikan dimensi manusiawi seorang guru.

Dalam realitas, guru dituntut menguasai teknologi pembelajaran, menyusun perangkat ajar, melakukan asesmen autentik, mengikuti pelatihan, dan tetap membina hubungan emosional dengan peserta didik. Kompleksitas tugas ini menegaskan bahwa guru tidak hanya membutuhkan keikhlasan, tetapi juga dukungan material agar mampu bekerja secara profesional.

 

Realitas Kesejahteraan: Ketimpangan yang Memengaruhi Kualitas Pembelajaran

Ketimpangan kesejahteraan guru secara langsung memengaruhi kualitas pendidikan. Data menunjukkan bahwa 55,8% guru honorer memiliki pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka (Yonatan, 2024). Pekerjaan tambahan tersebut mencakup kegiatan seperti mengajar privat, berdagang, menjadi driver online, hingga membuat konten di media sosial. Keragaman bentuk pekerjaan sampingan ini menunjukkan bahwa banyak guru terpaksa mencari sumber pendapatan alternatif demi memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dapat ditopang sepenuhnya oleh gaji utama. Situasi ini pada akhirnya mengakibatkan waktu, energi, dan fokus mereka terbagi, sehingga berpotensi memengaruhi konsentrasi dalam merancang pembelajaran, mempersiapkan administrasi pendidikan, maupun melakukan evaluasi secara optimal. Beban ganda ini tidak hanya berdampak pada kualitas kinerja pedagogis di kelas, tetapi juga dapat menimbulkan kelelahan emosional dan fisik yang berimplikasi pada motivasi kerja serta kualitas interaksi guru dan siswa. Dengan demikian, fenomena pekerjaan sampingan bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga problem sistemik yang berpengaruh langsung terhadap mutu pendidikan.

Selain itu, berbagai laporan jurnal pendidikan memperlihatkan bahwa di sejumlah daerah, guru honorer masih menerima upah yang bersumber dari dana BOS, yang besarnya sangat ditentukan oleh kemampuan finansial sekolah. Ketergantungan pada dana operasional yang fluktuatif ini membuat sebagian guru hanya menerima gaji ratusan ribu rupiah per bulan (Fatkhurrohman & Pamungkas, 2025). Situasi tersebut bukan hanya mencerminkan ketimpangan dalam sistem pembiayaan pendidikan, tetapi juga memperlihatkan lemahnya perlindungan negara terhadap tenaga pendidik yang berperan vital dalam proses pembelajaran. Dalam jangka panjang, kondisi ini menimbulkan risiko burnout yang tinggi, kelelahan emosional akibat tekanan ekonomi, serta penurunan motivasi kerja yang berpotensi memengaruhi komitmen profesional guru.

Dampak langsungnya pun terasa pada kualitas pembelajaran. Waktu guru untuk mempersiapkan materi menjadi jauh lebih sedikit karena harus dibagi dengan pekerjaan sampingan, peluang untuk mengikuti pelatihan atau peningkatan kompetensi semakin menyempit, dan kreativitas pedagogis terhambat oleh tekanan finansial yang membuat guru berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan demikian, persoalan kesejahteraan guru bukan hanya berkaitan dengan aspek ekonomi pribadi, melainkan merupakan isu strategis yang turut menentukan kualitas pendidikan nasional. Keterbatasan kesejahteraan guru berarti keterbatasan dalam penyediaan pembelajaran bermutu, yang pada akhirnya berdampak pada capaian belajar siswa dan daya saing pendidikan Indonesia secara keseluruhan.

 

Keikhlasan dalam Perspektif Etika Pendidikan

Dalam etika pendidikan, keikhlasan merupakan bagian dari integritas guru. Guru yang ikhlas mengajar berorientasi pada nilai-nilai kebaikan dan tanggung jawab moral. Namun, keikhlasan tidak dapat dipaksa dan tidak dapat berkembang optimal ketika seorang guru berada dalam keadaan tertekan secara ekonomi.

Guru yang bekerja dalam kondisi ekonomi terjepit cenderung mengalami kelelahan psikologis, sehingga sulit mempertahankan orientasi moral yang stabil. Etika keadilan menekankan bahwa kesejahteraan adalah prasyarat dasar untuk terwujudnya keikhlasan yang murni. Dengan kata lain, keikhlasan tidak dapat berdiri sendiri; ia membutuhkan dukungan struktural berupa penghargaan materiil yang layak. Momentum Hari Guru seharusnya menyadarkan semua pihak bahwa apresiasi moral perlu diimbangi dengan pemenuhan hak ekonomi. Seremonial penghargaan tanpa perbaikan kesejahteraan hanya akan memperpanjang romantisasi yang tidak realistis terhadap profesi guru.

 

Hari Guru sebagai Momentum Perubahan Kebijakan

Hari Guru tidak boleh berhenti pada seremoni simbolis. Ini harus menjadi momentum untuk memperjuangkan perbaikan kondisi kesejahteraan guru nasional. Beberapa langkah strategis yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  1. Mempercepat penyelesaian status guru honorer melalui rekrutmen ASN atau PPPK yang lebih terstruktur dan terjangkau.
  2. Memperbaiki distribusi anggaran pendidikan, terutama terkait insentif dan tunjangan guru.
  3. Menerapkan standar gaji minimum nasional untuk guru honorer, terutama di sekolah negeri yang masih sangat bergantung pada dana BOS.
  4. Meningkatkan akses pelatihan gratis dan berkualitas untuk guru agar mereka tidak terbebani biaya pengembangan kompetensi.

Ketika kesejahteraan guru diperkuat, keikhlasan tidak lagi menjadi beban moral, tetapi dapat berkembang sebagai kekuatan spiritual yang mendukung profesionalitas.

 

Penutup

Dilema antara keikhlasan dan kesejahteraan merupakan persoalan mendasar yang dihadapi guru Indonesia sejak lama. Nilai keikhlasan memang menjadi identitas moral profesi guru, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan kebutuhan hidup mereka. Data statistik terbaru menunjukkan bahwa guru honorer masih berada dalam kondisi yang jauh dari layak. Oleh karena itu, momentum Hari Guru harus dimaknai sebagai kesempatan memperjuangkan perubahan sistemik, bukan sekadar memberi apresiasi simbolis.

Kunci untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas adalah harmonisasi antara keikhlasan dan kesejahteraan. Guru yang sejahtera akan lebih mudah menjaga keikhlasan, dan keikhlasan yang tumbuh dalam situasi sejahtera akan meningkatkan kualitas pembelajaran. Pada akhirnya, penghargaan sejati kepada guru bukan terletak pada slogan, tetapi pada komitmen negara dan masyarakat untuk menghadirkan kesejahteraan yang adil dan manusiawi bagi mereka.

 

DAFTAR PUSTAKA

Fatkhurrohman, M., & Pamungkas, N. L. (2025). Kanalisasi Kebijakan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk Peningkatan Kesejahteraan Guru Honorer di Indonesia. Jurnal Jamsostek, 3(1). https://doi.org/https://doi.org/10.61626/jamsostek.v3i1.106

Ideas. (2024). Survei IDEAS: 74 Persen Guru Honorer dibayar Lebih Kecil dari Upah Minimum Terendah Indonesia. Ideas.or.Id. https://ideas.or.id/2024/05/22/survei-ideas-74-persen-guru-honorer-dibayar-lebih-kecil-dari-upah-minimum-terendah-indonesia/

Syam, A. A., & Santaria, R. (2020). Moralitas dan Profesionalisme Guru sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jurnal Study Guru Dan Pembelajaran, 3(2). https://doi.org/https://doi.org/10.30605/jsgp.3.2.2020.297

Wiyana, S. P. (2025). Gaji Guru 66 ribu Sebulan. https://vt.tiktok.com/ZSffPwBsa/

Yonatan, A. Z. (2024). Lebih dari 50% Guru Indonesia Punya Kerja Sampingan. Goodstats. https://data.goodstats.id/statistic/lebih-dari-50-guru-indonesia-punya-kerja-sampingan-jjLr4#:~:text=Menghimpun data survei mengenai kesejahteraan guru yang merupakan,dari responden yang disurvei mengaku memiliki pekerjaan sampingan.

 

 

Post a Comment

0 Comments