MEMBANGUN GENERASI MUDA YANG CERDAS DAN BERETIKA DI DUNIA MAYA.

Sakhat Maulidah (50224006)
Kelas: MPAI (A)

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi digital telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan generasi muda masa kini. Akses informasi yang begitu luas, kehadiran media sosial, serta kemudahan berkomunikasi membuat dunia maya menjadi ruang baru bagi proses belajar, bersosialisasi, dan berekspresi. Namun, kemajuan ini tidak selalu membawa dampak positif. Fenomena penyebaran hoaks, cyberbullying, ujaran kebencian, penyalahgunaan media digital, hingga rendahnya etika komunikasi menjadi tantangan serius yang harus dihadapi (Bahri, 2021). Banyak siswa yang mampu menggunakan teknologi secara teknis, tetapi belum mampu memahami konsekuensi moral dan sosial dari tindakan digital (Asari et al., 2019). Dalam konteks inilah, literasi digital tidak hanya dimaknai sebatas kemampuan mengoperasikan perangkat, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis, beretika, serta memiliki empati dalam berinteraksi di ruang digital.

Dalam momentum Hari Guru Nasional tahun 2025 ini mengingatkan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki tanggung jawab besar dalam menyiapkan generasi muda menghadapi tantangan era digital. Di antara seluruh elemen pendidikan, guru memegang peranan strategis. Guru bukan hanya penyampai ilmu pengetahuan, tetapi juga model utama dalam pembentukan karakter siswa (Dewi et al., 2021). Keteladanan yang ditunjukkan guru dalam penggunaan teknologi menjadi rujukan bagi siswa dalam membangun perilaku digital siswa. Sikap guru dalam memilih informasi, cara berkomunikasi di platform digital, serta kebiasaannya dalam memanfaatkan teknologi akan dengan mudah ditiru oleh siswa. Oleh karena itu, guru perlu hadir bukan hanya sebagai pengajar materi, tetapi sebagai teladan literasi digital yang menunjukkan bagaimana menggunakan teknologi secara cerdas, bijak, dan beretika.

ISI

Peran guru dalam literasi digital mencakup beberapa aspek penting. Pertama, guru berperan sebagai role model dalam penggunaan teknologi yang positif. Ketika guru mampu memanfaatkan media digital untuk hal-hal produktif seperti pembelajaran, pengembangan diri, atau berbagi informasi edukatif, siswa akan melihat bahwa teknologi bukan sekadar sarana hiburan, tetapi juga wadah untuk belajar dan berkarya. Kedua, guru berperan sebagai filter nilai. Dalam derasnya arus informasi, siswa sering kali kesulitan memisahkan informasi yang valid dan tidak valid. Guru dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan literasi kritis dengan mengajarkan cara memverifikasi sumber, memahami konteks informasi, dan mempertimbangkan dampak dari penyebarannya. Ketiga, guru berperan sebagai pendidik moral di dunia digital dengan menanamkan nilai-nilai etika, sopan santun, empati, dan tanggung jawab dalam berkomunikasi (Fajar Baskoro, Hozairi, Arya Yudhi Wijaya, 2023).

Selain itu, guru juga menjadi fasilitator dalam membimbing siswa mengembangkan kreativitas digital. Banyak siswa yang memiliki kemampuan membuat konten, namun belum memahami etika dan tujuan dari konten tersebut. Dengan pendampingan guru, kegiatan seperti membuat video edukatif, desain poster kampanye sosial, atau tulisan opini dapat menjadi wadah pembelajaran literasi digital yang bermakna. Di sinilah aspek afektif menjadi penting. Literasi digital tidak hanya membentuk kemampuan berpikir, tetapi juga membangun kesadaran emosional dan empati terhadap orang lain. Ketika guru mencontohkan bagaimana menyampaikan kritik dengan bahasa yang santun, menghargai privasi, serta mempertimbangkan perasaan pihak lain, siswa akan belajar bahwa dunia maya adalah ruang sosial yang juga memerlukan kepedulian dan etika.

Untuk membangun generasi muda yang cerdas dan beretika di dunia maya, guru dapat menerapkan berbagai strategi. Keteladanan merupakan strategi yang paling mendasar. Guru perlu menunjukkan perilaku digital yang bertanggung jawab, seperti tidak menyebarkan informasi tanpa verifikasi, menghormati hak cipta, serta menggunakan bahasa yang sopan dalam komunikasi daring (Mashuri et al., 2022). Pembiasaan ini memberikan pengalaman langsung bagi siswa untuk melihat dan meniru perilaku positif. Integrasi literasi digital dalam pembelajaran juga menjadi langkah efektif. Guru dapat memanfaatkan platform digital untuk kegiatan belajar, memberikan proyek pembuatan konten positif, atau mengadakan diskusi mengenai isu digital terkini. Melalui aktivitas tersebut, siswa belajar bukan hanya teori, tetapi juga praktik langsung dalam mengelola teknologi dengan bijak.

Pembentukan karakter menjadi bagian penting yang tidak boleh dilupakan. Pendidikan karakter dalam konteks digital perlu menekankan aspek afektif seperti empati, tanggung jawab, dan kepekaan sosial. Guru dapat mengajak siswa berdiskusi mengenai dampak cyberbullying terhadap psikologis korban, pentingnya menjaga privasi diri dan orang lain, serta bagaimana sebuah komentar di media sosial dapat melukai perasaan seseorang. Dengan mengaitkan literasi digital dengan nilai kemanusiaan, siswa akan memahami bahwa aktivitas online memiliki konsekuensi nyata di dunia nyata. Kolaborasi antara sekolah dan orang tua juga sangat diperlukan. Orang tua memiliki peran sebagai pengawas penggunaan gadget di rumah, sementara sekolah memberikan pendidikan dan pembiasaan. Kerja sama ini menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuhnya budaya digital yang sehat.

Namun, upaya membangun generasi digital yang cerdas dan beretika tidak terlepas dari berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah rendahnya kemampuan literasi digital sebagian guru itu sendiri. Masih banyak guru yang gagap teknologi atau belum memahami etika digital secara menyeluruh  (Mustika Wanda, 2024). Selain itu, budaya digital negatif telah menyebar luas di kalangan remaja, seperti viralitas tanpa batas, konten sensasional, dan tekanan sosial dari media. Akses internet yang tidak merata juga menjadi hambatan bagi implementasi literasi digital yang menyeluruh. Pengaruh teman sebaya dan media sosial yang begitu kuat seringkali membuat nilai-nilai positif sulit diinternalisasi.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan beberapa solusi. Pelatihan literasi digital bagi guru harus menjadi prioritas agar mereka memiliki kemampuan yang memadai dalam membimbing siswa. Sekolah juga perlu menciptakan kebijakan yang mendukung budaya digital positif, seperti program literasi digital rutin, kampanye anti-cyberbullying, dan penggunaan platform pembelajaran yang aman. Selain itu, pembiasaan nilai-nilai etika digital perlu dilakukan secara konsisten agar menjadi bagian dari karakter siswa, bukan sekadar pengetahuan.

PENUTUP

Pada akhirnya, membangun generasi muda yang cerdas dan beretika di dunia maya adalah tanggung jawab bersama, tetapi guru memiliki posisi sentral dalam proses ini. Keteladanan guru menjadi kunci dalam membentuk perilaku digital siswa. Dengan membimbing, memberikan contoh, serta menanamkan nilai empati dan tanggung jawab, guru dapat membantu siswa menjadi pengguna teknologi yang tidak hanya mahir, tetapi juga bermoral dan berkarakter. Harapannya, melalui peran aktif guru, dunia maya dapat menjadi ruang yang lebih sehat, beradab, dan bermakna bagi perkembangan generasi muda, sehingga siswa mampu berkembang sebagai individu yang cerdas secara intelektual, matang secara emosional, dan beretika dalam setiap interaksi digitalnya.

Di momentum Hari Guru Nasional 2025, kita diingatkan bahwa peran guru tidak hanya membangun kecerdasan di ruang kelas, tetapi juga menyalakan lentera etika di dunia maya. Dalam era yang serba digital ini, guru hadir sebagai kompas moral yang menuntun generasi muda agar tetap cerdas, kritis, dan berakhlak di tengah derasnya arus informasi. Melalui keteladanan, bimbingan, dan kasih sayang yang tidak pernah putus, para guru membantu anak-anak bangsa memahami bahwa kecanggihan teknologi harus berjalan seiring dengan kebijaksanaan hati. Maka, di hari bermakna ini, marilah kita merayakan guru sebagai sosok inspiratif yang tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membangun karakter digital demi lahirnya generasi yang mampu bersinar di dunia nyata maupun dunia maya dengan integritas, empati, dan etika yang kuat.

 

REFERENSI

Asari, A., Kurniawan, T., Ansor, S., Bagus, A., & Rahma, N. (2019). Kompetensi Literasi Digital Bagi Guru Dan Pelajar Di. BIBLIOTIKA: Jurnal Kajian Perpustakaan Dan Informasi, 3.

Bahri, S. (2021). Literasi Digital Menangkal Hoaks Covid-19 di Media Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, 10(1).

Dewi, D. A., Hamid, S. I., Annisa, F., Oktafianti, M., & Genika, P. R. (2021). Menumbuhkan Karakter Siswa melalui Pemanfaatan Literasi Digital. Jurnal Basicedu, 5(6). https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i6.1609

Fajar Baskoro, Hozairi, Arya Yudhi Wijaya, M. Z. A. (2023). Literasi Digital Untuk Remaja (Aas Masruroh (ed.); September,). Widina Media Utama.

Mashuri, C., Permadi, G. S., Vitadiar, T. Z., Mujianto, A. H., Cakra, R., Faizah, A., & Kistofer, T. (2022). Buku Ajar Literasi Digital (Desember 2). kumpulan Rumah Cemerlang Indonesia Anggota IKAPI Jawa Barat.

Mustika Wanda, E. (2024). Pengaruh Literasi Digital Pada Generasi Z Terhadap Pergaulan Sosial Di Era Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi. Jurnal Sosial Teknologi, 3(12). https://doi.org/10.59188/jurnalsostech.v3i12.1078

 

Post a Comment

0 Comments