Nuzul Fahrudin
50224007
Kelas MPAI A
PENDAHULUAN
Percepatan
perkembangan teknologi telah mengubah metode pembelajaran, komunikasi, dan
pembentukan identitas generasi muda. Dalam konteks disrupsi digital yang
berlangsung secara instan, penguasaan karakteristik seperti empati, tanggung
jawab, dan integritas semakin vital sebagai pedoman moral bagi pelajar.
Meskipun teknologi menyediakan kesempatan belajar yang luas, ia juga membawa
risiko, seperti penyalahgunaan informasi, perilaku impulsif di platform media
sosial, serta penurunan kualitas hubungan sosial. Oleh karena itu, pendidikan
karakter harus dipandang sebagai suatu keharusan, bukan hanya sebagai
pelengkap, guna memastikan bahwa perkembangan siswa bersifat seimbang baik dari
segi intelektual maupun emosional (Prasetyo, 2022). Dalam konteks ini, guru
memiliki peranan strategis dalam menginternalisasi nilai-nilai moral agar siswa
dapat berutilisasi teknologi dengan bijaksana.
Dalam realitas
digital saat ini, siswa diharuskan untuk memilah informasi, mengendalikan
perilaku, dan memahami konsekuensi dari setiap interaksi di dunia maya. Tanpa
bimbingan yang memadai, siswa berisiko terjebak dalam budaya digital yang
menekankan pada kecepatan dan validasi instan. Penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan perangkat elektronik yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan
kemampuan konsentrasi dan mengganggu interaksi sosial secara langsung (Riyadi,
2023). Kondisi ini menegaskan bahwa pendidikan karakter tidak dapat diserahkan
semata-mata pada kurikulum, melainkan harus diintegrasikan sebagai praktik yang
konsisten di lingkungan sekolah. Guru perlu memastikan bahwa siswa tidak hanya
memiliki kecakapan digital, tetapi juga kemampuan untuk mengendalikan diri dan
menghargai orang lain.
Isi
Seorang guru
berfungsi tidak hanya sebagai penyampai materi akademik, tetapi juga sebagai
pembimbing moral yang memberikan arahan mengenai perilaku siswa di ruang
digital. Tugas guru mencakup pengenalan etika digital, yang meliputi
perlindungan privasi, penghormatan terhadap perbedaan, penghindaran perundungan
online, dan pengembangan sikap kritis terhadap informasi. Laporan dari UNESCO
menekankan bahwa literasi digital yang tidak disertai literasi etika dapat
menimbulkan konsekuensi sosial negatif, mengingat teknologi dapat memperbesar
dampak dari setiap tindakan (UNESCO, 2021). Melalui praktik yang konsisten dan
dialog terbuka, guru dapat membantu membangun budaya kelas yang mengedepankan
rasa hormat, kedewasaan dalam menggunakan teknologi, dan tanggung jawab moral.
Lebih dari
sekadar penerapan aturan, teladan yang diperagakan oleh guru merupakan elemen
kunci dalam pendidikan karakter. Sebagai figur publik yang senantiasa
diperhatikan oleh siswa, setiap tindakan guru, mulai dari cara berbicara hingga
penyelesaian masalah, menjadi contoh moral bagi mereka. Teladan ini selaras
dengan teori perkembangan moral yang menekankan pentingnya peran model dalam
pembentukan karakter anak (Santrock, 2020). Dengan memberikan contoh konkret
dalam kehidupan sehari-hari, guru berkontribusi dalam menunjukkan bahwa nilai
moral seharusnya diinternalisasi sebagai sikap hidup, bukan hanya sekadar
teori.
Selain menjadi
teladan, pengalaman belajar yang autentik juga merupakan pendekatan yang
efektif dalam penanaman karakter. Metode pembelajaran berbasis proyek, simulasi
digital, kolaborasi dalam kelompok, dan diskusi reflektif menciptakan
kesempatan bagi siswa untuk mempraktikkan empati, kerjasama, dan tanggung
jawab. Kurikulum Merdeka menyoroti pentingnya pembentukan Profil Pelajar
Pancasila, yang mencakup nilai-nilai seperti gotong royong, berpikir kritis,
dan kemandirian (Kemendikbud RI, 2023). Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ini
ke dalam aktivitas belajar, guru berperan dalam memfasilitasi pemahaman siswa
mengenai nilai karakter secara langsung.
Namun, proses
pembentukan karakter di tengah kemajuan digital bukanlah hal yang mudah. Banyak
siswa lebih terpengaruh oleh konten viral di media sosial dibandingkan dengan
nasihat dari guru atau orang tua. Budaya digital sering memicu perilaku
impulsif dan pragmatis yang bertentangan dengan nilai-nilai kesabaran dan
tanggung jawab. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan
adanya peningkatan signifikan dalam kasus perundungan siber dan konsumsi konten
negatif di kalangan remaja di Indonesia (Kominfo, 2024). Fenomena ini
mengindikasikan bahwa pendidikan karakter perlu dilaksanakan secara kolaboratif
antara sekolah, keluarga, dan lingkungan digital.
Orang tua,
sebagai pendidik pertama dalam keluarga, memiliki peran yang signifikan dalam
membimbing penggunaan teknologi di rumah. Namun, banyak orang tua yang belum
memiliki pemahaman yang memadai mengenai literasi digital, termasuk pemahaman
tentang cara kerja algoritma media sosial dan pemantauan waktu penggunaan
perangkat elektronik. Oleh karena itu, kolaborasi antara guru dan orang tua
sangatlah penting. Bentuk kolaborasi ini dapat mencakup komunikasi reguler,
penyuluhan tentang pengasuhan digital, serta kesepakatan mengenai aturan
penggunaan perangkat (Wahyuningsih, 2022). Ketika sekolah dan keluarga saling
mendukung, pembentukan karakter dapat berlangsung secara konsisten dan efektif.
Di samping
peran keluarga, sekolah juga harus menyediakan lingkungan yang mendukung budaya
literasi digital yang sehat. Program literasi digital yang komprehensif
seharusnya mencakup dimensi teknis, emosional, dan sosial dari penggunaan
teknologi. Tujuannya tidak hanya agar siswa dapat menggunakan teknologi, tetapi
juga memahami risiko dan tanggung jawab yang menyertainya. Dengan demikian,
sekolah berkontribusi dalam menciptakan ruang digital yang aman dan sekaligus
membangun karakter yang kuat di tengah tantangan budaya online.
Di sisi lain,
teknologi dapat berfungsi sebagai mitra dalam pendidikan karakter jika
diterapkan dengan pendekatan yang tepat. Platform refleksi digital, video
pembelajaran mengenai nilai-nilai moral, dan aplikasi kolaboratif dapat
memperkuat empati, toleransi, dan kesadaran sosial. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan teknologi secara positif dapat meningkatkan
interaksi sosial dan nilai integritas siswa dalam konteks pendidikan (Hasanah,
2024). Ini menunjukkan bahwa teknologi tidak selalu menjadi antitesis
pendidikan karakter; sebaliknya, ia dapat memperkaya pengalaman moral siswa.
PENUTUP
Pengembangan
karakter siswa dalam konteks disrupsi teknologi merupakan proses yang kompleks
namun sangat krusial untuk masa depan bangsa. Peran guru sangat signifikan
dalam memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak mengikis nilai-nilai moral
generasi muda, melainkan justru memperkuatnya. Melalui keteladanan, pembiasaan
etika digital, kolaborasi dengan orang tua, serta pengalaman belajar yang
autentik, guru dapat menanamkan karakter yang kokoh, yang merupakan modal utama
bagi siswa dalam menghadapi tantangan di era digital. Hari Guru Nasional 2025
dapat dijadikan sebagai momen strategis untuk menegaskan kembali bahwa guru
berperan sebagai penjaga moral, pemandu karakter, dan sumber inspirasi dalam
perjalanan siswa menuju keutuhan sebagai individu. Dengan karakter yang kuat,
siswa Indonesia akan memiliki kemampuan untuk menavigasi dunia digital tanpa
kehilangan identitas dan nilai-nilai kebangsaan yang mendasarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasanah, R. (2024). Pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran
karakter. Jurnal Inovasi Pendidikan, 15(2), 112–125.
Kemendikbud RI. (2023). Panduan Profil Pelajar Pancasila.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kominfo. (2024). Laporan tahunan perilaku digital remaja Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Prasetyo, A. (2022). Pendidikan karakter di era digitalisasi.
Jurnal Pendidikan Karakter, 10(1), 45–57.
Riyadi, M. (2023). Dampak penggunaan gawai terhadap perkembangan
remaja. Pusat Kajian Remaja Indonesia.
Santrock, J. W. (2020). Adolescence and moral development.
McGraw-Hill Education.
UNESCO. (2021). Ethical digital literacy for students. UNESCO
Publishing.
Wahyuningsih, T. (2022). Kolaborasi orang tua dan sekolah dalam
pendidikan karakter. Jurnal Pendidikan Nasional, 8(3), 201–215.
0 Comments