GURU SEBAGAI AGEN LITERASI DIGITAL: PERAN STRATEGIS DALAM MENANGKAL DAMPAK NEGATIF MEDIA SOSIAL

Nirmala Hidayati_50224004

PENDAHULUAN

Peringatan Hari Guru Nasional pada 25 November selalu menjadi momentum untuk merenungkan kembali tugas mulia guru sebagai uswatun hasanah dan murobbi. Di tengah gelombang revolusi digital, ruang kelas tidak lagi dibatasi oleh dinding, melainkan meluas hingga ke media sosial, platform komunikasi, dan dunia maya yang tak terbatas. Samudra digital ini, meski menawarkan kemudahan akses ilmu pengetahuan, juga menyuguhkan tantangan moral dan etika yang jauh lebih pelik.

Risiko di ruang digital bukan hanya masalah teknis, tetapi kriris integritas fundamental. Ancaman seperti penyebaran ghibah dan fitnah melalui hoax dan cyberbullying, hingga pelanggaran hak cipta digital menjadi ujian berat terhadap akhlakul karimah (Misbah, 2025). Di sinilah peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) menjadi sentral, bahkan tak tergantikan. Relevansi Guru PAI pada Hari Guru Nasional 2025 bukan lagi sekadar mengajarkan rukun iman dan rukun Islam, melainkan bertransformasi menjadi Nakhoda Moral yang membimbing siswa mengamalkan nilai-nilai keagamaan dalam ekosistem digital.

PEMBAHASAN (ISI)

Tantangan di dunia digital yang paling nyata adalah fenomena cyberbullying dan ujaran kebencian. Di balik layar anonimitas, banyak siswa yang merasa bebas melontarkan kata-kata kasar, ghibah, atau bahkan menyebar fitnah tanpa merasa bersalah. Guru PAI memiliki mandat utama untuk menanamkan Akhlakul Karimah Digital, yaitu etika berinteraksi yang bersumber dari ajaran Islam.

Siswa perlu diajarkan bahwa prinsip interaksi sosial dan adab berbicara yang diajarkan Rasulullah SAW berlaku universal, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Ayat Al-Qur'an tentang menjaga dan larangan ghibah serta namimah harus dihubungkan secara kontekstual dengan unggahan di media sosial, kolom komentar, dan chat group. Guru PAI dalam pencegahan cyberbullying, menanamkan empati dan mengajarkan mekanisme Amar Ma'ruf Nahi Munkar  secara santun di ruang digital. Ketika siswa memahami bahwa setiap ketikan adalah amal yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT , integritas digital akan terinternalisasi sebagai kesadaran spiritual, bukan sekadar kepatuhan pada aturan sekolah (Taabudillah, 2023).

Dalam Islam, prinsip Tabayyun merupakan perintah agama yang wajib diamalkan sebelum menyebarkan suatu berita, sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Hujurat ayat 6.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ۝٦

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.

Guru PAI berperan sebagai agen Tabayyun Digital, mengajarkan siswa teknik verifikasi informasi berdasarkan prinsip kehati-hatian. Guru harus membimbing siswa untuk: Pertama, Menganalisis Sumber dengan mencari informasi, Apakah sumber berita tersebut kredibel (tsiqah) ataukah akun anonim. Kedua yakni, Mencari Bukti, dengan Membandingkan informasi dari berbagai sumber yang terpercaya. Ketiga, Menahan Diri dengan Menunda penyebaran informasi yang belum terverifikasi untuk menghindari dosa fitnah. Pendekatan ini jauh lebih kuat daripada sekadar mengajarkan literasi teknis. Dengan tabayyun, integritas siswa diperkuat secara spiritual, karena mereka didorong oleh motivasi agama untuk menjadi penyebar kebenaran, bukan penyebar kebohongan (Fauziah, 2021).

Guru tidak melakukan pengawasan ketat atau ancaman hukuman, melainkan melalui pendampingan, dialog, dan penanaman nilai. Penelitian (Rahmawati et al., 2025) menegaskan bahwa literasi digital paling efektif jika dibimbing oleh guru dalam proses belajar sehari-hari. Guru tidak hanya memberikan teori, tetapi memperlihatkan bagaimana menggunakan teknologi dengan benar: bagaimana mengecek kebenaran informasi, bagaimana mengutip sumber, dan bagaimana menggunakan AI sebagai alat pendukung.

Guru dapat membimbing siswa memahami bahwa teknologi tidak menghilangkan nilai kejujuran, justru teknologi menuntut kejujuran yang jauh lebih besar. Guru menegaskan bahwa kehadiran perangkat digital, aplikasi pembelajaran, maupun kecerdasan buatan tidak boleh dijadikan alasan untuk memudahkan kecurangan, tetapi harus menjadi sarana untuk memperkuat tanggung jawab diri. Dengan pendekatan yang lembut dan argumentatif, guru mengajak siswa menyadari bahwa dalam era serba otomatis ini, integritas pribadi menjadi nilai yang semakin langka sekaligus semakin berharga.

Guru juga mengajarkan bahwa yang diuji bukanlah kecanggihan alat yang dipakai, melainkan proses berpikir yang matang, kemampuan mengolah informasi, dan ketekunan belajar yang konsisten. Penilaian sejati tidak terletak pada seberapa cepat siswa menemukan jawaban melalui teknologi, tetapi pada seberapa dalam mereka memahami konsep, menganalisis masalah, dan mengembangkan solusi secara mandiri. Melalui penjelasan berulang dan contoh nyata, guru membantu siswa membedakan antara belajar yang autentik dan sekadar menyalin hasil dari mesin.

PENUTUP

Perkembangan era digital menuntut peran guru, khususnya Guru Pendidikan Agama Islam, untuk tampil bukan hanya sebagai pengajar materi agama, tetapi sebagai arsitek moral yang membimbing siswa menghadapi kompleksitas etika di ruang maya. Tantangan seperti cyberbullying, ujaran kebencian, hoaks, hingga pelanggaran hak cipta menunjukkan bahwa integritas bukan sekadar isu personal, melainkan persoalan spiritual yang harus ditanamkan melalui penguatan Akhlakul Karimah dan prinsip-prinsip tabayyun. Guru PAI hadir untuk menghubungkan ajaran Islam dengan realitas digital, menjadikan nilai-nilai seperti empati, kehati-hatian, dan kejujuran sebagai fondasi perilaku siswa dalam setiap interaksi online. Dengan menekankan bahwa setiap kata, unggahan, dan klik adalah bagian dari amal yang dipertanggungjawabkan, guru menanamkan kesadaran bahwa etika digital merupakan bagian integral dari ibadah dan akhlak sehari-hari.

Guru menjadi teladan sekaligus pendamping yang konsisten dalam membangun integritas digital generasi muda. Tugas ini tidak dilaksanakan melalui kontrol yang mengekang, tetapi melalui pengarahan bijaksana, dialog terbuka, serta contoh konkret dalam menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Guru mengingatkan bahwa teknologi bukanlah alasan untuk meninggalkan nilai-nilai kejujuran, melainkan sarana untuk menguji kedewasaan moral dan ketekunan belajar. Lewat bimbingan dan keteladanan ini, guru memastikan bahwa siswa tidak hanya cakap secara digital, tetapi juga matang secara karakter. Dengan demikian, peringatan Hari Guru Nasional menjadi pengingat bahwa peran guru sebagai penjaga akhlak dan integritas tetap relevan dan semakin vital dalam menghadapi dinamika dunia digital yang terus berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Fauziah, E. (2021). Tabayyun Digital: Peran Pendidikan Agama Islam dalam Menangkal Hoax dan Membangun Etika Informasi. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, 19(3), 320-335.

Misbah. (2025). Peran Guru PAI dalam Membentuk Akhlakul Karimah Peserta Didik di Era Digital. Az-Zaida: Urnal Ilmu Multidisiplin, 1(5), 1–15.

Rahmawati, Samsuddin, & Wahidin, A. (2025). Peran Guru Pai Dalam Membina Etika Digital Siswa. Al Irfan: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Penelitian, 01(02), 108–118.

Taabudillah, M. H. (2023). Peran Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Meningkatkan Akhlak Mulia Siswa. Jurnal Wistara, 4(2), 130–132.

 

Post a Comment

0 Comments