Guru dan Teknologi: Menyulam Kolaborasi Menuju Pembelajaran Bermakna | Terinspirasi oleh Falsafah Pendidikan Ki Hajar Dewantara

 

Erlika Nurul 'Aini (20624050)

Dalam perjalanan panjang pendidikan di Indonesia, sosok Ki Hajar Dewantara selalu berperan sebagai mercusuar nilai dan arah moral. beliau pernah berkata, “Pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak”, sebuah pernyataan lugas namun mendalam yang masih relevan hingga kini, terlepas dari pesatnya perkembangan teknologi. Guru dituntut untuk lebih dari sekadar penyedia ilmu pengetahuan di masa ketika teknologi telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Mereka harus membantu siswa agar tidak tersesat dalam dunia maya yang sarat informasi, yang dapat menyebabkan mereka kehilangan nilai-nilai kemanusiaan

Perkembangan teknologi membawa kemudahan dalam pembelajaran. Akses ke sumber belajar menjadi lebih terbuka luas, komunikasi lintas waktu dan tempat menjadi mudah, serta kreativitas guru mendapat ruang baru untuk tumbuh. Namun, kemajuan ini juga menghadirkan dilema sebuah pertanyaan yaitu bagaimana menjaga nilai-nilai humanistik dalam pembelajaran yang semakin digital? Di sinilah filosofi Ki Hajar Dewantara memberi arah, bahwa teknologi seharusnya menjadi alat untuk menumbuhkan potensi kemanusiaan, bukan menggantikannya (Gunawan & Rohmah, 2025).

Ki Hajar Dewantara memandang guru sebagai pamong, yakni penuntun yang bijak dan penuh kasih. Dalam konteks abad ke-21, konsep “pamong” ini perlu diperluas lagi yaitu guru tidak lagi hanya membimbing secara tatap muka, tetapi juga menuntun melalui ruang digital. Guru berperan sebagai digital guide maksudnya adalah bukan hanya mengajarkan keterampilan menggunakan perangkat, tetapi juga menanamkan etika digital, literasi informasi, dan tanggung jawab moral dalam dunia maya.

Penelitian Sabariah dkk. (2024) menunjukkan bahwa pelatihan guru dalam integrasi teknologi berdampak signifikan terhadap kualitas media pembelajaran dan motivasi belajar siswa. Artinya, ketika guru memahami teknologi dengan baik, proses belajar tidak hanya lebih efisien, tetapi juga lebih hidup dan menyenangkan. Dengan menguasai pendekatan Technological Pedagogical and Content Knowledge (TPACK), memungkinkan guru dapat menyesuaikan metode mengajar agar tetap kreatif dan relevan tanpa kehilangan sentuhan kemanusiaan.

Sebagai contohnya, di beberapa sekolah dasar yang ada di Indonesia, guru telah memanfaatkan Learning Management System (LMS) sederhana seperti Google Classroom untuk mendukung pembelajaran kolaboratif. Di sisi lain, guru yang berada di daerah pedesaan berinovasi dengan membuat video pembelajaran menggunakan ponsel pribadi agar siswa tetap bisa belajar meski koneksi internet terbatas. Inovasi-inovasi kecil seperti inilah yang menunjukkan bahwa teknologi dapat menjadi jembatan, bukan penghalang dalam dunia pendidikan.

Guru yang berkolaborasi dengan teknologi sejatinya sedang menerjemahkan nilai “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” ke dalam konteks digital. Saat berada di depan, guru menjadi teladan dalam menggunakan teknologi dengan bijak; di tengah, guru menciptakan suasana kolaboratif antara siswa dan teknologi; dan di belakang, guru memberi dorongan agar siswa berani mengeksplorasi dan berpikir kritis secara mandiri.

Ketakutan bahwa teknologi akan menggantikan peran guru sebenarnya lahir dari miskonsepsi. Teknologi hanyalah alat, sedangkan guru adalah jiwa dari proses belajar. Kecerdasan buatan (AI), platform pembelajaran daring, maupun sistem manajemen belajar hanyalah jembatan; tanpa kehangatan dan empati guru, pembelajaran akan kehilangan maknanya.

Gunawan dan Rohmah (2025) menegaskan bahwa nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara menempatkan guru sebagai sosok sentral yang membangun karakter peserta didik. Oleh karena itu, teknologi perlu diperlakukan sebagai “mitra kolaboratif” yang membantu guru menumbuhkan potensi siswa, bukan sebagai ancaman. Integrasi teknologi yang berhasil adalah ketika teknologi mampu memperkuat relasi guru-siswa, bukan menggantikannya.

Dalam praktiknya, guru dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkaya interaksi belajar: menggunakan learning management system untuk memantau perkembangan siswa, media interaktif untuk memperdalam konsep, serta video reflektif yang memicu diskusi kritis. Namun, esensinya tetap sama dimana teknologi hanyalah alat bantu bagi guru untuk memanusiakan proses belajar.

Meski membawa banyak manfaat, kolaborasi guru dan teknologi juga menuntut tanggung jawab etis. Salah satu tantangan terbesarnya adalah menjaga privasi dan integritas data siswa di era digital. Guru harus memahami etika penggunaan platform pembelajaran, menghindari penyebaran data pribadi, serta memastikan setiap aktivitas digital mendukung tumbuhnya karakter positif.

Selain itu, kompetensi guru menjadi faktor kunci. Siregar dkk. (2024) menyoroti bahwa kemampuan literasi digital dan pedagogis berpengaruh kuat terhadap keberhasilan penerapan TPACK. Guru tidak hanya perlu mahir secara teknis, tetapi juga memiliki kesadaran reflektif tentang bagaimana teknologi dapat mempengaruhi cara berpikir dan belajar siswa. Tanpa pemahaman ini, pembelajaran digital berisiko menjadi dangkal, tetapi kehilangan makna.

Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan dukungan berkelanjutan dari lembaga pendidikan dan pemerintah. Guru perlu diberi ruang untuk bereksperimen, berinovasi, dan belajar dari kegagalan tanpa tekanan administratif yang berlebihan. Pelatihan teknologi yang berkelanjutan, kolaborasi antar guru, serta budaya berbagi praktik baik adalah langkah nyata untuk memperkuat profesionalisme di era digital. Dengan demikian, kolaborasi guru dan teknologi dapat tumbuh secara alami dan berkelanjutan.

Pendidikan yang bermakna tidak akan lahir dari teknologi semata, melainkan dari perpaduan antara kecerdasan manusia dan kecanggihan alat. Guru, dengan nilai-nilai luhur Ki Hajar Dewantara, menjadi jembatan antara dunia analog dan digital, misalnya menenun moral dengan inovasi, menggabungkan empati dengan algoritma, dan menyulam kolaborasi antara manusia dan mesin menjadi pengalaman belajar yang utuh. Melalui Peringatan Hari Guru Nasional 2025, kita diteguhkan bahwa masa depan pendidikan Indonesia akan kokoh ketika inovasi dan nilai kemanusiaan berjalan berdampingan.

Filosofi Tut Wuri Handayani kini menemukan bentuk barunya dalam konteks digital: guru membimbing dari belakang sambil memberi ruang bagi siswa untuk bereksperimen secara mandiri. Ketika guru dan teknologi bersinergi, pendidikan Indonesia akan maju tidak hanya secara teknis, tetapi juga tumbuh dalam kebijaksanaan dan kemanusiaan.

Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan sejati adalah upaya memerdekakan manusia. Maka, kolaborasi guru dan teknologi sejatinya adalah jalan menuju kemerdekaan belajar digital dimana kemerdekaan yang berakar pada nilai, berpucuk pada ilmu, dan berbuah pada kemanusiaan. Dengan semangat pamong yang membimbing, guru tidak sekadar mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi menuntun agar generasi muda mampu menjadi manusia yang merdeka, cerdas, dan berkarakter di tengah perubahan zaman.

Post a Comment

0 Comments