NAMA: AINUL FATIHAH
NIM: 20624054
KELAS: ETIKA PROFESI KEGURUAN
Setiap tanggal
25 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Guru Nasional sebagai bentuk penghormatan
kepada sosok yang tanpa lelah mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru bukan hanya
pendidik, tetapi juga pembentuk karakter, penuntun arah moral, dan inspirator
bagi generasi muda. Namun di balik peran mulianya, masih banyak guru di negeri
ini yang hidup dalam keterbatasan. Mereka tetap berdiri di depan kelas dengan
senyum tulus, meski kesejahteraan belum sepenuhnya berpihak kepada mereka. Di
tengah kemajuan teknologi dan tuntutan inovasi di era digital, kesejahteraan
guru menjadi fondasi penting untuk mewujudkan pendidikan yang bermartabat dan
berdaya saing. Guru hebat tidak hanya lahir dari kompetensi tinggi, tetapi juga
dari kehidupan yang sejahtera.
Kesejahteraan
guru memiliki hubungan langsung dengan kualitas pendidikan. Guru yang sejahtera
secara ekonomi dan sosial akan lebih fokus, kreatif, dan produktif dalam
mengajar. Sebaliknya, guru yang masih harus memikirkan kebutuhan dasar hidupnya
sulit untuk menyalurkan seluruh potensinya di ruang kelas. Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS, 2024), sekitar 35% guru non-PNS di Indonesia
masih menerima penghasilan di bawah upah minimum provinsi. Angka ini
menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan yang cukup besar antara peran strategis
guru dengan penghargaan yang mereka terima. Padahal, seperti kata Ki
Hajar Dewantara, “guru adalah teladan dan sumber keteladanan bagi
bangsa.” Bagaimana mungkin teladan itu terwujud jika kesejahteraan mereka belum
layak?
Di era digital
seperti sekarang, tantangan guru semakin kompleks.Transformasi pendidikan
menuntut guru untuk menguasai teknologi, beradaptasi dengan pembelajaran
digital, dan terus memperbarui kompetensi. Namun, guru yang hidup dalam
keterbatasan sering kali kesulitan untuk mengikuti pelatihan atau membeli
perangkat yang mendukung pembelajaran daring. Di beberapa daerah, masih banyak
guru honorer yang mengandalkan koneksi internet seadanya untuk mengajar secara
daring, bahkan ada yang menggunakan ponsel pribadi dengan kuota terbatas demi
tetap mengajar murid-muridnya. Kondisi ini menjadi cermin bahwa digitalisasi
pendidikan belum sepenuhnya inklusif. Di satu sisi, kita menuntut guru untuk
inovatif dan adaptif, tetapi di sisi lain kesejahteraan dan fasilitas mereka
belum memadai.
Kesejahteraan
guru tidak hanya berbicara soal gaji, tetapi juga tentang penghargaan sosial,
kesempatan berkembang, dan rasa aman dalam bekerja. Pemerintah memang telah
mengupayakan berbagai kebijakan seperti tunjangan profesi guru (TPG),
sertifikasi kompetensi, serta rekrutmen ASN-PPPK
yang diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup guru. Namun, implementasinya
masih menghadapi berbagai kendala. Tidak semua guru dapat merasakan manfaat
dari kebijakan tersebut secara merata. Di lapangan, masih banyak guru honorer
yang telah mengabdi bertahun-tahun namun belum juga diangkat menjadi ASN.
Beberapa di antaranya bahkan harus bekerja sambilan untuk mencukupi kebutuhan
keluarga. Padahal, jika kesejahteraan guru dijamin, mereka dapat mencurahkan
sepenuhnya waktu dan energi untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif dan
bermakna.
Lebih dari itu,
peningkatan kesejahteraan seharusnya mencakup aspek non-material. Guru perlu
mendapat dukungan emosional, lingkungan kerja yang sehat, serta penghargaan
sosial dari masyarakat. Tidak sedikit guru yang kehilangan semangat karena
merasa profesinya kurang dihargai. Pandangan sebagian masyarakat yang menilai
profesi guru sebagai “pekerjaan biasa” menjadi salah satu penyebab turunnya
motivasi generasi muda untuk menekuni dunia pendidikan. Padahal, martabat suatu
bangsa ditentukan oleh seberapa tinggi penghargaan yang diberikan kepada
pendidiknya. Negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang menempatkan guru
pada posisi yang sangat dihormati, dengan gaji yang layak dan sistem pembinaan
berkelanjutan. Hal inilah yang perlu dicontoh Indonesia dalam membangun
pendidikan yang bermartabat.
Kesejahteraan
guru juga memiliki kaitan erat dengan kemampuan mereka beradaptasi di era
digital. Guru yang sejahtera akan memiliki ruang dan sumber daya untuk terus
belajar. Mereka bisa mengikuti pelatihan teknologi pembelajaran, mengembangkan
media digital kreatif, dan memotivasi siswa agar tidak hanya menjadi pengguna
teknologi, tetapi juga pencipta inovasi. Sementara itu, guru yang kurang
sejahtera cenderung terjebak pada rutinitas lama dan kesulitan mengejar
perubahan. Di sinilah pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga
pendidikan, dan masyarakat untuk memperkuat ekosistem pendidikan digital yang
adil dan merata. Kesejahteraan guru bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi
juga tanggung jawab sosial bersama.
Pada akhirnya,
guru yang sejahtera akan melahirkan pendidikan yang lebih bermartabat.
Kesejahteraan tidak sekadar angka dalam slip gaji, melainkan bentuk penghargaan
terhadap jasa dan perjuangan mereka dalam membangun masa depan bangsa. Guru
yang bahagia akan menyalurkan kebahagiaannya kepada murid, menumbuhkan semangat
belajar, dan menanamkan nilai-nilai moral yang kuat. Sebaliknya, guru yang
terbebani oleh tekanan ekonomi akan sulit menjadi sumber inspirasi. Oleh karena
itu, memperjuangkan kesejahteraan guru bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga
soal kemanusiaan. Pendidikan tidak akan pernah maju tanpa memuliakan sosok yang
menjadi penggeraknya.
Menjelang Hari
Guru Nasional 2025, sudah sepatutnya kita merenungkan kembali makna “Guru
Hebat, Indonesia Bermartabat.” Guru
hebat bukan hanya yang menguasai teknologi atau metode mengajar modern, tetapi
yang tetap teguh dan bersemangat di tengah keterbatasan. Peningkatan kesejahteraan guru menjadi bentuk
penghormatan nyata terhadap jasa mereka, bukan sekadar seremonial tahunan. Saat
kesejahteraan mereka dijaga, maka martabat bangsa pun terangkat.
Lebih dari
sekadar peringatan, Hari Guru seharusnya menjadi momentum perubahan cara
pandang kita terhadap profesi guru. Masyarakat, sekolah, dan pemerintah perlu
berjalan beriringan dalam membangun sistem pendidikan yang menghargai
kesejahteraan guru sebagai pusatnya.Sebab, kesejahteraan bukanlah hadiah,
melainkan hak bagi mereka yang telah mengabdikan hidup untuk mencerdaskan
bangsa. Dan di tangan para guru yang sejahtera,
lahirlah generasi yang berpengetahuan, berkarakter, dan siap membawa
Indonesia menuju masa depan yang bermartabat.
0 Comments