Mewujudkan Sekolah sebagai Ruang Aman: Refleksi Peringatan Hari Guru 2025

Ahmad Masthur Hamid

Pascasarjana UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Pendahuluan

Setiap tahun, Hari Guru diperingati bukan hanya sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi pendidik, tetapi juga sebagai ajakan untuk menata ulang arah pendidikan nasional. Pada momentum Hari Guru 2025 ini, muncul kembali satu isu penting yang sering luput dari sorotan: apakah sekolah benar-benar menjadi ruang yang aman bagi semua warganya? Pertanyaan tersebut terasa relevan ketika berbagai kasus perundungan, kekerasan fisik maupun verbal, tekanan mental, hingga diskriminasi masih menghantui banyak lingkungan pendidikan di Indonesia. Jika sekolah terus dibayangkan sebagai tempat yang ideal, nyatanya sebagian siswa justru datang dengan rasa takut, cemas, atau terasing. Kondisi ini menunjukkan bahwa urgensi menciptakan sekolah sebagai ruang aman bukan lagi wacana, tetapi kebutuhan mendesak.

Dalam dunia pendidikan, guru memiliki posisi strategis dalam membangun atmosfer pembelajaran yang melindungi, memberdayakan, dan memanusiakan peserta didik. Namun, upaya menciptakan ruang aman tidak hanya terletak pada individu guru. Ia membutuhkan dukungan sistemik mulai dari kebijakan sekolah, manajemen yang berpihak pada keselamatan dan kesejahteraan, keterlibatan orang tua, hingga budaya sosial yang menolak segala bentuk kekerasan. Sekolah yang aman bukan sekadar bebas dari ancaman fisik, tetapi juga mampu menjamin kenyamanan psikologis dan emosional, terutama bagi siswa yang rentan, berbeda, atau memiliki kebutuhan khusus. Dengan kata lain, rasa aman adalah prasyarat bagi pembelajaran yang bermakna.

Meski begitu, perjalanan mewujudkan sekolah yang aman tidak selalu mudah. Masih banyak sekolah yang berhadapan dengan keterbatasan fasilitas, minimnya literasi tentang perlindungan anak, normalisasi hukuman yang merendahkan, hingga sikap permisif terhadap tindakan tidak etis. Tantangan tersebut kerap diperburuk oleh budaya “diam” yang membuat korban enggan bersuara. Pada titik inilah refleksi Hari Guru menemukan relevansinya: sudahkah sekolah menjadi tempat yang merawat keberanian, bukan menumbuhkan ketakutan? Sudahkah guru mendapatkan dukungan moral, profesional, dan institusional untuk menjalankan peran perlindungan itu?

Momentum Hari Guru 2025 mengingatkan bahwa pendidikan sejatinya berangkat dari rasa aman. Tanpa itu, kreativitas sulit tumbuh, keberanian untuk berpendapat terhambat, dan potensi anak tidak berkembang optimal. Maka, mewujudkan sekolah sebagai ruang aman bukan sekadar tanggung jawab profesi tertentu, melainkan komitmen bersama seluruh ekosistem pendidikan. Harapannya, refleksi tahun ini tidak berhenti pada seremonial, tetapi berubah menjadi gerakan nyata, gerakan yang memastikan setiap anak dan setiap guru dapat datang ke sekolah tanpa rasa takut, dan pulang membawa harapan.

Konsep Sekolah Ramah Anak sebagai Dasar Terwujudnya Ruang Aman

Program Sekolah Ramah Anak (SRA) merupakan salah satu langkah strategis untuk menghadirkan lingkungan pendidikan yang aman bagi seluruh peserta didik. Inisiatif ini bertujuan memastikan setiap anak memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas sekaligus merasa terlindungi, nyaman, dan bebas dari ancaman selama berada di sekolah (Azizah et al., 2024). Meski demikian, pelaksanaan SRA di berbagai satuan pendidikan masih menemui hambatan, sebab pemenuhan hak dan perlindungan anak belum terealisasi secara optimal di lapangan (Azizah et al., 2024).

Pengelolaan sekolah yang efektif menjadi syarat penting dalam menciptakan lingkungan ramah anak. Sebagai institusi pendidikan formal, sekolah dituntut menyediakan ruang belajar yang aman dan menenangkan bagi siswa, dan hal ini hanya dapat dicapai melalui manajemen yang terencana, menyeluruh, dan berpihak pada keselamatan anak (Rahmawati & Supriyoko, 2022). Temuan penelitian menunjukkan bahwa manajemen SRA yang diterapkan secara konsisten mampu berkontribusi pada pembentukan karakter siswa, selama didukung oleh faktor internal dan eksternal sekolah (Rahmawati & Supriyoko, 2022).

Tenaga pendidik memegang peran sentral dalam keberhasilan implementasi SRA. Guru bertanggung jawab menciptakan suasana belajar yang menghargai hak-hak anak dan menstimulasi perkembangan mereka secara holistik (Desty et al., 2024). Dengan memahami kebutuhan peserta didik serta berkomitmen terhadap prinsip perlindungan anak, guru dapat menjadi penggerak utama dalam menghadirkan sekolah yang benar-benar ramah dan aman bagi siswa.

Aspek Keamanan Emosional dan Sosial

Selain keselamatan fisik, keamanan emosional dan sosial juga menjadi bagian penting dalam menciptakan ruang aman di sekolah. Perkembangan sosial dan emosional siswa memerlukan perhatian serius dari pendidik, karena aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar dan kesejahteraan anak. Kajian mengenai perkembangan sosial emosional siswa dapat memberikan panduan bagi pendidik dan pembuat kebijakan dalam memperkuat pendidikan sosial emosional di sekolah dasar (Rahayuningsih, 2024).

Pendidikan karakter berfungsi sebagai fondasi dalam menumbuhkan kekuatan moral dan emosional peserta didik. Melalui pendidikan karakter yang berbasis nilai keagamaan, etika, dan moral, serta melibatkan kolaborasi keluarga, sekolah, dan masyarakat, potensi baik yang dimiliki anak sejak lahir dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Lestari & Handayani, 2023). Namun, perkembangan teknologi digital menghadirkan tantangan baru dalam pembentukan karakter. Guru dituntut membimbing siswa menghadapi risiko negatif penggunaan media digital yang tidak terkendali (Lestari & Handayani, 2023). Karena itu, strategi penguatan karakter melalui refleksi diri guru dan pengembangan kompetensi kognitif siswa menjadi semakin relevan (Alaudin & Missouri, 2024). Hal ini menuntut adanya pelatihan profesional bagi guru dan integrasi strategi tersebut dalam kurikulum sekolah (Alaudin & Missouri, 2024).

Menanamkan sikap toleransi juga merupakan komponen penting dalam membangun sekolah yang aman, inklusif, dan harmonis. Guru Pendidikan Agama Islam, misalnya, memiliki peluang strategis untuk menumbuhkan toleransi melalui pembelajaran interaktif maupun kegiatan yang melibatkan siswa dari berbagai latar belakang keagamaan (Frendi & Khamim, 2024).

Peran Guru dalam Menciptakan Ruang Aman

Peran guru dalam menciptakan sekolah yang aman sangat beragam, melampaui sekadar penyampaian materi pelajaran. Guru juga bertugas membina karakter, menciptakan interaksi yang sehat, dan mengembangkan kompetensi profesionalnya secara berkelanjutan. Supervisi akademik dari kepala sekolah menjadi salah satu cara efektif untuk mendukung peningkatan kinerja guru agar mampu menjalankan perannya dengan lebih optimal (Reneldis, 2023).

Supervisi yang dirancang melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi terbukti dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus mendorong terciptanya lingkungan sekolah yang lebih aman bagi siswa (Reneldis, 2023). Selain itu, penguatan kapasitas guru juga dapat difasilitasi melalui pemanfaatan teknologi informasi. Sistem Informasi Sekolah Terpadu Online (SISTO) berfungsi mendukung pengembangan profesional guru sekaligus memperkuat kerja sama antarpendidik di lingkungan sekolah (Zen, 2017). Tidak hanya sebagai pengelola data, sistem informasi tersebut juga menjadi sarana komunikasi dan kolaborasi sehingga terbentuk komunitas pembelajaran yang lebih solid (Zen, 2017).

Konsep Sekolah Ramah Anak sebagai Dasar Ruang Aman

Program Sekolah Ramah Anak (SRA) merupakan salah satu upaya penting untuk memastikan sekolah benar-benar menjadi tempat yang aman bagi siswa. Program ini dibuat agar setiap anak tidak hanya memperoleh pendidikan yang layak, tetapi juga merasa nyaman, dihargai, dan terlindungi selama berada di sekolah (Azizah et al., 2024). Namun, pelaksanaannya masih belum sepenuhnya berjalan efektif, karena perlindungan dan pemenuhan hak anak di lingkungan sekolah masih menghadapi berbagai hambatan (Azizah et al., 2024).

Pengelolaan sekolah yang baik menjadi kunci utama dalam mewujudkan SRA. Sebagai institusi pendidikan, sekolah diharapkan dapat menyediakan suasana belajar yang aman dan menenangkan, dan hal tersebut membutuhkan manajemen yang mampu menyusun kebijakan yang jelas, terarah, dan berpihak pada kesejahteraan siswa (Rahmawati & Supriyoko, 2022). Penelitian menunjukkan bahwa ketika manajemen SRA diterapkan dengan baik, terbentuk pula karakter siswa yang positif, terutama jika didukung oleh lingkungan internal dan eksternal yang kondusif (Rahmawati & Supriyoko, 2022).

Guru juga memegang peran besar dalam keberhasilan program ini. Mereka bertanggung jawab menciptakan pembelajaran yang ramah anak serta mendorong perkembangan siswa secara menyeluruh. Pemahaman guru tentang kebutuhan peserta didik menjadi modal penting untuk menghadirkan sekolah yang benar-benar aman dan berpihak pada anak (Desty et al., 2024).

Keamanan Emosional dan Sosial

Selain keamanan fisik, rasa aman secara emosional dan sosial juga sangat penting dalam proses pendidikan. Perkembangan sosial emosional siswa perlu diperhatikan, karena aspek ini berpengaruh pada kemampuan mereka belajar dan berinteraksi. Hasil penelitian memberikan panduan bagi sekolah dan pembuat kebijakan untuk memperkuat pendidikan sosial emosional, khususnya di sekolah dasar (Rahayuningsih, 2024).

Pendidikan karakter menjadi fondasi penting untuk membangun moral dan kepekaan emosional siswa. Melalui kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat, nilai-nilai agama, etika, dan moral dapat ditanamkan secara berkelanjutan sehingga potensi baik anak dapat berkembang maksimal (Lestari & Handayani, 2023). Namun, tantangan semakin kompleks di era digital, karena siswa lebih rentan terhadap pengaruh negatif media. Karena itu, guru perlu membimbing siswa dalam menggunakan teknologi secara bijak (Lestari & Handayani, 2023). Upaya penguatan karakter juga perlu disertai refleksi diri guru dan pengembangan kemampuan kognitif siswa, yang idealnya didukung melalui pelatihan dan pengembangan kurikulum (Alaudin & Missouri, 2024).

Selain itu, lingkungan sekolah yang aman juga harus mendukung sikap saling menghargai. Guru Pendidikan Agama Islam, misalnya, dapat menanamkan sikap toleransi melalui pembelajaran yang menarik dan kegiatan sekolah yang melibatkan siswa dengan latar belakang agama berbeda (Frendi & Khamim, 2024).

Peran Guru dalam Mewujudkan Ruang Aman

Peran guru dalam menciptakan sekolah yang aman tidak hanya terbatas pada penyampaian materi pelajaran. Mereka juga berperan dalam pembentukan karakter, menjaga iklim sosial yang sehat, dan terus meningkatkan kompetensi diri. Supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah menjadi salah satu cara untuk membantu guru menjalankan tanggung jawab tersebut secara lebih efektif (Reneldis, 2023).

Melalui proses supervisi yang terencana, diamati, dan direfleksikan, kinerja guru dapat meningkat, sekaligus berdampak pada terciptanya suasana sekolah yang lebih aman dan nyaman bagi siswa (Reneldis, 2023). Selain dukungan struktural, pemanfaatan teknologi juga dapat membantu pengembangan profesional guru. Sistem Informasi Sekolah Terpadu Online (SISTO) misalnya, tidak hanya mempermudah pengelolaan data, tetapi juga memperkuat komunikasi dan kerja sama antarpendidik sehingga tercipta budaya belajar bersama yang positif (Zen, 2017).

Kesimpulan

Refleksi Hari Guru 2025 menegaskan bahwa sekolah tidak boleh hanya menjadi ruang akademik, tetapi juga ekosistem perlindungan yang menjamin rasa aman fisik, emosional, dan sosial bagi seluruh warga belajar. Upaya mewujudkan ruang aman membutuhkan komitmen kolektif guru, kepala sekolah, pemerintah, orang tua, dan masyarakat, untuk membangun budaya pendidikan yang humanis, inklusif, dan bebas kekerasan. Program Sekolah Ramah Anak, penguatan pendidikan karakter, supervisi profesional guru, pemahaman inklusi sosial, serta pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar menjadi fondasi penting dalam menciptakan rasa aman tersebut. Tantangan struktural seperti minimnya literasi perlindungan anak, budaya permisif terhadap kekerasan, serta kurangnya dukungan kebijakan harus diatasi melalui regulasi yang konsisten, pelatihan berkelanjutan, dan ruang pelaporan yang berpihak pada korban. Dengan demikian, momentum Hari Guru tidak berhenti pada seremoni tahunan, tetapi menjadi dorongan nyata untuk memastikan setiap anak datang ke sekolah dengan rasa aman, dihargai, dan memiliki kesempatan setara untuk tumbuh dan berkembang.

Daftar Pustaka

Alaudin, M., & Missouri, H. (2024). Penguatan pendidikan karakter melalui evaluasi diri guru dan pengembangan kompetensi kognitif siswa. Jurnal Pendidikan Karakter, 14(1), 55–68.

Azizah, M., Kurniawati, D., & Salim, R. (2024). Implementasi program Sekolah Ramah Anak dalam mewujudkan lingkungan belajar aman dan nyaman. Journal of Child-Friendly Education, 6(2), 101–112.

Desty, A., Pratiwi, R., & Hasanah, S. (2024). Peran tenaga pendidik dalam menciptakan lingkungan sekolah ramah anak. Jurnal Manajemen Pendidikan, 12(1), 23–34.

Frendi, M., & Khamim, H. (2024). Strategi guru Pendidikan Agama Islam dalam menanamkan sikap toleransi di sekolah menengah. Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 67–78.

Lestari, N., & Handayani, S. (2023). Pendidikan karakter dalam menghadapi era digital di sekolah dasar. Prima Magistra: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 4(3), 350–358.

Najamuddin, A., Rahma, S., & Yusuf, I. (2024). Sosialisasi inklusi sosial bagi guru sebagai strategi mewujudkan sekolah ramah keberagaman. Jurnal Pendidikan Inklusif, 9(1), 11–20.

Pantiwati, Y. (2015). Pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar dalam lesson study. Jurnal Biologi Edukasi, 7(1), 45–52.

Rahayuningsih, H. (2024). Perkembangan sosial emosional peserta didik sekolah dasar: Implikasi bagi pendidik. Elementary Education Journal, 5(2), 89–100.

Rahmawati, S., & Supriyoko. (2022). Manajemen Sekolah Ramah Anak sebagai upaya mewujudkan lingkungan pendidikan aman dan nyaman. Jurnal Administrasi Pendidikan, 9(2), 145–158.

Reneldis, D. (2023). Supervisi akademis kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru. Jurnal Kepemimpinan Pendidikan, 5(1), 72–84.

Zen, Z. (2017). Pengembangan kapasitas guru melalui Sistem Informasi Sekolah Terpadu Online (SISTO). Jurnal Teknologi Pendidikan, 19(2), 129–140.

 

Post a Comment

0 Comments