Masa kecil merupakan fase penting dalam perkembangan
psikologis dan sosial anak. Pada tahap ini, anak membutuhkan lingkungan yang
seimbang antara pendidikan formal, permainan, interaksi sosial, dan istirahat.
Namun, perubahan kebijakan pendidikan seperti penerapan lima hari sekolah (full
day school) dan penggunaan gawai (handphone) secara masif oleh anak-anak usia pendidikan
dasar telah menimbulkan berbagai konsekuensi. Dalam konteks ini, perlu dikaji
secara mendalam dampak psikologis dari dua faktor tersebut terhadap anak usia
pendidikan dasar.
Kebijakan lima hari sekolah, yang digulirkan oleh pemerintah kabupaten Pekalongan,
bertujuan untuk menyederhanakan jadwal belajar, memberi waktu lebih banyak
untuk keluarga, dan mendorong kegiatan non-formal di luar sekolah.Namun, dalam
praktiknya, kebijakan ini sering kali justru menambah tekanan bagi anak-anak. Anak
usia SD dan SMP di wilayah perkotaan merasa kelelahan secara fisik dan
emosional akibat durasi belajar yang panjang, mencapai 8–10 jam per hari. Kelelahan
ini mengakibatkan berkurangnya waktu bermain dan interaksi sosial
non-struktural, yang justru sangat penting dalam membentuk kecerdasan emosional
dan keterampilan sosial anak. Sebagaimana ditegaskan oleh Jean Piaget,
dalam tahap perkembangan operasional konkret (sekitar usia 7–11 tahun),
anak-anak belajar paling efektif melalui interaksi sosial dan pengalaman
langsung di luar ruang kelas.
HP dan Anak Usia Dini: Kebutuhan atau Ancaman?
Di sisi lain, keberadaan HP atau smartphone di tangan
anak-anak menjadi fenomena global. Melansir dari Indian Times, (2023)
menyebutkan bahwa 65,2 % anak usia 7–12 tahun di Indonesia sudah memiliki atau
menggunakan HP pribadi. Di satu sisi, HP menawarkan kemudahan akses informasi
dan hiburan. Namun, tanpa pengawasan yang ketat, HP bisa menjadi ancaman serius
bagi perkembangan mental anak. Sebuah studi dari American Academy of Pediatrics
(2020) menunjukkan bahwa penggunaan HP lebih dari 2 jam per hari dapat meningkatkan
risiko gangguan konsentrasi, kecemasan sosial, dan penurunan kualitas tidur
pada anak-anak. Selain itu, konten yang tidak sesuai usia, seperti kekerasan
dan perilaku konsumtif, dapat dengan mudah diakses, membentuk nilai-nilai yang
bertentangan dengan karakter ideal yang ingin dibangun di sekolah.
Anak-anak usia pendidikan dasar memerlukan ruang untuk
membangun keterampilan interpersonal. Dalam konteks ini, waktu bermain bersama
teman, berbincang dengan keluarga, atau bahkan mengamati lingkungan sekitar
sangat penting. Ketika waktu mereka didominasi oleh kegiatan sekolah
formal dan penggunaan HP, kemampuan untuk bersosialisasi secara alami
terhambat. Psikolog perkembangan anak,
Erik Erikson, menjelaskan bahwa pada fase usia sekolah, anak berada dalam tahap
“industry vs inferiority.” Mereka belajar mengembangkan kompetensi
sosial dan merasa mampu berkontribusi. Jika mereka gagal mengembangkan hubungan
sosial yang sehat, risiko munculnya rasa tidak percaya diri dan ketergantungan
terhadap hiburan digital meningkat.
Sebelum kebijakan 5 hari sekolah diberlakukan,
Sabtu sering kali menjadi hari sekolah tambahan, terutama untuk kegiatan
ekstrakurikuler atau keagamaan. Dengan dua hari libur berturut-turut, banyak
anak sekolah dasar memiliki waktu luang yang lebih panjang. Namun, alih-alih
diisi dengan aktivitas produktif seperti bermain di luar rumah, membaca buku,
atau berinteraksi dengan keluarga, banyak anak justru larut dalam penggunaan
HP.
Di satu sisi, HP dapat menjadi
sarana edukasi, terutama ketika digunakan untuk menonton video pembelajaran,
membaca e-book, atau mengakses aplikasi edukatif. Namun di sisi lain, HP sangat
rentan menjadi alat hiburan yang membuat anak terjebak dalam konten pasif,
seperti menonton video berulang, bermain game tanpa henti, atau menjelajah
media sosial secara prematur. Kondisi ini berpotensi menciptakan kecanduan yang
tidak terlihat. Kecanduan HP pada anak dapat menyebabkan gejala seperti sulit
fokus, gampang marah saat HP diambil, berkurangnya minat untuk bersosialisasi,
dan bahkan gangguan tidur.
Waktu luang di akhir pekan seharusnya menjadi kesempatan
berharga untuk mempererat hubungan keluarga. Namun, HP justru menjadi tembok
baru yang memisahkan anak dari orang tua dan saudara. Banyak orang tua yang
juga sibuk dengan HP-nya masing-masing, sehingga interaksi yang terjadi dalam
rumah justru semakin minimal. Padahal, interaksi hangat antara anak dan
keluarga memiliki peran besar dalam perkembangan psikologis anak. Anak-anak
yang tumbuh dalam keluarga yang aktif berinteraksi, berdiskusi, bermain
bersama, dan menunjukkan kasih sayang, umumnya memiliki rasa percaya diri lebih
tinggi dan kecenderungan untuk berperilaku positif.
Dampak ini juga dipengaruhi oleh ketersediaan
fasilitas dan pola pengasuhan di rumah. Anak dari keluarga dengan pengawasan
orang tua yang baik dan kegiatan akhir pekan yang dirancang positif (misalnya
berkebun, bersepeda, mengikuti kegiatan komunitas, atau belajar agama)
cenderung lebih mampu menghindari ketergantungan terhadap HP. Sementara itu,
anak-anak dari keluarga yang kurang memiliki waktu bersama atau tinggal di
lingkungan minim ruang bermain, lebih rentan terjebak dalam HP sebagai pelarian
dari kebosanan. Sekolah sebenarnya bisa mengambil peran penting untuk
mengedukasi orang tua mengenai manajemen waktu digital anak. Penyuluhan dan
pelatihan parenting digital perlu digalakkan agar orang tua tidak hanya sekadar
melarang, tetapi mampu mengarahkan penggunaan HP ke arah yang tepat.
Konsep sekolah ramah anak dan digital hygiene menjadi
alternatif penting. Sekolah ramah anak mengutamakan keseimbangan antara
pencapaian akademik dan kesejahteraan psikologis. Sementara digital hygiene
adalah kemampuan anak (dan orang tua) untuk mengatur penggunaan teknologi
secara sehat, termasuk mengenal waktu layar yang sehat, memilih konten
berkualitas, dan menjaga interaksi sosial di dunia nyata.
Kesimpulan
Menjaga masa kecil berarti menjaga keseimbangan
perkembangan psikologis, sosial, dan spiritual anak. Kebijakan lima hari
sekolah dan paparan berlebih terhadap HP memang tak bisa dihindari di era
modern, tetapi keduanya harus diatur dan diarahkan dengan bijak. Masa kecil
yang sehat secara mental adalah fondasi bagi generasi yang cerdas dan
berkarakter. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak tumbuh dalam ruang yang
sempit oleh jam pelajaran yang panjang dan dunia maya yang tak terkontrol. Kita
perlu membuka ruang bagi mereka untuk bermain, berinteraksi, dan menemukan jati
diri mereka secara alami. Dengan demikian, kita benar-benar menjaga masa kecil
mereka—bukan hanya hari ini, tetapi untuk masa depan yang lebih baik.
Kebijakan lima hari sekolah membawa peluang besar
untuk memperbaiki kualitas waktu keluarga. Namun, tanpa kesadaran kolektif dari orang tua, sekolah, dan
masyarakat, waktu luang di akhir pekan justru bisa menjadi jebakan baru yang
menenggelamkan anak dalam penggunaan HP yang berlebihan. Maka, perlu langkah
nyata untuk mengisi hari Sabtu dan Minggu dengan aktivitas yang membangun
karakter, menguatkan hubungan keluarga, dan memupuk keceriaan masa kecil yang
sehat dan bermakna.
0 Comments