SOUND HOREG: KREATIVITAS RAKYAT DAN POLUSI AUDIO

Oleh: Muhlisin

 (Guru Besar UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Di tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan dan pinggiran kota, fenomena sound horeg kian marak. Istilah ini mengacu pada penggunaan sound system berdaya besar dalam berbagai kegiatan masyarakat, seperti hajatan, konvoi kendaraan, pertunjukan jalanan, hingga pesta ulang tahun. Dengan dentuman musik yang memekakkan telinga, sound horeg menjadi simbol baru dari ekspresi rakyat, tetapi sekaligus memunculkan dilema sosial dan lingkungan yang patut dikritisi. Fenomena ini menarik karena menyimpan dua sisi mata uang: di satu sisi merupakan bentuk kreativitas dan hiburan rakyat, namun di sisi lain menjadi polusi audio yang mengganggu kenyamanan publik. Esai ini berupaya mengupas fenomena tersebut dari aspek sosial, budaya, ekonomi, hingga etika lingkungan dan hukum.

Sound horeg bukan semata-mata tentang kebisingan. Bagi sebagian kalangan, terutama generasi muda dan masyarakat kelas menengah ke bawah, sound horeg adalah bentuk ekspresi diri dan kreasi kolektif. Mereka mengatur sendiri tata panggung, merangkai kabel, menyusun speaker, bahkan merakit perangkat sound system dengan biaya murah namun berdaya kuat. Tak jarang, kegiatan ini menjadi ajang unjuk kemampuan teknik audio serta penguasaan teknologi suara. Di kalangan remaja desa, misalnya, komunitas pecinta sound system berkembang pesat. Mereka bersaing dalam hal kualitas suara, estetika tata cahaya, serta pemilihan lagu—yang kerap kali berupa musik remix, dangdut koplo, dan lain-lain. Inilah bentuk musiking ala masyarakat bawah: berkarya, berkreasi, dan bersenang-senang dengan apa yang mereka punya. Lebih dari itu, sound horeg sering menjadi bagian dari ritus sosial. Dalam hajatan seperti pernikahan atau khitanan, suara keras dari speaker menjadi simbol kemeriahan dan penghormatan terhadap tamu. “Semakin keras suaranya, semakin meriah acaranya,” begitu kira-kira anggapan umum yang beredar.

Tak dapat dipungkiri, sound horeg membuka peluang ekonomi baru di tingkat akar rumput. Banyak pemuda menjadi teknisi audio rumahan, tukang sewa sound, hingga MC dadakan. Sebagian lainnya membuka jasa rias panggung, penyewaan lighting, bahkan jual-beli aksesoris audio. Fenomena ini menunjukkan adanya ekonomi kreatif rakyat yang tumbuh secara organik, tanpa sokongan pemerintah maupun lembaga formal. Dalam banyak kasus, kegiatan sound horeg menjadi satu-satunya kesempatan bagi warga untuk mendapatkan penghasilan tambahan di tengah sulitnya akses kerja formal. Namun demikian, ekonomi semacam ini seringkali berkembang tanpa regulasi dan pengawasan, sehingga cenderung menabrak aturan sosial dan hukum yang berlaku. Di sinilah muncul persoalan yang lebih kompleks.

Kendati menjadi bentuk ekspresi, penggunaan sound system berdaya tinggi dalam ruang publik jelas menimbulkan polusi audio. Bunyi yang mencapai 110–130 desibel, jauh melampaui batas kenyamanan pendengaran manusia, bisa berpotensi merusak pendengaran, menimbulkan stres, hingga mengganggu ketenangan warga sekitar. Kasus-kasus konflik akibat sound horeg sudah sering terjadi: tetangga yang tak bisa tidur, warga yang merasa terganggu saat ibadah, hingga siswa yang kesulitan belajar karena suara dari hajatan sebelah. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrem, gesekan antartetangga karena kebisingan berujung pada kekerasan. Persoalannya semakin rumit karena tidak semua warga memiliki pemahaman yang sama tentang hak atas lingkungan yang tenang. Di sebagian besar wilayah, ketidakpahaman masyarakat tentang konsep “polusi suara” membuat suara keras dianggap biasa saja, bahkan dibenarkan atas nama “adat” atau “kebiasaan”.

Secara hukum, polusi suara sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi, seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa setiap kegiatan yang menimbulkan gangguan terhadap lingkungan hidup, termasuk kebisingan, wajib dikendalikan. Namun di tingkat implementasi, regulasi ini sulit diterapkan secara tegas. Aparat desa, RT/RW, atau bahkan polisi cenderung ragu mengambil tindakan karena khawatir dianggap “tidak membela rakyat” atau dianggap mengganggu tradisi masyarakat. Inilah yang membuat sound horeg tetap eksis bahkan menjamur. Permasalahan menjadi lebih pelik karena kebanyakan kegiatan sound horeg tidak memiliki izin resmi. Tidak ada batas waktu yang jelas, tidak ada pengukuran intensitas suara, dan tidak ada perlindungan bagi kelompok rentan—seperti bayi, orang lanjut usia, atau penderita gangguan pendengaran. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: di mana batas antara hak untuk berekspresi dan hak atas ketenangan lingkungan? Apakah hiburan satu pihak harus dibayar dengan ketidaknyamanan pihak lain?

Mencari Jalan Tengah: Regulasi Partisipatif dan Edukasi Publik

Fenomena sound horeg tidak seharusnya dimatikan, namun dikelola secara bijak. Pemerintah daerah perlu membuat regulasi partisipatif yang melibatkan masyarakat dalam menentukan batas waktu, volume suara, serta jenis acara yang diperbolehkan menggunakan sound system besar. Misalnya, ada zona tertentu yang boleh digunakan untuk acara bersuara keras, dan zona pemukiman yang dilindungi dari kebisingan. Penerapan jam malam tanpa suara keras juga bisa menjadi solusi kompromi antara ekspresi dan ketenangan. Selain itu, perlu dilakukan edukasi publik tentang dampak polusi suara, terutama di tingkat sekolah, karang taruna, dan organisasi masyarakat. Kampanye “Sound Sehat, Lingkungan Nyaman” misalnya, bisa menjadi gerakan kolektif yang membentuk kesadaran baru tentang pentingnya keseimbangan antara hiburan dan kenyamanan bersama. Pemerintah juga bisa mendorong penggunaan teknologi audio yang ramah lingkungan, seperti speaker dengan peredam suara atau sistem directional audio yang memusatkan suara hanya ke area tertentu.

Penutup

Fenomena sound horeg adalah gambaran nyata tentang dinamika masyarakat akar rumput yang terus mencari ruang untuk berekspresi, berkreativitas, dan bersenang-senang. Di tengah keterbatasan fasilitas dan akses hiburan, sound system besar menjadi “panggung rakyat” yang terbuka bagi siapa saja. Namun jika tidak dikelola dengan bijak, ekspresi tersebut justru berubah menjadi gangguan—bahkan perusak kenyamanan sosial dan lingkungan. Sudah saatnya semua pihak—masyarakat, pemerintah, komunitas audio—bersinergi untuk membangun budaya audio yang berkualitas, kreatif, sekaligus beretika. Dengan begitu, sound horeg tidak hanya menjadi simbol kebisingan, tetapi juga cerminan kemajuan budaya rakyat yang inklusif dan bertanggung jawab.

 

Post a Comment

0 Comments