Oleh:
Zakiya Very Ayu Suryatina
Mahasiswa
S3 PAI UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
(NIM
53325010)
zakiya.very.ayu.25010@mhs.uingusdur.ac.id
A.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi digital saat ini telah mengubah
cara manusia berpikir, berinteraksi, dan belajar. Di satu sisi, dunia digital
membuka akses tanpa batas terhadap informasi dan pengetahuan. Namun, di sisi
lain, ia juga memunculkan gejala baru yang mengkhawatirkan: brain rot. Istilah ini menggambarkan kondisi di
mana kemampuan berpikir kritis dan empati menurun karena terlalu sering
terpapar konten dangkal, instan, dan adiktif di media sosial.
Fenomena brain rot bukan sekadar masalah psikologis, tetapi telah merambah ke wilayah
moral dan spiritual. Banyak individu kehilangan kemampuan untuk merenung,
berempati, dan menimbang baik-buruk suatu tindakan. Dalam konteks ini,
moralitas manusia seperti “tertidur”—sebuah hibernasi nilai di tengah derasnya
hiburan digital.
Penelitian oleh Firth et al. (2019)
dalam Nature
Human Behaviour menjelaskan bahwa konsumsi media berlebihan dapat mengubah pola fungsi
otak, khususnya pada area yang mengatur empati dan pengendalian diri. Hal ini
diperkuat oleh Twenge (2020) yang menemukan bahwa generasi
muda yang tumbuh dengan gawai cenderung kurang sabar, lebih mudah bosan, dan
mengalami penurunan kemampuan refleksi diri.
Hari Guru Nasional 2025 menjadi momentum penting untuk
merefleksikan tantangan pendidikan di era digital. Guru kini bukan hanya
penyampai ilmu, tetapi juga penjaga moralitas dan pengarah akal sehat di tengah
derasnya arus informasi. Ketika murid-murid terjebak dalam budaya scrolling tanpa arah, guru hadir sebagai
penuntun yang menyalakan kembali cahaya akal dan hati.
Pendidikan modern tidak cukup hanya berorientasi pada
kecerdasan akademik, tetapi harus melatih kesadaran spiritual agar peserta
didik mampu mengendalikan diri dan memilah informasi secara bijak. Dalam hal
ini, guru menjadi tokoh kunci yang memadukan literasi digital dengan
nilai-nilai Qur’ani.
B.
Pembahasan
Fenomena brain rot menggambarkan paradoks zaman modern: manusia memiliki akses tanpa batas
terhadap pengetahuan, tetapi kehilangan kemampuan untuk berpikir mendalam.
Konten cepat yang dikonsumsi berulang menyebabkan otak terbiasa dengan kepuasan
instan, mengikis kemampuan fokus dan empati.
Dalam pandangan Islam, keadaan ini dapat diibaratkan
sebagai kelalaian hati (ghaflah).
Ketika hati tertutup oleh kesenangan sesaat, manusia kehilangan kepekaan
terhadap nilai-nilai kebenaran. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa hati adalah pusat
kesadaran spiritual. Jika hati rusak, seluruh perilaku manusia akan ikut
menyimpang. Dengan demikian, brain rot tidak hanya melemahkan intelektualitas, tetapi juga mematikan nurani.
Kondisi ini menjelaskan mengapa banyak orang kini merasa
hampa meski terhubung secara digital. Hubungan antar manusia menjadi dangkal,
perhatian berkurang, dan moralitas perlahan membeku. Fenomena tersebut layak
disebut sebagai “hibernasi moralitas” ketika manusia berhenti berfungsi
sebagai makhluk berpikir dan bermoral.
Al-Qur’an menempatkan akal sebagai anugerah tertinggi manusia yang harus dijaga dan digunakan untuk mencari kebenaran. Dalam QS. Al-A‘raf [7]:179, Allah berfirman:
“Dan sungguh, Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami”
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia yang tidak menggunakan
akalnya untuk berpikir dan merenung termasuk golongan yang rugi. Brain rot dalam konteks modern dapat dipahami
sebagai bentuk nyata dari kelalaian tersebut: akal tidak lagi digunakan untuk
memahami, melainkan hanya untuk mengonsumsi.
Selain itu, QS. Al-Muthaffifin [83]:14 menyebutkan bahwa hati
manusia bisa tertutup karena dosa dan kebiasaan buruk. Dalam konteks digital,
konten yang tidak mendidik, provokatif, atau nihil makna dapat diibaratkan
sebagai “karat digital” yang menutupi hati dari cahaya kebenaran.
Sebagai solusi, Al-Qur’an mengajarkan konsep tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa): “Sungguh beruntung orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams
[91]:9–10). Penyucian jiwa ini tidak hanya berarti menjauhi dosa, tetapi juga menata
kembali cara berpikir dan menggunakan teknologi dengan kesadaran spiritual. Digital detox tanpa spiritual detox hanya akan bersifat sementara.
Guru memiliki peran fundamental dalam membentuk kesadaran
moral di tengah krisis digital. Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak
manusia yang cerdas secara akademik, tetapi juga arif secara spiritual. Dalam
konteks brain
rot, guru
berfungsi sebagai “penyadar akal” yang membantu murid keluar dari jebakan
konten dangkal.
Ada
tiga gagasan yang relevan bagi pendidikan masa kini:
1. Menanamkan literasi digital
beretika
artinya mengajarkan siswa untuk memilah informasi dan memahami dampak
penggunaan teknologi.
2. Integrasi nilai-nilai Qur’ani
dalam pembelajaran bermakna menumbuhkan makna spiritual di setiap bidang ilmu agar siswa
tidak tercerabut dari nilai ilahiah.
3. Keteladanan moral dari guru tidak hanya diajarkan, tetapi
juga diteladankan.
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa guru dan ulama adalah
pewaris para nabi. Mereka bertugas menjaga akal dan hati manusia agar tetap
hidup. Dalam konteks Hari Guru Nasional 2025, hal ini menjadi pengingat bahwa
profesi guru bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa untuk menjaga
moral bangsa.
C.
Penutup
Fenomena brain rot adalah tantangan moral dan spiritual di era digital. Ia menunjukkan
bahwa manusia modern tengah mengalami ketidakseimbangan antara akal dan hati.
Ketika pikiran disibukkan oleh konten cepat dan dangkal, maka moralitas pun
tertidur. Al-Qur’an menegaskan pentingnya menjaga akal, membersihkan hati, dan
menegakkan nilai-nilai moral agar manusia tidak kehilangan arah hidup.
Di tengah derasnya arus digital, Hari Guru Nasional 2025
mengingatkan kita untuk kembali pada hakikat pendidikan sejati: menumbuhkan
manusia yang berpikir jernih dan berhati bersih. Guru adalah lentera yang
menuntun generasi keluar dari kegelapan kebodohan dan kelalaian moral. Mereka
tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai.
Ketika dunia semakin sibuk berbicara tentang kecerdasan
buatan, marilah para guru terus menyalakan kecerdasan nurani. Sebab, bangsa
yang besar bukan hanya dibangun oleh teknologi, tetapi oleh manusia yang
berakal sehat, berhati bersih, dan berakhlak mulia.
SUMBER
BACAAN:
·
Firth, J. et al. (2019). The impact of digital technology use on
adolescent brain development. Nature Human Behaviour, 3(2),
121–132.
·
Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2017). Social networking sites
and addiction: Ten lessons learned. International Journal of Mental
Health and Addiction, 15(3), 401–417.
·
Twenge, J. M. (2020). iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are
Growing Up Less Rebellious. Atria Books.
·
Al-Ghazali. (2004). Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
·
Al-Qur’an al-Karim.
·
Syed Muhammad Naquib al-Attas (1993). Islam and Secularism.
ISTAC.
·
Zainuddin, A. (2022). “Fenomena Brain Rot dan Krisis Moral di Era
Digital.” Jurnal Psikologi dan Pendidikan Islam, 5(1), 44–57.
·
Haryanto, R. (2023). “Etika Media Sosial dalam Perspektif Islam.” Jurnal
Dakwah dan Komunikasi Islam, 10(2), 78–91.

0 Comments