JEBAKAN ARTIFISIALITAS: KEBUTUHAN TRANSFORMASI BUKAN SEKADAR KARYA SENI

 

Disusun oleh:

Muhammad Mufid (53325006) Kelas Program Doktor Pendidikan Agama Islam

Pascasarjana UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Abdul Mu`ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), mengumumkan kebijakan baru yang menghapus Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dan menggantikannya dengan program Proyek P7. Ada beberapa alasan mendasar yang melatarbelakangi, di antaranya adalah orientasi P5 yang mengarah pada seremonial, kurangnya integrasi dalam kurikulum, dan minimnya keterampilan praktis. P7 diambil sebagai langkah strategis untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran serta membekali siswa dengan keterampilan yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.

Namun niat mulia ini tidak terlepas dari kekhawatiran ironi pedagogis yang mengganggu, seandainya P7 hanya modifiksasi belaka. Artinya bukan soal namanya melainkan jebakan artifisialitas dimana kondisi tujuan karakter mulia tereduksi menjadi produk fisik semata. Teringat dengan Robert Merton dengan teorinya Goal Displacement yang dimaknai pergeseran tujuan, dimana tujuan awal internalisasi nilai Pancasila atau pembentukan prilaku, dilanjutkan dengan sarana (means) proyek berbasis produk, dan diakhiri dengan pergeseran tujuan bahwa sekolah atau guru terobsesi pada kemegahan produk fisik karya seni dengan menghilangkan tujuan utama yakni perubahan prilaku siswa. Terlebih bila hanya sarana (mens) yang dikembagkan justru melahirkan system baru yang lebih rumit tanpa menyentuh akar masalah.

Pembelajaran Performatif versus Pembelajaran Autentik

Pengamatan penulis kegiatan P5 didasari untuk tujuan penilaian, tuntutan administratif dan bahkan sekedar pameran. Sebagaimana dalam banyak penelitian pemanfaatan sampah plastik dalam tema Gaya Hidup Berkelanjutan yang berupa produk pot tanaman dinilai sukses bila berhasil menyajikan dengan rapi dan indah. Realitas inilah terjebak dengan Performatif realisasi artifisial produk jadi yang siap dipamerkan dan didokumentasikan. Padahal tujuan idealnya menanamkan kesadaran dan kepedulian lingkungan. Hal ini mengalihkan perhatian dari proses internalisasi nilai, yang mana merupakan esensi Pembelajaran Autentik.

Meskipun para siswa mampu membuat karya seni dari pot plastik yang menawan, namun tetap saja tidak peka dengan membuang sampah sembarangan. Kesenjangan prilaku inilah yang harus diperhatikan. Hal ini harus segera diselesaikan mengingat bagaimana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mempublikasikan darurat ekologis, dimana gejala eksploitasi sumber daya alam telah mengakibatkan kerusakan hingga pemusnahan ekosistem. Hal senada juga diungkap oleh Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebanyak 66.84% setara dengan 21,99 juta ton sampah pada Tahun 2024 belum terkelola dengan baik.

Kekhawatiran akan jebakan artifisialitas inilah yang seharusnya mendasari wacana transformasi kebijakan pendidikan. Memang benar, Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Toni Toharudin, menjelaskan bahwa perubahan ini bukan sekadar pergantian nama, melainkan pengembangan konsep yang lebih luas, beralih dari proyek menuju integrasi nilai-nilai karakter secara utuh ke dalam mata pelajaran (intracurricular), serta penambahan fokus pada keterampilan yang lebih aplikatif. Dari perencanaan inilah, penulis berharap P7 harus fokus pada metode asesmen perilaku.

Transformasi Metodologis

Jika P7 hendak sungguh-sungguh menjadi solusi yang memutus siklus jebakan artifisialitas, maka inti dari Transformasi Metodologis harus diletakkan pada perubahan cara mengukur keberhasilan. Dengan berpindah dari proyek terpisah ke integrasi intracurricular seperti janji P7, risiko artifisialitas masih tetap ada, P7 hanya akan berhasil jika mampu beralih dari pengukuran output menjadi pengukuran outcome karakter yang bersifat berkelanjutan.

Heléne Clark dan Anne Kubisch mempopulerkan kerangka Theory of Change (ToC) dengan perspektif bahwa pentingnya memetakan rantai kausalitas antara Activities dan Impact. ToC membedakan secara ketat antara Input, Activities, Output, Outcome, dan Impact. Artinya proyek p7 tidak terhenti pada Output berupa produk fisik yang sudah selesai melainkan harus mencapai Outcome yaitu internalisasi nilai dan perubahan prilaku siswa. P7 harus mengubah metodologi asesmennya, bila tidak, maka P7 hanya akan mengganti Activities (proyek P5) dengan Activities baru (integrasi P7), namun tetap mengukur Output yang sama. Pentingya memastikan asesmen karakternya siswa, mengukur realitas moral dan perilaku siswa sehari-hari.

Masih ingatkah bagaimana pergeseran cara pandang terhadap mutu pendidikan. Evaluasi yang semula hanya diukur melalui skor tes, outputnya, kecenderungan sekolah mengajar untuk ujian, beberapa les ujian sering diadakan dari berbagai sekolahan, artinya bukan untuk memberikan bagaimana pemahaman yang mendalam terhadap ilmu sehinggga menjadi karakter, selanjutnya menjadi kebiasaan dalam kepribadian siswa.

Untuk itu, P7 perlu mengadopsi Asesmen Holistik yang dirancang untuk mengukur proses dan konsistensi perilaku. Praktik ini menuntut guru untuk keluar dari zona nyaman penilaian kuantitatif produk dan masuk ke dalam penilaian kualitatif yang berkelanjutan. Sebagai contoh, evaluasi dimensi `Gaya Hidup Berkelanjutan` tidak cukup dilihat dari keindahan pot plastik, melainkan harus dinilai melalui tiga aspek. Pertama, observasi harian (apakah siswa secara konsisten memisahkan sampah di kelas). Kedua, jurnal fefleksi (bagaimana siswa menghubungkan isu sampah nasional dengan tindakan pribadinya). Ketiga, tindak lanjut jangka panjang (evaluasi perilaku siswa sebulan setelah proyek selesai).

Transformasi Esensi

Pada akhirnya, pergantian P5 ke P7 adalah kesempatan krusial untuk membuktikan bahwa pendidikan karakter di Indonesia mampu melepaskan diri dari tuntutan formalitas. Pemerintah dan sekolah harus memiliki komitmen pedagogis dan politis yang teguh untuk menuntut dan mengukur esensi karakter. Inilah transformasi esensi yang harus diwujudkan bukan sekedar modifikasi yang dipaksakan.

Esensi ini menuntut P7 untuk berfokus total pada outcome, di mana hasilnya adalah perubahan perilaku, pengetahuan, dan sikap yang kemudian akan menghasilkan impact jangka panjang. Dimana outcome adalah munculnya sense of belonging terhadap lingkungan dan siswa secara sadar memilah sampah setiap hari, sedangkan impact adalah ketika siswa secara intrinsik termotivasi untuk tidak lagi membuang sampah sembarangan di luar konteks proyek. P7 harus menjadi tonggak sejarah yang membedakan pelajar yang hanya mampu membuat karya seni dengan pelajar yang benar-benar menjadi berkarakter Pancasila. Kegagalan untuk melakukan transformasi esensi ini berarti kegagalan sistem pendidikan nasional secara menyeluruh dalam merespons darurat karakter dan lingkungan.


Post a Comment

0 Comments