Oleh:
Alfiatur Rohmaniyah (50324010)
MPGMI
A
Setiap
tahun, 25 November dirayakan sebagai Hari Guru Nasional — hari untuk mengenang
jasa dan perjuangan para pendidik bangsa. Di ruang-ruang kelas, guru tetap
berdiri tegak dengan spidol di tangan, sementara dunia di luar sana berlari
dengan kecepatan digital. Di media sosial, ribuan ucapan terima kasih mengalir
untuk mereka, tetapi di balik layar, masih banyak guru yang berjuang dalam
diam: menulis RPP di tengah malam, membayar kuota sendiri untuk mengajar
daring, bahkan sebagian mencari pekerjaan sampingan agar dapur tetap mengepul.
Inilah
paradoks pendidikan Indonesia hari ini: guru dituntut hebat di era digital,
tetapi masih banyak yang belum sejahtera secara sosial maupun ekonomi.
Survei IDEAS dan Dompet Dhuafa (2024) menunjukkan 74% guru honorer di Indonesia
berpenghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan, dan 20% di antaranya di bawah Rp
500 ribu. Ironisnya, di tengah gempuran transformasi digital dan tuntutan
profesionalisme, sebagian guru masih harus bergulat dengan ketidakpastian
status, beban kerja administratif, dan minimnya dukungan teknologi.
Maka,
jika kita berbicara tentang “Guru Hebat, Indonesia Bermartabat di Era Digital,”
maka pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana mungkin bangsa bisa bermartabat
jika para pendidiknya belum hidup bermartabat?
Paradoks
Guru Hebat di Era Digital
Era
digital seharusnya menjadi peluang bagi guru untuk tumbuh, berinovasi, dan
memperluas cakrawala belajar. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa
transformasi ini tidak berjalan merata. Sebagian guru di kota besar sudah mampu
menggunakan Learning Management System (LMS), AI untuk evaluasi, atau
media interaktif. Sementara itu, di banyak daerah 3T, guru masih harus menempuh
perjalanan jauh ke sekolah, mengajar tanpa sinyal, dan menggunakan papan tulis
sebagai satu-satunya alat pembelajaran.
Data
Kemendikbudristek (2025) mencatat Indonesia memiliki sekitar 3,36 juta guru
aktif, namun hampir separuh belum bersertifikat profesi. Sertifikasi yang
menjadi syarat tunjangan profesional sering kali terhambat oleh birokrasi
panjang dan akses pelatihan terbatas. Akibatnya, hanya sebagian kecil guru yang
bisa menikmati tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
Di
sisi lain, beban kerja guru justru meningkat di era digital. Mereka harus:
1.
Membuat media pembelajaran berbasis
digital,
2.
Mengelola kelas daring dan luring secara
bersamaan,
3.
Menginput nilai ke berbagai sistem,
4.
Dan tetap memenuhi target kurikulum
Merdeka Belajar.
Namun,
kerja keras ini belum diimbangi dengan kompensasi yang adil. Banyak guru yang
masih bekerja dengan gaji jauh di bawah standar, bahkan tanpa jaminan kesehatan
dan kepastian karier. Guru hebat tidak dilahirkan oleh semangat semata, tetapi
oleh sistem yang memanusiakan. Tanpa kesejahteraan, semangat akan layu; tanpa
penghargaan, inovasi akan berhenti.
Krisis
Penghargaan dan Martabat Profesi Guru
Selain
persoalan ekonomi, guru Indonesia menghadapi krisis yang lebih halus tetapi
lebih menyakitkan: krisis penghargaan dan penghormatan sosial. Dulu, guru
disegani sebagai sosok moral dan panutan masyarakat. Kini, otoritas moral itu
mulai pudar. Media sosial sering kali memperlihatkan guru yang dipermalukan,
direkam diam-diam, atau bahkan dilaporkan ke polisi karena menegur siswa. Kasus
semacam ini mencerminkan pergeseran nilai masyarakat modern: teknologi
mempercepat akses informasi, tetapi juga mempercepat kehilangan rasa hormat.
Fenomena
ini berbahaya. Ketika masyarakat berhenti menghargai guru, maka seluruh sistem
nilai pendidikan akan goyah. Kita melahirkan generasi yang tahu cara mencari informasi,
tetapi tidak tahu cara menghormati sumber pengetahuan.
Kita membangun sekolah digital, tetapi lupa membangun budaya menghargai
pendidik. Penghargaan sejati bukan sekadar sertifikat atau piagam, tetapi
pengakuan bahwa profesi guru adalah pondasi moral dan intelektual bangsa. Oleh
karena itu, membangun martabat bangsa berarti mengembalikan martabat guru —
melalui perlindungan hukum, penghormatan sosial, dan apresiasi yang konkret,
bukan simbolik.
Kesejahteraan
sebagai Fondasi Pendidikan Bermartabat
Kesejahteraan
guru bukanlah hadiah, tetapi hak. Ia merupakan fondasi agar guru dapat mengajar
dengan fokus dan integritas. Menurut Kompas.com (2025), pemerintah
mengalokasikan Rp 81,6 triliun untuk kesejahteraan guru, naik Rp 16,7 triliun
dari tahun sebelumnya. Namun, angka besar ini masih menyisakan ketimpangan:
banyak guru non-ASN belum merasakan dampaknya secara langsung. Masih ada
kesenjangan yang mencolok:
1.
Guru ASN mendapat gaji Rp 4–7 juta dengan
tunjangan profesi,
2.
Guru non-ASN sering kali hanya menerima Rp
500 ribu–Rp 1,5 juta per bulan, tanpa tunjangan tetap,
3.
Banyak sekolah swasta kecil membayar guru
di bawah UMR karena bergantung pada dana BOS.
Jika
kita jujur, pendidikan Indonesia hari ini berdiri di atas punggung guru-guru
honorer yang penuh dedikasi tetapi minim penghargaan. Mereka mengajar bukan
demi uang, tetapi karena panggilan hati. Namun, negara tidak boleh
terus-menerus membiarkan panggilan hati menjadi alasan untuk menunda keadilan.
Guru
yang sejahtera akan menjadi guru yang kreatif, adaptif, dan berdaya. Sementara
guru yang hidup dalam kekhawatiran finansial akan sulit berinovasi, apalagi
membimbing generasi masa depan. Oleh karena itu, investasi terbaik bangsa
bukanlah membangun gedung sekolah megah, tetapi menyejahterakan penghuninya:
para guru.
Jalan
Menuju Guru Hebat dan Indonesia Bermartabat
Untuk
mewujudkan “Guru Hebat, Indonesia Bermartabat di Era Digital,” dibutuhkan
langkah strategis yang menyentuh akar masalah:
1. Menaikkan
standar gaji guru nasional. Komisi X DPR RI pada Mei 2025 mengusulkan gaji guru
ideal minimal Rp 25 juta per bulan bagi guru ASN profesional — bukan kemewahan,
tapi penyesuaian dengan tanggung jawab dan kompleksitas kerja.
2. Memperluas
akses sertifikasi dan pelatihan digital. Pemerintah perlu membuat platform
nasional Guru Digital Indonesia yang menyediakan kursus literasi AI,
desain pembelajaran multimedia, dan keamanan siber secara gratis dan
berjenjang.
3. Mengakui
beban kerja digital guru. Kegiatan membuat video pembelajaran, mengelola LMS,
dan menilai tugas daring harus diakui sebagai bagian dari beban profesional dan
diberi insentif.
4. Membangun
budaya penghargaan. Sekolah dan masyarakat perlu mengembalikan budaya
menghormati guru. Media juga harus berperan dalam menampilkan kisah inspiratif
guru, bukan hanya sensasi.
5. Memberikan
perlindungan hukum dan sosial. Guru yang menjalankan tugas dengan niat mendidik
harus dilindungi dari ancaman hukum berlebihan atau kekerasan verbal dari
publik.
Jika
langkah-langkah ini dijalankan, maka kita tidak hanya mencetak guru yang hebat,
tetapi juga membangun sistem pendidikan yang adil, manusiawi, dan
berkelanjutan.
Guru
adalah jantung dari pendidikan dan denyut dari peradaban bangsa.
Mereka adalah sosok yang paling dekat dengan masa depan anak-anak, tetapi
sering kali paling jauh dari perhatian kebijakan. Pujian dan penghargaan
seremonial memang penting, tetapi tidak akan pernah cukup menggantikan
kebutuhan hidup yang layak, penghormatan sosial, dan perlindungan profesi. Di
era digital, ketika kecerdasan buatan semakin canggih, ada hal yang tidak bisa
digantikan oleh mesin: ketulusan seorang guru. Dan agar ketulusan itu tetap
menyala, bangsa ini harus memastikan bahwa mereka hidup bermartabat.
Mari
kita jadikan Hari Guru Nasional 2025 bukan hanya ajang perayaan, tetapi
momentum refleksi: Sudahkah kita benar-benar menghormati guru, atau hanya
memuji mereka dari jauh? Karena sesungguhnya, guru hebat tidak hidup dari
pujian — mereka hidup dari kesejahteraan dan penghargaan. Dan selama kita terus
menunda keduanya, Indonesia belum sepenuhnya bermartabat di era digital.

0 Comments