NAHYA NADZIVA (20624047)
ETIKA PROFESI GURU B
Pendahuluan
Setiap tanggal 25 November, bangsa Indonesia memperingati
Hari Guru Nasional sehingga membuat suasana di sekolah dan kampus di seluruh
Indonesia dipenuhi dengan ucapan, puisi, hadiah ataupun konten-konten dalam
rangka merayakan hari guru. Namun, selain mengucapkan selamat hari guru juga seharusnya
digunakan sebagai momentum untuk merenungi makna sejati profesi pendidik di era
digital ini. Bagaimana peran guru ditengah perubahan zaman yang
serba digital ini. Di mana saat ini
siswa dapat mengakses berbagai informasi di internet
Banyak orang khawatir apakah teknologi akan menggantikan
guru. Meskipun demikian pendidikan adalah tugas peradaban, di era digital saat
ini, peran guru bahkan semakin penting bukan hanya sebagai penyedia informasi,
tetapi sebagai penyemai kearifan. Ini adalah refleksi yang relevan dengan Hari
Guru Nasional 2025. Karena, di tengah disrupsi teknologi, bangsa yang bermartabat
tidak cukup hanya membekali warganya dengan literasi digital tetapi juga memastikan
bahwa kecerdasan hati nurani tetap ada di balik kecerdasan digital, dan guru
adalah penanam benihnya.
Sebagai mahasiswa yang sedang belajar menjadi calon
pendidik, saya merasakan bahwa tantangan menjadi guru hari ini bukan hanya soal
menguasai teknologi, tetapi bagaimana tetap hadir sebagai sosok yang mampu
menyemai kebijaksanaan. Guru hebat adalah mereka yang tetap membumi di tengah
kecanggihan, yang menghadirkan kehangatan di sela notifikasi digital, dan yang
menjadikan pembelajaran bukan hanya soal materi, tetapi juga soal kemanusiaan.
Karena itulah, dedikasi guru di era digital benar-benar menjadi fondasi penting
bagi terwujudnya bangsa yang bermartabat.
Isi
Akses ke pengetahuan, pembelajaran berbasis digital, dan
ruang kolaborasi tanpa batas adalah beberapa keuntungan dari kemajuan
teknologi. Namun, masalah baru muncul di saat yang sama seperti hoaks, ujaran
kebencian, kehilangan filter moral, dan menurunnya sensitivitas sosial. Dalam
situasi ini, guru bertindak sebagai penanam kearifan. Siswa tidak hanya
memperoleh pengetahuan, tetapi juga memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang moralitas digital, pemikiran kritis, dan kemanusiaan. Guru menjadi
penjaga nilai yang memastikan bahwa peserta didik tidak sekadar cerdas secara
kognitif tetapi juga bijak secara moral, sejalan dengan gagasan Prof. Muhlisin
tentang moderasi beragama yang menjunjung martabat manusia dan membangun
kemaslahatan umum.
Guru bukan lagi sebagai sumber ilmu, saat ini guru
merupakan kurator kearifan, mengajarkan siswa untuk menilai, memilih, dan
mengelola informasi dengan bijak. Tugas guru tidak hanya memastikan siswa
mengetahui apa yang benar, tetapi juga memberi mereka pemahaman tentang mengapa
hal itu benar dan bagaimana menentukan jarak yang bijak terhadap orang lain. Saat
ini, guru harus berpegang pada prinsip-prinsip sederhana namun mendalam seperti
mengajar dengan data, membimbing dengan nilai, dan membimbing dengan iman.
Di
era modern, guru yang hebat adalah mereka yang menciptakan nilai melalui
interaksi. Mereka menanamkan nilai ketekunan dengan sabar menjawab pertanyaan
yang berulang, memberi ruang bagi siswa yang pendiam, menumbuhkan kepercayaan
diri, dan memberi pelajaran paling berharga tentang kerendahan hati dengan
mengakui kesalahan mereka di depan kelas. Guru yang luar biasa bukan hanya ahli
dalam bidangnya, tetapi juga orang yang menerima panggilan rohani dan emosi. Mereka tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga
menghaluskan perasaan dan memperkuat etika generasi.
Di era digital saat ini, kearifan bukan berarti
menghindari teknologi tetapi dapat menggunakan cara yang cerdas dan etis. Guru
hebat menyadari bahwa platform digital adalah ladang nilai baru. Misalnya,
seorang pendidik dapat mengubah media sosial menjadi ruang edukatif dengan
mengunggah refleksi pendek tentang kejujuran di internet, membahas efek
cyberbullying, atau menantang siswa untuk membuat konten positif. Metode ini
memungkinkan pendidik tidak hanya mengajarkan etika digital tetapi juga
menerapkannya pada siswa
Dalam
teori pendidikan, guru disebut sebagai agen transformasi sosial. Namun, saya
lebih suka menyebut arsitek moral bangsa karena setiap nilai yang ditanam oleh
guru, bahkan yang paling kecil, akan membentuk karakter generasi berikutnya. Seorang
guru juga bertanggung jawab dalam memastikan kemajuan digital tidak mengikis
kejujuran, empati, dan rasa tanggung jawab anak didiknya. Kecanggihan teknologi
bukan satu-satunya faktor yang membuat suatu negara menjadi terpandang namun terletak
pada orang-orang beradab dan bermoral.
Banyak
guru yang terus berjuang dengan senyum dan kesabaran di tengah tekanan
administratif, tuntutan profesional, dan terkadang kenyataan sosial yang tidak
menghargai profesi mereka. Ada
yang mengajar di daerah dengan jaringan terbatas, dan ada yang menjadi tempat
diskusi siswa yang kehilangan arah. Mereka adalah pahlawan tanpa panggung. Dedikasi
seperti ini sering kali bersifat “kerja sunyi”. Tidak selalu tampak di
permukaan, tetapi dampaknya bertahan seumur hidup. Jika hari ini kita mengenang
guru yang mengubah jalan hidup kita, itu adalah bukti nyata bahwa pendidikan
tidak pernah berhenti bekerja, bahkan ketika pelajaran usai.
Bangsa bermartabat tidak hanya dibangun oleh kecerdasan
intelektual, tetapi juga kearifan. Guru menanamkan nilai-nilai seperti
integritas, empati, tanggung jawab, dan toleransi, nilai yang menjadi “fondasi
moral” generasi penerus bangsa. Konsep wajib belajar 15 tahun yang disoroti
Prof. Muhlisin menunjukkan bahwa akses pendidikan luas adalah kunci mencetak
SDM produktif dan beretika. Bila pendidikan mampu menyentuh seluruh lapisan,
maka karakter bangsa dapat terbentuk secara lebih kokoh. Sebagai calon guru,
saya menyadari bahwa proses menyemai kearifan tidak bisa instan. Setiap siswa
adalah benih yang tumbuh dalam ritme berbeda. Tugas guru adalah merawatnya
dengan kesabaran. Dalam dunia serba cepat, kesabaran inilah yang justru menjadi
bentuk keteguhan dan dedikasi.
Penutup
Di
era digital, menjadi guru hebat adalah upaya kemanusiaan dan bukan sekadar
pekerjaan profesional. Guru hadir sebagai penjaga keseimbangan antara ilmu dan
nilai, antara logika dan hati nurani, di tengah dunia yang semakin maju namun
rentan kehilangan arah. Memperingati
Hari Guru Nasional pada tahun 2025 seharusnya menjadi inspirasi untuk
merevitalisasi pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Tidak peduli
seberapa canggihnya teknologi kita, bangsa ini akan kehilangan kehormatannya
tanpa pendidik yang menanamkan kebijaksanaan di hati generasi penerusnya. Di
masa depan, anak-anak mungkin dapat belajar dari layar, sistem, atau robot,
tetapi mereka masih membutuhkan kasih sayang dan kebijaksanaan guru yang tidak
dapat diprogram. Selain itu, kemakmuran bangsa ini tumbuh dari guru yang
melestarikan untuk menyemai nilai, menjaga moral, dan menumbuhkan semangat
belajar.
Selamat Hari Guru Nasional 2025! Semua guru hebat
mengajar dunia dan memimpin peradaban.
Semoga dedikasi para guru terus menjadi pelita bagi bangsa ini.
Referensi
Hawa, A. M.,
Hikmah, M. S., Latifah, H., Malik, F. A. U., Khotimah, S., Hidayat, F., ...
& Sitompul, L. A. (2025). INOVASI DAN TRANSFORMASI PENDIDIKAN DI
ERA 5.0. Cahaya Smart Nusantara.
Muchith, H. S. (2023). Pengembangan
kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis moderasi beragama. Nas Media Pustaka.
Nugroho, M. T.,
Istiqomah, L., Gr, S. P., Yanti, I. C., Prayogi, A., Safira, D. Y., &
Sagala, A. (2025). Generasi Digital Jiwa Berkarakter: Pendidikan Masa
Kini “Membentuk Generasi Cerdas Teknologi Dengan Nilai-Nilai Kemanusiaan”. PENERBIT
KBM INDONESIA.
UIN K.H.
Abdurrahman Wahid Pekalongan. (2024, 20 September). Prof. Muhlisin, Wakil
Rektor III UIN Gus Dur Pekalongan paparkan peningkatan literasi moderasi
beragama bagi aktifis Ormawa di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. https://www.uingusdur.ac.id/info/prof-muhlisin-wakil-rektor-iii-uin-gus-dur-pekalongan-paparkan-peningkatan-literasi-moderasi-beragama-bagi-aktifis-ormawa-di-uin-sultan-maulana-hasanuddin-banten
UIN K.H.
Abdurrahman Wahid Pekalongan. (2024, 3 Maret). Prof. Muhlisin sampaikan
pentingnya kebijakan wajib belajar 15 tahun. https://www.uingusdur.ac.id/info/prof-muhlisin-sampaikan-pentingnya-kebijakan-wajib-belajar-15-tahun
Zamani, F. E.
(2022). Peran pendidikan teknologi dalam proses transformasi sosial. Jurnal
DIALEKTIKA: Jurnal Ilmu Sosial, 20(1),
84-94.
0 Comments