Di Balik Layar Ponsel Siswa: Refleksi Kritis Peran Guru dalam Menghadapi Krisis Etika Media Sosial

 Nama : Syifa’ Nur Latifah

NIM : 20624017

Mata Kuliah : Etika Profesi Keguruan – B

Perkembangan media sosial dalam satu dekade terakhir telah mengubah cara siswa mengenal dunia, membangun hubungan, dan membentuk nilai-nilai moral mereka. Meskipun media sosial bisa menjadi tempat belajar yang luas, ia juga menjadi ruang yang penuh risiko, seperti penyebaran informasi palsu, kekerasan verbal, budaya pamer, serta perilaku digital yang tidak sopan. Fenomena ini semakin relevan dengan momentum Hari Guru Nasional 2025, di mana peran guru tidak hanya terbatas pada memberikan materi, tetapi juga membimbing siswa untuk berkembang di dunia digital yang rumit. Nelson Mandela dulu berkata, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”. Di masa kini, “dunia” yang harus diubah tidak hanya dunia fisik, melainkan juga dunia digital yang menjadi tempat tinggal siswa. Karena itu, penting bagi kita untuk melakukan refleksi kritis mengenai peran guru dalam menangkal krisis etika media sosial agar pendidikan tetap menjadi panduan moral di era digital.

Media sosial telah menciptakan “guru bayangan” bagi siswa, seperti selebgram, influencer, hingga konten viral yang sering kali lebih dipercaya daripada guru di kelas. Pesan-pesan dari figur digital ini datang tanpa batasan etika, sering kali hanya terfokus pada perhatian dan algoritma. Hal ini membuat guru berada dalam posisi yang menantang. Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan kritis, berkata, “Pendidikan adalah tindakan pembebasan”. Dalam konteks media sosial, pembebasan berarti membantu siswa keluar dari jebakan konten yang bisa memanipulasi, dangkal, dan tidak bermakna. Guru kini bukan hanya pengajar, tetapi juga pendamping yang membantu siswa untuk mengecek sumber informasi, nilai, serta tujuan di balik setiap konten yang mereka gunakan.

Krisis etika digital sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Guru melihat siswanya saling menyerang lewat komentar di media sosial, rasa percaya diri yang semakin melemah karena terus membandingkan hidup dengan orang lain, hingga identitas diri yang dibangun hanya demi terlihat “sempurna”. Penggunaan bahasa kasar, berita palsu, dan tindakan impulsif yang viral membuat situasi semakin sulit. Pernyataan Albert Einstein yang mengingatkan kita bahwa “It has become appallingly obvious that our technology has exceeded our humanity” kini terasa sangat relevan. Dunia digital yang seharusnya memperkaya pengetahuan justru sering kali mengurangi empati dan kesadaran moral siswa. Tugas guru sangat penting untuk mengembalikan keseimbangan tersebut, memastikan teknologi tidak mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam menghadapi situasi ini, literasi digital saja tidak cukup. Sebelumnya, sekolah lebih fokus pada kemampuan teknis seperti cari informasi atau kenali berita palsu. Namun, krisis etika di media sosial justru membutuhkan pembentukan etika digital. Ini adalah kemampuan siswa untuk berpikir tentang dampak moral dari setiap tindakan di dunia maya. Howard Gardner pernah menyatakan, “A disciplined mind is not enough; we need ethical minds”. Guru memiliki peran penting dalam membentuk pikiran beretika ini dengan mendorong kebiasaan berpikir reflektif, empati digital, dan mengajukan pertanyaan sederhana, misalnya: “Mengapa saya membagikan ini?”, “Apakah ini mencerminkan nilai diri saya?”, atau “Bagaimana dampaknya bagi orang lain?”

Selain itu, guru memiliki peran sebagai kurator nilai di tengah banyaknya informasi yang beredar. Tugas ini bukan hanya membatasi akses siswa, tetapi juga membimbing mereka memilih informasi yang bisa memperluas pengetahuan serta meningkatkan sikap dan karakter. John Dewey pernah mengatakan bahwa “Education is not preparation for life; education is life itself “. Maka, pendidikan etika digital bukanlah materi tambahan, tetapi bagian dari kehidupan belajar sehari-hari. Guru dapat menggunakan peristiwa viral sebagai bahan diskusi etika di kelas, bukan untuk menilai, tetapi untuk membantu siswa menelusuri logika dan nilai yang tersembunyi di balik tindakan digital tersebut.

 

Lebih lanjut, guru perlu menciptakan ruang yang aman bagi siswa untuk berbicara tentang tekanan dari media sosial. Banyak siswa yang sebenarnya ingin membicarakan kecemasan digital, seperti rasa takut ketinggalan, tekanan untuk terlihat sempurna, atau pengalaman dihina—namun mereka tidak menemukan tempat yang tepat untuk berbicara. Dengan menciptakan suasana diskusi yang hangat dan tidak menyalahkan, guru bisa membantu siswa memahami diri mereka dengan lebih baik. Carl Rogers pernah berkata, “The only person who is educated is the one who has learned how to learn and change”. Ruang dialog yang baik memungkinkan siswa untuk "belajar berubah", memperbaiki perilaku digital, dan membangun etika yang lebih baik.

Namun, refleksi ini tidak akan lengkap jika tidak membahas pentingnya teladan dari guru. Etika digital siswa sering kali mencerminkan etika digital guru. Guru yang bijak dalam menggunakan media sosial—tidak mudah terpancing, tidak menyebarkan berita palsu, dan bersikap sopan saat berdiskusi—menjadi contoh nyata yang berpengaruh kuat terhadap siswa. William Arthur Ward menjelaskan hal ini dengan tepat: “The mediocre teacher tells. The good teacher explains. The superior teacher demonstrates. The great teacher inspires". Guru biasa hanya menyampaikan. Guru baik menjelaskan. Guru yang hebat mencontohkan. Guru besar menginspirasi." Di era digital, inspirasi itu tidak hanya datang dari dalam kelas, tetapi juga dari jejak digital yang bisa dilihat siswa setiap hari.

Krisis etika di media sosial memang tidak mudah diatasi, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Di balik layar ponsel para siswa, ada tantangan besar yang membutuhkan peran guru sebagai pembimbing moral, penjaga nilai, dan contoh teladan dalam etika digital. Hari Guru Nasional 2025 menjadi ingat-ingat bahwa teknologi tidak bisa menggantikan nilai dan kebijaksanaan yang dibawa oleh seorang guru. Ki Hadjar Dewantara pernah mengatakan dengan tepat: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Kalimat ini masih relevan sampai hari ini, bahkan ketika pembelajaran terjadi di dua dunia sekaligus—dunia nyata dan dunia maya. Dengan kesadaran, kreativitas, dan menjadi teladan, guru bisa membentuk generasi yang tidak hanya cerdas dalam menggunakan teknologi, tetapi juga berkarakter, bijaksana, dan bertanggung jawab.

Daftar Pustaka

Dewey, J. (1938). Experience and Education. New York: Macmillan.

Einstein, A. (1946). The Real Problem is in the Hearts of Men. New York: The New York Times.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

Gardner, H. (2006). Five Minds for the Future. Harvard Business School Press.

Ki Hadjar Dewantara. (1967). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa.

Mandela, N. (1994). Long Walk to Freedom. Boston: Little, Brown and Company.

Rogers, C. (1969). Freedom to Learn. Columbus: Charles Merrill.

Ward, W. A. (n.d.). The Inspirational Teacher. (Kumpulan kutipan pendidikan).

 

Post a Comment

0 Comments