GURU PANUTAN UNTUK MEMBENTUK KARAKTER SISWA DI TENGAH KRISIS MORAL DAN SOPAN SANTUN DIGITAL

NIHAYATUL AMANAH (20624002)

ETIKA PROFESI GURU B

 

            Era digital membawa banyak perubahan besar yang signifikan dalam kehidupan manusia saat ini termasuk juga dalam dunia pendidikan. Maraknya penggunaan media sosial hadir sebagai ruang baru interaksi banyak generasi muda, dimana media sosial menawarkan berbagai akses informasi tanpa batas, jejaring global, dan bahkan ruang mengekspreksikan diri. Namun disisi lain, media sosial juga menghadirkan tantangan yang serius salah satunya berupa degredasi moral dan lunturnya sopan santun generasi muda saat ini terutama para siswa-siswi sekolah dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena yang terjadi seperti ujaran kebencian, cyberbullying, penggunaan bahasa yang kasar, serta budaya pamer di kalangan siswa sehingga menciptakan krisis karakter yang perlu segera diatasi.

            Momentum Hari Guru Nasional 2025 menjadi saat yang tepat untuk kembali menegaskan peran strategis guru di tengah tantangan tersebut. Dengan tema besar pendidikan yang menekankan transformasi di era digital, guru diharapkan tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai panutan moral yang mampu menjaga karakter siswa agar tidak tergerus arus negatif media sosial. Peringatan Hari Guru Nasional tahun ini dapat dijadikan refleksi bersama bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari capaian akademik, melainkan juga dari sejauh mana guru mampu membimbing siswa menjadi generasi berkarakter kuat, sopan santun, dan bijak dalam bermedia sosial. Sejalan dengan gagasan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” yang artinya di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan (Zulaicho & Al Hamidy, 2021). Sehingga guru memiliki peran utama dalam menuntun siswa agar tetap berkarakter di tengah derasnya arus media sosial.

            Moralitas, etika, dan juga sopan santun yang dulunya dijunjung tinggi dalam setiap interaksi tatap muka kini mulai bergeser ketika sebagian besar komunikasi beralih ke dunia maya. Banyak siswa mulai berani berkata kasar, mengejek, sampai menyebarkan kebohongan dengan menggunakan media sosial. Interaksi yang terjadi dalam media sosial sering kali tidak disertai dengan rasa hormat, empati, dan bersikap sopan santun. Beberapa fenomena yang terjadi saat ini diantaranya adalah cyberbullying, lunturnya sopan santun digital, budaya instan, dan krisis identitas (Nurrahman et al., 2025).

            Fenomena yang pertama dan yang sering terjadi adalah cyberbullying di mana siswa menjadi pelaku atau korban dari perundungan online. Banyak siswa menggunakan media sosial untuk mengejek, mempermalukan, atau bahkan menyebarkan fitnah terhadap teman sebayanya. Hal ini sering dianggap sebagai candaan semata, padahal dapat berdampak serius terhadap kesehatan mental korban. Mereka bisa merasa tertekan atau bahkan kehilangan kepercayaan diri. Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya empati hilang ketika interaksi dilakukan di balik layar. Hal ini juga menyebabkan hilangnya sopan santun digital, terlihat dari semakin seringnya siswa menggunakan bahasa kasar, ejekan, dan komentar negatif di platform media sosial. Norma kesantunan yang seharusnya dijaga dalam percakapan tatap muka tidak lagi diterapkan di dunia maya. Banyak siswa lupa bahwa komunikasi daring tetap membutuhkan etika dan rasa hormat. Akibatnya, media sosial menjadi tempat adu argumen dan menyebar kebencian.

            Fenomena lain yang terjadi adalah lahirnya budaya instan dalam pola pikir dan perilaku siswa, di mana segala sesuatu diinginkan serba cepat tanpa melalui proses dan usaha yang panjang. Hal ini membuat siswa lebih senang mengejar popularitas singkat daripada menghargai proses belajar dan kerja keras. Fenomena ini tampak dari kecenderungan mereka untuk berlomba-lomba membuat konten tanpa memperhatikan nilai edukatifnya. Akibatnya banyak yang menilai keberhasilan dari jumlah like dan followers bukan dari kemampuan serta usaha nyata. Padahal semangat belajar dan ketekunan adalah kunci utama dalam membentuk karakter siswa yang tangguh. Dengan lahirnya budaya instan dalam pola pikir siswa, apabila tidak segera ditangani dapat juga menyebabkan krisis identitas para siswa. Fenomena krisis identitas terjadi ketika siswa membangun citra diri berdasarkan tren dan standar media sosial, bukan pada nilai dan jati diri sejati. Mereka meniru gaya hidup influencer atau figur publik tanpa memahami konteks sebenarnya. Akibatnya, muncul perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan mudah terpengaruh oleh tekanan sosial sehingga berpotensi menumbuhkan generasi yang kehilangan arah moral dan nilai kepribadian.

            Fenomena-fenomena yang telah disebutkan di atas dapat menjadi bukti bahwa arus digital tidak hanya membawa kemudahan, tetapi juga menggerus nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi dasar kepribadian bangsa. Krisis moral dan sopan santun yang muncul di ruang digital secara perlahan memengaruhi perilaku siswa dalam kehidupan nyata. Mereka tidak hanya mengalami perubahan cara berkomunikasi, tetapi juga cara berpikir dan bersikap.

            Krisis moral dan sopan santun digital dari beberapa fenomena yang terjadi sebelumnya dapat membawa dampak nyata terhadap perkembangan karakter siswa. Berkurangnya empati dan rasa tanggung jawab membuat siswa lebih individualistis karena lebih fokus pada dunia maya di media sosial daripada kepedulian terhadap sesama secara langsung. Kecanduan media sosial juga menurunkan disiplin dan motivasi belajar, sehingga banyak siswa sulit berkonsentrasi dalam kegiatan akademik. Tidak hanya itu, validasi dari media sosial sering kali lebih penting bagi siswa daripada penilaian dari guru atau orang tua. Jika dibiarkan kondisi ini akan melahirkan generasi muda yang cerdas secara teknologi tetapi miskin etika dan budi pekerti.

            Selanjutnya dalam menghadapi krisi moral dan sopan santun digital siswa membuat guru memegang posisi yang sangat strategis untuk masalah tersebut. Dimana guru bukan hanya sebagai pendidik yang mengajarkan pengetahuan di dalam kelas, tetapi juga menjadi teladan dan panutan yang nyata dalam kehidupan para siswa. Pandangan ini sesuai dengan peran guru yang menuntun siswa untuk memahami nilai, membiasakan kebaikan, dan menerapkannya dalam kehidupan nyata termasuk di dunia digital. Peran guru yang dimaksudkan tersebut dapat diwujudkan melalui beberapa hal yang salah satunya adalah guru perlu menjadi contoh dalam beretika digital yang baik, karena keteladanan lebih kuat dari hanya sekadar nasihat. Hal ini sejalan dengan seperti yang dikatakan oleh Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa:
“Karakter bukan diajarkan lewat teori dan wejangan. Karakter diajarkan pakai teladan, dengan contoh nyata.”(Anies Baswedan, dikutip dari
JagoKata). Pernyataan ini sejalan dengan temuan Robi’ah et al (2025) bahwa guru perlu mengintegrasikan etika profesional dalam penggunaan teknologi untuk membentuk karakter siswa secara efektif (Robi’ah et al., 2025). Selanjutnya guru yang bijak dalam menggunakan media sosial akan menjadi inspirasi bagi siswa untuk meniru perilaku positif yang dilakukan. Selain itu, pendidikan karakter dapat diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran, sehingga siswa terbiasa mengaitkan nilai moral dan etika dengan kehidupan mereka sehari-hari. Pendidikan karakter juga dapat dilakukan melalui media sosial edukatif dan proyek digital berbasis nilai (I’tikaf, 2024). Guru juga dapat membangun literasi digital berbasis nilai, mengajarkan siswa bagaimana menyaring informasi, menghindari hoaks, dan menggunakan media sosial secara produktif. Tidak kalah penting, guru perlu menciptakan ruang dialog yang terbuka agar siswa dapat berdiskusi tentang etika digital, sehingga mereka merasa dilibatkan dan memahami dampak perilaku mereka di dunia maya.

            Upaya yang dapat dilakukan guru dalam membangun karakter siswa yaitu dapat mendorong siswa memanfaatkan media sosial untuk hal-hal positif, seperti membuat konten kreatif yang edukatif dan inspiratif. Kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat juga penting agar pembinaan karakter berlanjut di luar sekolah. Penguatan nilai-nilai lokal dan nasional seperti semangat gotong royong, sopan santun, dan cinta tanah air, perlu terus ditanamkan sebagai filter moral di tengah derasnya budaya digital global. Penghargaan terhadap siswa yang mampu menunjukkan sikap bijak di media sosial pun bisa menjadi cara efektif untuk menumbuhkan kesadaran moral di kalangan pelajar.

            Krisis moral dan sopan santun digital adalah tantangan serius di era media sosial. Generasi muda mudah terbawa arus budaya instan dan perilaku negatif yang marak di dunia maya. Jika dibiarkan, hal ini dapat merusak tatanan pendidikan dan melemahkan nilai-nilai luhur bangsa. Momentum Hari Guru Nasional 2025 seharusnya menjadi refleksi dan dorongan bagi seluruh pendidik untuk memperkuat kembali semangat tut wuri handayani dalam konteks digital. Guru panutan bukan hanya simbol keteladanan di kelas, tetapi juga cahaya yang menuntun siswa dalam dunia maya yang kian kompleks. Dengan bimbingan guru yang inspiratif, siswa dapat tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral, santun dalam bersikap, dan bijak dalam bermedia sosial.

 

Daftar Pustaka

Baswedan, A. (n.d.). Karakter bukan diajarkan lewat teori dan wejangan. Diakses            dari https://jagokata.com

 

I’tikaf, M. A. (2024). Integrasi Teknologi dalam Pendidikan Karakter: Membangun Generasi Berkarakter di Era Digital. AL-MIKRAJ Jurnal Studi Islam Dan Humaniora (E-ISSN 2745-4584), 5(01), 1837–1847.

Nurrahman, A., Wulaningrum, T., Syafii, A., Nuraini, E., Nuraeni, Z., Dos Santos, M., Afnia, P. N., Alfarisa, F., Widyastuti, P., & Desrani, A. (2025). PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA. CV. Ruang Tentor.

Robi’ah, R., Ulfa, D., Silfia, A., Putri, S. A., & Nabila, N. (2025). Peran Etika dan Tanggung Jawab Guru dalam Pembentukan Kepribadian Siswa di Era Pembelajaran 5.0. Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 8(2), 701–710.

Zulaicho, D., & Al Hamidy, I. Z. F. (2021). Rekonstruksi Makna Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani oleh Ki Hadjar Dewantara. Journal of Islamic Educatiom Studies E-ISSN, 2746, 4342.

 

 

 

Post a Comment

0 Comments