Guru sebagai Agen Literasi Digital: Membangun Kesadaran Kritis dan Tanggung Jawab Digital pada Generasi Z

 Dea Vara Amelia 20624003

Pendahuluan

Kehidupan manusia semakin bergantung pada teknologi informasi di era digital yang serba cepat dan terhubung tanpa batas. Akses digital memengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan, ekonomi, dan interaksi sosial. Generasi muda, terutama Generasi Z, mendapat bantuan dalam pertumbuhan dan perkembangan berkat penyebaran informasi yang cepat dari berbagai sumber. Mereka menggunakan media sosial lebih banyak daripada ruang kelas konvensional dan menggunakan layar lebih banyak daripada buku untuk belajar. Meskipun fenomena ini menawarkan banyak peluang untuk kemajuan, mereka juga menimbulkan banyak masalah. Salah satunya adalah menciptakan generasi yang tidak hanya memahami teknologi tetapi juga memahami digital secara kritis, moral, dan bertanggung jawab.

Peran guru dalam hal ini sangat penting. Guru sekarang lebih dari sekadar memberikan pengetahuan; mereka juga dapat membantu siswa memahami, mengolah, dan memanfaatkan pengetahuan secara bijak. Guru bukan hanya orang yang mengajarkan cara menggunakan teknologi; mereka juga mengajarkan prinsip, kemampuan berpikir kritis, dan etika komunikasi digital. Guru yang melek digital adalah guru yang dapat menghubungkan pendidikan modern dengan pengetahuan klasik.

Menjelang peringatan Hari Guru Nasional tahun 2025, peran guru menjadi semakin penting di tengah kemajuan teknologi yang pesat. Peringatan ini penting karena memberikan penghargaan kepada pendidik dan menekankan kembali betapa pentingnya bagi guru untuk beradaptasi dan berinovasi untuk mengatasi tantangan yang muncul di masa sekarang. Guru harus tidak tertinggal dan menjadi pelopor perubahan saat dunia bergerak menuju transformasi digital yang besar. Guru yang melek teknologi dapat menjadi guru yang luar biasa yang mengajarkan keterampilan teknis dan kesadaran digital seperti hoaks, cyberbullying, privasi data, dan etika bermedia sosial.

Guru juga harus menjadi role model digital bagi generasi muda. Dalam dunia maya yang sering kali kabur batas antara kebenaran dan manipulasi, sikap dan perilaku digital guru menjadi model pembelajaran yang nyata bagi siswa. Guru akan mengajarkan siswa bagaimana menggunakan teknologi untuk berkontribusi positif, berkarya, dan bekerja sama. Mereka akan menginternalisasi dan meniru prinsip-prinsip ini. Dengan demikian, literasi digital lebih dari sekedar keterampilan teknis; itu adalah proses yang mencakup pembangunan karakter dan kesadaran sosial yang mendalam.

Pada situasi seperti ini, guru memikul dua tanggung jawab utama, mengajar dengan keterampilan teknologi sekaligus membimbing peserta didik secara moral di dunia digital. Meskipun tugas ini sulit, menghasilkan Generasi Z yang bermoral, kritis, dan berempati sangat penting. Pada Hari Guru Nasional 2025, Anda dapat mengucapkan terima kasih kepada guru Anda dan mendorong mereka untuk meningkatkan literasi digital. Masa depan teknologi negara ini akan ditentukan oleh guru yang cerdas, jujur, dan berkompetisi di seluruh dunia.

Isi

Sebenarnya, kemajuan dalam teknologi digital telah membuka banyak pintu bagi sektor pendidikan. Saat ini, informasi dapat diakses dalam hitungan detik, pembelajaran dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun, dan kerja tim dapat dilakukan di mana pun di dunia. Namun, masalah baru muncul di balik kemudahan itu: banjir informasi tanpa filter, penyebaran hoaks, kurangnya kemampuan untuk berpikir kritis, dan ketergantungan pada media sosial. Generasi Z, yang tumbuh dalam lingkungan digital yang bebas, adalah yang paling rentan dan paling mungkin terkena dampak. Guru harus lebih dari sekedar menguasai teknologi; mereka juga harus menjadi pendidik digital yang menginspirasi, menginspirasi, dan memberi teladan dalam situasi seperti ini.

Guru yang melek digital sejatinya adalah guru yang lebih dari sekadar mahir menggunakan perangkat lunak atau aplikasi pembelajaran, mereka adalah guru yang memahami teknologi dan bagaimana ia dapat membantu siswa mereka (Ahmadi, 2017). Penggunaan dan perilaku adalah bagian dari literasi digital. Seorang guru yang memahami tanggung jawab digital akan mengajarkan siswanya untuk menghindari mengonsumsi apa pun yang ditemukan di internet tanpa memeriksa sumbernya, memahami konteksnya, dan menilai dampak sosialnya. Oleh karena itu, guru berperan sebagai penjaga nalar kritis dalam arus disinformasi yang kuat.

Sebaliknya, literasi digital menuntut guru untuk menanamkan prinsip empati dan tanggung jawab sosial dalam aktivitas online. Ruang digital sering menjadi tempat di mana perilaku berbahaya, perundungan siber, dan ujaran kebencian tumbuh (Anjani, 2024). Guru dapat bertindak sebagai contoh nyata dalam membangun budaya komunikasi yang baik dan menghargai perbedaan dalam situasi seperti ini. Guru dapat menumbuhkan kesadaran bahwa aktivitas digital meninggalkan efek moral melalui diskusi di kelas, proyek kolaboratif, atau refleksi media. Jika guru terus mengingatkan dan mencontohkan etika digital, mereka akan membantu siswa membentuk identitas digital yang positif dan berkarakter.

Melihat cara guru yang literat digital dapat mengubah cara siswa berpikir. Misalnya, sebagai pengajar Bahasa Indonesia di kelas, mengajarkan siswa bagaimana menulis artikel editorial. Membantu mereka memeriksa berita viral di media sosial dan membedakan antara opini dan fakta. Ia tidak melarang siswa untuk menggunakan teknologi. Sebaliknya, ia mendorong mereka untuk menggunakannya dengan cara yang baik, seperti mencari sumber yang dapat diandalkan, berbicara dengan cara yang sehat, dan menyebarkan informasi yang bermanfaat. Pengalaman itu menunjukkan bahwa proses belajar menjadi lebih penting ketika guru berfungsi sebagai pendamping digital yang cerdas daripada pengawas.

Selain itu, ada korelasi yang sangat kuat antara peran guru dalam literasi digital dan pembentukan karakter kebangsaan di era global (Nurjannah, 2022). Dunia digital terdiri dari budaya, ideologi, dan nilai-nilai yang berasal dari berbagai negara di seluruh dunia. Jika pendidik tidak bertindak sebagai penghalang budaya dan moral, generasi muda berisiko kehilangan identitasnya. Oleh karena itu, guru harus memiliki kemampuan untuk memasukkan nilai-nilai lokal, etika Pancasila, dan patriotisme ke dalam praktik literasi digital mereka. Ketika siswa diajarkan untuk berpikir global tetapi tetap nasional, literasi digital akan menjadi bukan hanya keterampilan tetapi juga fondasi moral bangsa di masa depan (Farid, 2023).

Penjelasan yang telah dipaparkan, jelas bahwa guru memikul dua tanggung jawab penting dalam literasi digital, yakni mencerdaskan peserta didik secara intelektual sekaligus membimbing mereka secara moral. Tugas ini sulit, tetapi sangat berguna. Di dunia yang semakin dikuasai oleh AI dan algoritma, guru yang manusiawi dan berpandangan kritis sangat penting. Guru bukan hanya pendidik; mereka adalah pendidik digital yang mengajarkan siswa bahwa teknologi hanyalah alat untuk memberikan nilai manusia, bukan penggantinya.

Penutup

Didasarkan pada uraian ini, dapat disimpulkan bahwa guru berperan strategis sebagai agen literasi digital dalam membangun karakter dan kesadaran kritis Generasi Z di era teknologi. Literasi digital tidak hanya mencakup kemampuan untuk terhubung ke internet atau menggunakan perangkat; itu juga mencakup kemampuan untuk berpikir kritis, bertanggung jawab, dan berperilaku secara moral dalam setiap aktivitas digital yang dilakukan. Guru yang baik di dunia virtual akan melahirkan generasi muda yang matang secara moral dan kognitif.

Teknologi tidak dapat dihentikan, tetapi ada cara untuk menggunakannya. Dalam situasi seperti ini, kehadiran guru berfungsi sebagai penanda di tengah aliran informasi yang sering menipu. Melalui sikap, keteladanan, dan inovasi pembelajaran, guru dapat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan di dunia digital yang kerap terasa dingin dan impersonal. Semua tindakan guru, baik di ruang maya maupun di kelas nyata, berkontribusi pada upaya mereka untuk membangun generasi yang tidak hanya melek teknologi tetapi juga melek moral.

Menjelang peringatan Hari Guru Nasional 2025, mari kita sadari bahwa menjadi guru di era digital bukanlah tugas yang mudah, namun tetap mungkin dijalani dengan semangat dan dedikasi. Dunia pendidikan Indonesia memiliki guru yang berani mengubah, belajar hal baru, dan tetap setia pada prinsip pendidikan sejati. Mereka telah menulis sejarah baru. Karena hati dan contoh guru tidak dapat diganti oleh teknologi untuk pembelajaran. Guru literat digital adalah pelita zaman karena mereka membantu generasi muda mempertahankan nilai dalam dunia yang serba digital.

Referensi

Ahmadi, F. (2017). Guru SD di era digital: pendekatan, media, inovasi. CV. Pilar Nusantara.

Anjani, V. A. (2024). Cyberbullying dan Dinamika Hukum di Indonesia: Paradoks Ruang Maya dalam Interaksi Sosial di Era Digital. Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan Dan Politik Islam, 4(1), 1–28.

Farid, A. (2023). Literasi digital sebagai jalan penguatan pendidikan karakter di era Society 5.0. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 6(3), 580–597.

Nurjannah, N. (2022). Tantangan pengembangan kurikulum dalam meningkatkan literasi digital serta pembentukan karakter peserta didik di Indonesia. Jurnal Basicedu, 6(4), 6844–6854.

 

Post a Comment

0 Comments