Ketika Guru Disejahterakan, Pendidikan Kita Naik Derajat

Suci Mustika Sari (20624019)

Etika Profesi Keguruan - A

Guru selalu menjadi sosok pertama yang terlintas ketika kita berbicara tentang pendidikan. Mereka bukan hanya menyampaikan materi atau mengoreksi tugas, tetapi menjadi pembimbing yang mengarahkan cara berpikir, membentuk karakter, dan mendampingi tumbuhnya generasi muda. Seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara, guru ideal bukan sekadar berdiri di depan kelas, tetapi juga hadir sebagai teladan, penyemangat, dan penguat bagi para siswanya. Pemikiran itu terasa sangat relevan ketika kita memasuki era digital yang bergerak begitu cepat. Hari Guru Nasional 2025 menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan sejauh mana bangsa ini benar-benar menghargai profesi yang begitu menentukan masa depan.

Dalam keseharian, kita sering melihat betapa beratnya pekerjaan guru. Mereka dituntut menguasai teknologi, menyesuaikan diri dengan karakter siswa yang semakin beragam, dan tetap kreatif di tengah segala keterbatasan. Ada guru yang pulang sore membawa setumpuk tugas, lalu begadang hingga larut hanya demi memastikan siswa-siswanya mendapatkan umpan balik yang layak. Ada pula yang memanfaatkan akhir pekan untuk belajar teknologi baru agar tidak tertinggal. Namun di balik ekspektasi yang tinggi itu, masih banyak guru yang tidak mendapatkan kesejahteraan memadai. Gaji yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tunjangan yang tidak merata, serta beban administrasi yang menumpuk membuat banyak guru bekerja dalam tekanan yang tidak kecil. Kondisi ini tentu memengaruhi motivasi dan kualitas pembelajaran.

Kesenjangan kesejahteraan guru juga masih terasa jelas antara daerah perkotaan dan pelosok. Di kota, fasilitas dan akses pelatihan lebih mudah dijangkau. Di desa atau wilayah terpencil, ada guru yang harus menempuh perjalanan panjang setiap hari, mengajar di sekolah dengan sarana minim, tetapi menerima penghasilan yang jauh di bawah layak. Laporan UNESCO pada 2023 kembali menegaskan bahwa kualitas pendidikan suatu negara sangat ditentukan oleh kondisi tenaga pendidiknya. Pernyataan ini seharusnya menjadi pengingat bahwa membiarkan guru bekerja dalam kondisi yang serba terbatas berarti membiarkan masa depan bangsa berjalan pincang.

Keterkaitan antara kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan sebenarnya sangat jelas. Guru yang merasa dihargai, didukung, dan diperlakukan layak akan lebih bersemangat dan lebih terbuka untuk berinovasi. Tilaar (2000) pernah menyebut bahwa mutu pendidikan tidak bisa dipisahkan dari mutu tenaga pendidiknya. Jika guru terus-menerus merasa tertekan oleh gaji yang tidak memadai atau beban kerja yang berlebihan, maka kreativitas dan motivasi mereka pasti terpengaruh. Sebaliknya, guru yang sejahtera cenderung lebih percaya diri, lebih sabar menghadapi siswa, dan lebih mampu menciptakan pembelajaran yang bermakna. Di sinilah pendidikan bermartabat menemukan pijakannya yaitu pada guru yang dimanusiakan.

Tantangan di era digital juga semakin menguji kesiapan guru. Tidak semua guru merasa nyaman dengan teknologi baru, dan tidak semua mendapatkan kesempatan untuk belajar menggunakannya. Ketika pelatihan kurang, fasilitas terbatas, dan tuntutan tetap tinggi, teknologi justru menjadi beban tambahan. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan guru tidak boleh dipahami sebatas angka gaji, tetapi juga dalam bentuk dukungan profesional yang membuat mereka merasa mampu mengikuti perkembangan zaman. Guru yang diberi ruang untuk belajar dan berkembang akan lebih mudah beradaptasi dan lebih siap menciptakan pengalaman belajar yang relevan bagi siswa.

Upaya meningkatkan kesejahteraan guru tentu membutuhkan kerja sama dari banyak pihak. Pemerintah perlu mengatur kebijakan gaji dan tunjangan yang benar-benar mencerminkan kebutuhan hidup dan kompleksitas pekerjaan guru. Peluang pengembangan kompetensi harus diperluas, mulai dari pelatihan teknologi hingga kesempatan studi lanjut, agar guru tidak hanya menjadi pelaksana kurikulum tetapi juga pemikir yang mampu memahami perubahan masyarakat. Sekolah juga perlu menciptakan lingkungan kerja yang lebih hangat dan suportif, sehingga guru tidak hanya merasa dituntut tetapi juga dihargai.

Sebagai mahasiswa yang masih sering bertemu dan belajar dari guru maupun dosen, saya melihat betul bagaimana mereka tetap berusaha memberi yang terbaik meskipun dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Ada guru yang setiap pagi berangkat lebih awal karena jarak rumah dan sekolah begitu jauh. Ada pula guru honorer yang tetap konsisten mengajar dengan penuh cinta meski penghasilan mereka tidak sebanding dengan upaya yang mereka berikan. Pengalaman-pengalaman ini membuat saya menyadari bahwa kesejahteraan seorang guru bukan hanya soal materi, tetapi juga soal rasa dihargai dan ditempatkan pada posisi yang layak. Ungkapan “pahlawan tanpa tanda jasa” rasanya tidak lagi cukup jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang benar-benar tidak berpihak kepada mereka.

Hari Guru Nasional 2025 seharusnya menjadi pengingat bahwa guru tidak boleh terus-menerus dibebani harapan besar tanpa dukungan yang memadai. Jika ingin pendidikan Indonesia bergerak naik derajat, yang pertama kali harus kita lakukan adalah memastikan bahwa guru hidup dengan layak, dihargai secara profesional, dan didukung dalam perkembangan kompetensinya. Ketika guru merasa kuat, tenang, dan sejahtera, maka anak-anak bangsa akan menerima pendidikan yang terbaik. Pendidikan yang bermartabat lahir dari hati yang tenang, dan hati yang tenang hanya dimiliki oleh mereka yang tidak lagi terbebani persoalan dasar kesejahteraan.

Pada akhirnya, menghargai guru berarti menghargai peradaban. Masa depan Indonesia ada di tangan mereka, dan sudah saatnya kita menempatkan mereka pada posisi yang pantas. Dengan memberikan kesejahteraan yang menyeluruh, kita bukan hanya menolong guru, tetapi sedang membangun fondasi bangsa untuk menjadi lebih bermartabat. Pendidikan yang baik selalu berawal dari guru yang sejahtera. Jika kita mendukung mereka, maka kita sedang mempersiapkan generasi masa depan untuk tumbuh sebagai warga negara yang cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi dunia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Indayanti, I., & Mutia, M. (2018). Konsep Pembelajaran Berbasis Sistem Among Dalam Penanaman Pendidikan Karakter Siswa (Telaah Pemikiran Ki Hajar Dewantara) (Doctoral dissertation, IAIN CURUP).

Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurhayati, S., dkk. (2025). Paradigma Baru dalam Pendidikan Abad 21. PT. Green Pustaka Indonesia.

 

 

Post a Comment

0 Comments