Disusun Oleh: Nadia Risqi Sabita (20624022) Kelas: A
A.
PENDAHULUAN
Di era digital dimana semua informasi tersebar dengan cepat, kini media
sosial menjadi ruang yang sulit dipisahkan dari dunia manusia termasuk peserta
didik. Informasi dari berbagai sumber mengalir deras hanya dalam hitungan detik. Media
sosial ibarat mata pisau yang tajam, bisa bermanfaat tetapi juga bisa
menjerumuskan. Di satu sisi media sosial membuka kesempatan belajar yang luas,
tetapi di sisi lain ia membawa tantangan besar berupa misinformasi, perundungan
siber, penurunan kemampuan fokus, serta polarisasi sosial yang semakin tajam.
Seperti yang dikatakan Dedi Rianto Rahadi bahwa informasi hoax yang
kerap menyebar ke generasi milenial biasanya dalam bentuk misinformation atau
yang bisa disebut informasi yang salah dan tidak akurat. Di tengah situasi ini, guru menjadi sosok sentral yang diharapkan mampu
membimbing peserta didik agar bijak, selektif, dan bertanggung jawab dalam
menggunakan media sosial
Namun, peran ini tidak sederhana. Anggapan bahwa guru mampu mengendalikan
seluruh dampak media sosial adalah asumsi yang kurang realistis. Pengaruh media
sosial dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yaitu lingkungan keluarga,
teman sebaya, algoritma platform, serta kondisi psikologis peserta didik. Maka,
peran guru bukan mengendalikan sepenuhnya, tetapi membangun ketahanan berpikir
yang membuat peserta didik mampu menghadapi arus informasi dengan bijaksana.
Dengan cara inilah peran guru menjadi signifikan dalam menangkal dampak negatif
media sosial.
B.
ISI
Media sosial tentu bermanfaat dan sangat memudahkan pekerjaan peserta didik.
Selain bermanfaat, media sosial tentu memberikan dampak negatif yang lumayan
luas bagi peserta didik dari berbagai aspek. Diantaranya ada aspek kognitif,
psikologis, moral dan keagamaan dan lain sebagainya. Pada aspek kognitif,
paparan informasi yang instan membuat rentang perhatian semakin pendek dan
kemampuan berpikir mendalam menjadi menurun. Peserta didik terbiasa mengonsumsi
konten singkat sehingga enggan membaca materi panjang dan bias konfirmasi
semakin kuat dimana peserta didik cenderung mempercayai informasi yang sejalan
dengan pendapat mereka tanpa memeriksa kebenarannya
Dari aspek psikologis, peserta didik bisa saja terpapar budaya perbandingan
diri. Fitur likes, followers, dan konten seperti konten hidup
“sempurna” yang ditampilkan influencer dapat menurunkan kepercayaan diri dan
memunculkan kecemasan sosial. Perundungan siber juga menjadi ancaman serius
yang dapat mengganggu stabilitas emosi. Penggunaan
media sosial secara terus-menerus biasanya dikaitkan dengan peningkatan gejala
depresi dan kecemasan pada remaja. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya perbandingan sosial dan cyberbullying
Pada aspek moral dan keagamaan, media sosial dapat menjadi ruang penyebaran
ujaran kebencian, fitnah, hingga paham keagamaan ekstrem. Selain itu, banyak
peserta didik yang mengonsumsi konten keagamaan dari sumber tidak kredibel
tanpa bimbingan guru. Padahal Islam mengajarkan agar memeriksa setiap informasi
dengan teliti seperti yang telah difirmankan oleh Allah Swt., “Jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti…” (QS.
Al-Hujurat : 6).
Di sisi interaksi sosial, media sosial kadang membuat peserta didik lebih
nyaman berkomunikasi secara daring dibandingkan secara langsung. Hal ini
berpengaruh pada kemampuan empati, penyelesaian konflik, dan hubungan
antarteman. Hal ini menyebabkan peserta didik kurang dalam bersosialisasi
dengan teman maupun lingkungan. Dampak negatif dari media sosial
yang biasa terjadi diantaranya adalah menjadikan jauh orang-orang yang dekat
dan sebaliknya yaitu media sosial juga bisa mendekatkan orang yang jauh menjadi
dekat. Menjadikan interaksi secara tatap muka cenderung menurun, membuat
orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet, menimbulkan konflik, masalah
privasi, rentan terhadap pengaruh buruk orang lain
Guru memiliki peran penting karena mereka berinteraksi langsung dengan
peserta didik setiap hari. Guru memahami perubahan perilaku, emosi, dan pola
pikir peserta didik lebih cepat daripada orang lain. Selain itu, guru berada
dalam posisi untuk menanamkan nilai, membangun cara berpikir kritis, dan
membimbing peserta didik menghadapi fenomena digital dengan seimbang.
Namun, guru bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Pengaruh media
sosial jauh lebih besar. Karena itu peran guru harus realistis, bukan untuk mengendalikan,
melainkan membentuk karakter dan literasi yang memungkinkan peserta didik
menghadapi dunia digital dengan lebih bijak
1. Meningkatkan Literasi Digital Kritis
Guru perlu mengajarkan peserta didik cara:
·
Mengidentifikasi sumber
yang kredibel
·
Membedakan fakta dan
opini
·
Memahami bias algoritma
·
Mengevaluasi framing
dalam konten
Ini sejalan dengan konsep critical digital literacy yang menekankan
kemampuan menilai informasi sebelum mempercayai dan menyebarkannya (Ahmad,
2021) . Dalam perspektif Islam, prinsip tabayyun juga menjadi dasar
penting literasi digital.
2. Menjadi Teladan Etika Digital
Guru harus menunjukkan perilaku bermedia sosial yang baik:
·
Tidak menyebarkan hoaks
·
Berkomentar secara
santun
·
Memilih konten positif
·
Menghargai privasi
orang lain
Keteladanan ini penting karena peserta didik belajar tidak hanya dari
ucapan, tetapi juga dari perilaku pendidiknya. Nabi Muhammad ï·º bersabda, “Sebaik-baik kalian
adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad). Guru yang
bermanfaat di dunia digital adalah guru yang menjaga integritas dan adab dalam
setiap unggahan dan interaksi.
3. Menciptakan Ruang Diskusi yang Aman
Banyak peserta didik menyimpan kebingungan tentang konten yang mereka temui
di media sosial. Guru perlu menyediakan ruang diskusi yang aman agar peserta
didik berani bertanya:
·
Mengapa berita tertentu
viral?
·
Mengapa ada konflik di
media sosial?
·
Apakah konten keagamaan
tertentu dapat dipercaya?
Guru berperan sebagai fasilitator dialog, bukan penghakim. Dengan cara ini,
peserta didik belajar berpikir kritis sekaligus menghargai perbedaan pandangan
4. Mengintegrasikan Nilai Moderasi Beragama
Guru dapat menanamkan nilai:
·
Keseimbangan
·
Keadilan
·
Menghindari sikap
berlebihan (ghuluw)
·
Menghargai perbedaan
Nilai moderasi ini penting karena media sosial sering memperuncing
polarisasi. Guru dapat memasukkan ayat seperti QS. Al-Baqarah:143
tentang umat pertengahan untuk menguatkan pemahaman peserta didik bahwa Islam
menghendaki sikap yang adil dan tidak ekstrem.
5. Berkolaborasi dengan Orang Tua
Guru tidak mungkin bekerja sendirian. Kolaborasi guru–orang tua dibutuhkan
untuk:
·
Mengatur durasi
penggunaan gawai
·
Mengawasi konten yang
dikonsumsi
·
Memberi edukasi sejak
dini tentang etika digital
·
Menyatukan aturan
sekolah dan rumah
Kerja sama ini membuat upaya pencegahan lebih efektif
Beberapa upaya itu dilakukan guna membentengi dari tantangan-tantangan
dalam media sosial. Beberapa tantangan yang sering muncul sebagai
berikut:
1.
Tidak semua guru
memiliki literasi digital memadai
2.
Kurangnya pelatihan
tentang moderasi dan etika digital
3.
Peserta didik sering
lebih percaya influencer daripada guru
4.
Sekolah belum
menyediakan ruang khusus untuk pendidikan digital
5.
Guru sendiri kadang
terjebak polarisasi di media sosial
Mengakui tantangan ini bukan melemahkan peran guru, tetapi memperjelas
strategi yang perlu dibangun agar peran guru lebih efektif.
C.
PENUTUP
Media sosial tidak akan berhenti berkembang, tetapi pola pikir peserta
didik dapat dibentuk untuk menghadapi perkembangan itu dengan bijaksana. Peran
guru bukan untuk mematikan pengaruh media sosial, tetapi untuk menyalakan
kesadaran, kecerdasan, dan ketahanan berpikir. Guru yang mampu menuntun peserta
didik memahami dampak digital, bersikap santun, dan mengedepankan nilai
moderasi beragama adalah guru yang benar-benar mencerdaskan bangsa.
Di tengah riuh rendah dunia digital, guru adalah suara yang menenangkan yang mengajarkan bahwa kebijaksanaan lebih berharga daripada viralitas, dan kebenaran lebih mulia daripada popularitas. Melalui guru yang moderat, kritis, dan bijak, generasi muda Indonesia akan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, berkarakter, dan beriman. Dengan demikian, hadirnya guru menjadi benteng penting dalam menangkal dampak negatif media sosial dan menjaga martabat bangsa.
Daftar Pustaka
Ahmad, Amar & Nurhidaya. (2020). Media Sosial dan Tantangan
Masa Depan Generasi Milenial. AVANT GARDE: Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(2),
134-148.
Ahmad, M. (2021). Literasi Digital dalam Pendidikan Islam. Bandung:
Alfabeta.
Areefa Aliya Firdausi.
(2024). Pengaruh Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental Remaja. Diakses pada 17
November 2025 dari https://psikologi.unair.ac.id/pengaruh-media-sosial-terhadap-kesehatan-mental-remaja/?utm
Hasan, M. (2022). “Konsep Wasathiyyah dalam Pendidikan Islam.” Jurnal
Al-Tarbiyah, 11(2), 120–134.
Marzuki, I. (2022). “Integrasi Moderasi Beragama dalam Kurikulum
Pendidikan.” Jurnal Tarbiyah dan Keguruan Islam, 9(1), 50–62.
Nurul Fatmawati. (2021). Pengaruh Positif dan Negatif Media Sosial Terhadap
Masyarakat. Diakses pada 17 November 2025 dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-semarang/baca-artikel/14366/pengaruh-positif-dan-negatif-media-sosial-terhadap-masyarakat.html
Kementerian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Kemenag
RI.
QS. Al-Baqarah:143.
Rahman, M. (2020). “Peran Guru dalam Meningkatkan Literasi Digital Siswa.” Jurnal
Teknodik, 24(2), 87–99.
0 Comments