MEMBANGUN KETAHANAN BERPIKIR: PERAN GURU DALAM MENANGKAL DAMPAK NEGATIF MEDIA SOSIAL

Disusun Oleh: Nadia Risqi Sabita (20624022) Kelas: A

A.    PENDAHULUAN

Di era digital dimana semua informasi tersebar dengan cepat, kini media sosial menjadi ruang yang sulit dipisahkan dari dunia manusia termasuk peserta didik. Informasi dari berbagai sumber mengalir deras hanya dalam hitungan detik. Media sosial ibarat mata pisau yang tajam, bisa bermanfaat tetapi juga bisa menjerumuskan. Di satu sisi media sosial membuka kesempatan belajar yang luas, tetapi di sisi lain ia membawa tantangan besar berupa misinformasi, perundungan siber, penurunan kemampuan fokus, serta polarisasi sosial yang semakin tajam.

Seperti yang dikatakan Dedi Rianto Rahadi bahwa informasi hoax yang kerap menyebar ke generasi milenial biasanya dalam bentuk misinformation atau yang bisa disebut informasi yang salah dan tidak akurat. Di tengah situasi ini, guru menjadi sosok sentral yang diharapkan mampu membimbing peserta didik agar bijak, selektif, dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial (Ahmad, 2020).

Namun, peran ini tidak sederhana. Anggapan bahwa guru mampu mengendalikan seluruh dampak media sosial adalah asumsi yang kurang realistis. Pengaruh media sosial dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yaitu lingkungan keluarga, teman sebaya, algoritma platform, serta kondisi psikologis peserta didik. Maka, peran guru bukan mengendalikan sepenuhnya, tetapi membangun ketahanan berpikir yang membuat peserta didik mampu menghadapi arus informasi dengan bijaksana. Dengan cara inilah peran guru menjadi signifikan dalam menangkal dampak negatif media sosial.

 

B.     ISI

Media sosial tentu bermanfaat dan sangat memudahkan pekerjaan peserta didik. Selain bermanfaat, media sosial tentu memberikan dampak negatif yang lumayan luas bagi peserta didik dari berbagai aspek. Diantaranya ada aspek kognitif, psikologis, moral dan keagamaan dan lain sebagainya. Pada aspek kognitif, paparan informasi yang instan membuat rentang perhatian semakin pendek dan kemampuan berpikir mendalam menjadi menurun. Peserta didik terbiasa mengonsumsi konten singkat sehingga enggan membaca materi panjang dan bias konfirmasi semakin kuat dimana peserta didik cenderung mempercayai informasi yang sejalan dengan pendapat mereka tanpa memeriksa kebenarannya (Rahman, 2020).

Dari aspek psikologis, peserta didik bisa saja terpapar budaya perbandingan diri. Fitur likes, followers, dan konten seperti konten hidup “sempurna” yang ditampilkan influencer dapat menurunkan kepercayaan diri dan memunculkan kecemasan sosial. Perundungan siber juga menjadi ancaman serius yang dapat mengganggu stabilitas emosi. Penggunaan media sosial secara terus-menerus biasanya dikaitkan dengan peningkatan gejala depresi dan kecemasan pada remaja. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya perbandingan sosial dan cyberbullying (Firdausi, 2024).

Pada aspek moral dan keagamaan, media sosial dapat menjadi ruang penyebaran ujaran kebencian, fitnah, hingga paham keagamaan ekstrem. Selain itu, banyak peserta didik yang mengonsumsi konten keagamaan dari sumber tidak kredibel tanpa bimbingan guru. Padahal Islam mengajarkan agar memeriksa setiap informasi dengan teliti seperti yang telah difirmankan oleh Allah Swt., “Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat : 6).

Di sisi interaksi sosial, media sosial kadang membuat peserta didik lebih nyaman berkomunikasi secara daring dibandingkan secara langsung. Hal ini berpengaruh pada kemampuan empati, penyelesaian konflik, dan hubungan antarteman. Hal ini menyebabkan peserta didik kurang dalam bersosialisasi dengan teman maupun lingkungan. Dampak negatif dari media sosial yang biasa terjadi diantaranya adalah menjadikan jauh orang-orang yang dekat dan sebaliknya yaitu media sosial juga bisa mendekatkan orang yang jauh menjadi dekat. Menjadikan interaksi secara tatap muka cenderung menurun, membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet, menimbulkan konflik, masalah privasi, rentan terhadap pengaruh buruk orang lain (Fatmawati, 2021). Beragam dampak tersebut menunjukkan bahwa masalah media sosial bukan persoalan sederhana. Karena itu, peran guru harus bersifat strategis dan edukatif, bukan sekadar membatasi atau melarang penggunaan media sosial.

Guru memiliki peran penting karena mereka berinteraksi langsung dengan peserta didik setiap hari. Guru memahami perubahan perilaku, emosi, dan pola pikir peserta didik lebih cepat daripada orang lain. Selain itu, guru berada dalam posisi untuk menanamkan nilai, membangun cara berpikir kritis, dan membimbing peserta didik menghadapi fenomena digital dengan seimbang.

Namun, guru bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Pengaruh media sosial jauh lebih besar. Karena itu peran guru harus realistis, bukan untuk mengendalikan, melainkan membentuk karakter dan literasi yang memungkinkan peserta didik menghadapi dunia digital dengan lebih bijak (Kemenag, 2019).

1. Meningkatkan Literasi Digital Kritis

Guru perlu mengajarkan peserta didik cara:

·         Mengidentifikasi sumber yang kredibel

·         Membedakan fakta dan opini

·         Memahami bias algoritma

·         Mengevaluasi framing dalam konten

Ini sejalan dengan konsep critical digital literacy yang menekankan kemampuan menilai informasi sebelum mempercayai dan menyebarkannya (Ahmad, 2021) . Dalam perspektif Islam, prinsip tabayyun juga menjadi dasar penting literasi digital.

2. Menjadi Teladan Etika Digital

Guru harus menunjukkan perilaku bermedia sosial yang baik:

·         Tidak menyebarkan hoaks

·         Berkomentar secara santun

·         Memilih konten positif

·         Menghargai privasi orang lain

Keteladanan ini penting karena peserta didik belajar tidak hanya dari ucapan, tetapi juga dari perilaku pendidiknya. Nabi Muhammad ï·º bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad). Guru yang bermanfaat di dunia digital adalah guru yang menjaga integritas dan adab dalam setiap unggahan dan interaksi.

3. Menciptakan Ruang Diskusi yang Aman

Banyak peserta didik menyimpan kebingungan tentang konten yang mereka temui di media sosial. Guru perlu menyediakan ruang diskusi yang aman agar peserta didik berani bertanya:

·    Mengapa berita tertentu viral?

·    Mengapa ada konflik di media sosial?

·    Apakah konten keagamaan tertentu dapat dipercaya?

Guru berperan sebagai fasilitator dialog, bukan penghakim. Dengan cara ini, peserta didik belajar berpikir kritis sekaligus menghargai perbedaan pandangan  (Hasan, 2022).

4. Mengintegrasikan Nilai Moderasi Beragama

Guru dapat menanamkan nilai:

·         Keseimbangan

·         Keadilan

·         Menghindari sikap berlebihan (ghuluw)

·         Menghargai perbedaan

Nilai moderasi ini penting karena media sosial sering memperuncing polarisasi. Guru dapat memasukkan ayat seperti QS. Al-Baqarah:143 tentang umat pertengahan untuk menguatkan pemahaman peserta didik bahwa Islam menghendaki sikap yang adil dan tidak ekstrem.

5. Berkolaborasi dengan Orang Tua

Guru tidak mungkin bekerja sendirian. Kolaborasi guru–orang tua dibutuhkan untuk:

·         Mengatur durasi penggunaan gawai

·         Mengawasi konten yang dikonsumsi

·         Memberi edukasi sejak dini tentang etika digital

·         Menyatukan aturan sekolah dan rumah

Kerja sama ini membuat upaya pencegahan lebih efektif (Marzuki, 2022).

Beberapa upaya itu dilakukan guna membentengi dari tantangan-tantangan dalam media sosial. Beberapa tantangan yang sering muncul sebagai berikut:

1.       Tidak semua guru memiliki literasi digital memadai

2.       Kurangnya pelatihan tentang moderasi dan etika digital

3.       Peserta didik sering lebih percaya influencer daripada guru

4.       Sekolah belum menyediakan ruang khusus untuk pendidikan digital

5.       Guru sendiri kadang terjebak polarisasi di media sosial

Mengakui tantangan ini bukan melemahkan peran guru, tetapi memperjelas strategi yang perlu dibangun agar peran guru lebih efektif.

 

C.    PENUTUP

Media sosial tidak akan berhenti berkembang, tetapi pola pikir peserta didik dapat dibentuk untuk menghadapi perkembangan itu dengan bijaksana. Peran guru bukan untuk mematikan pengaruh media sosial, tetapi untuk menyalakan kesadaran, kecerdasan, dan ketahanan berpikir. Guru yang mampu menuntun peserta didik memahami dampak digital, bersikap santun, dan mengedepankan nilai moderasi beragama adalah guru yang benar-benar mencerdaskan bangsa.

Di tengah riuh rendah dunia digital, guru adalah suara yang menenangkan yang mengajarkan bahwa kebijaksanaan lebih berharga daripada viralitas, dan kebenaran lebih mulia daripada popularitas. Melalui guru yang moderat, kritis, dan bijak, generasi muda Indonesia akan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, berkarakter, dan beriman. Dengan demikian, hadirnya guru menjadi benteng penting dalam menangkal dampak negatif media sosial dan menjaga martabat bangsa.

 

Daftar Pustaka

Ahmad, Amar & Nurhidaya. (2020). Media Sosial dan Tantangan Masa Depan Generasi Milenial. AVANT GARDE: Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(2), 134-148.

Ahmad, M. (2021). Literasi Digital dalam Pendidikan Islam. Bandung: Alfabeta.

Areefa Aliya Firdausi. (2024). Pengaruh Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental Remaja. Diakses pada 17 November 2025 dari https://psikologi.unair.ac.id/pengaruh-media-sosial-terhadap-kesehatan-mental-remaja/?utm

Hasan, M. (2022). “Konsep Wasathiyyah dalam Pendidikan Islam.” Jurnal Al-Tarbiyah, 11(2), 120–134.

Marzuki, I. (2022). “Integrasi Moderasi Beragama dalam Kurikulum Pendidikan.” Jurnal Tarbiyah dan Keguruan Islam, 9(1), 50–62.

Nurul Fatmawati. (2021). Pengaruh Positif dan Negatif Media Sosial Terhadap Masyarakat. Diakses pada 17 November 2025 dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-semarang/baca-artikel/14366/pengaruh-positif-dan-negatif-media-sosial-terhadap-masyarakat.html

Kementerian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Kemenag RI.

QS. Al-Baqarah:143.

Rahman, M. (2020). “Peran Guru dalam Meningkatkan Literasi Digital Siswa.” Jurnal Teknodik, 24(2), 87–99.

Post a Comment

0 Comments