Peran Guru dalam Membentuk Generasi Kritis dan Bijak Bermedia Sosial

AULIA AFRIANA RAHMI_20624025

Etika Profesi Keguruan B

 

PENDAHULUAN

Media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan generasi muda di tengah derasnya arus transformasi digital. Beberapa situs dalam media sosial tidak hanya berfungsi sebagai platform komunikasi tetapi juga tempat untuk membangun identitas dan opini publik. Namun sayangnya, kemudahan akses informasi ini tidak selalu diimbangi dalam menyaring konten. Hoaks, ujaran kebencian, budaya instan, dan distorsi realitas melalui konten viral kini mengancam kematangan berpikir peserta didik. Dalam situasi seperti ini, peran guru sangat penting, bukan hanya sebagai pendidik di kelas tetapi juga sebagai pembimbing moral dan arsitek literasi digital.  

Dalam posisinya sebagai agent of change, guru memiliki otoritas pedagogis dan keyakinan emosional yang memungkinkannya bersikap kritis dan bijak dalam bermedia. "Guru tidak lagi hanya mentransfer pengetahuan, tetapi harus menjadi fasilitator dalam membangun kesadaran kritis terhadap realitas digital," kata Hobussalam et al. (2022). Pernyataan ini terkait dengan prinsip pendidikan abad ke-21 yang menekankan keterampilan berpikir kritis (critical thinking), literasi media, dan tanggung jawab digital.

Dalam hal ini, peran strategis yang dapat dimainkan guru dalam membentuk generasi yang tidak hanya akrab dengan teknologi tetapi juga mampu menggunakan media sosial dengan cara yang bijak, kritis, dan moral. Sebab, seperti yang dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” memberi teladan di depan, menumbuhkan semangat di tengah, dan memberi inspirasi dari belakang. Perilaku contoh di era teknologi saat ini tidak hanya dapat ditemukan dalam perilaku nyata, tetapi juga dapat ditemukan dalam jejak digital yang penuh tanggung jawab.

 

ISI

Kehadiran media sosial dalam kehidupan siswa bukan sekedar perkembangan teknologi, melainkan tranformasi sosial-budaya yang mengubah cara mereka berpikir, berinteraksi, dan memaknai dunia. Literasi digital, yang mencakup kemampuan untuk mengakses, menilai, membuat, dan berperilaku etis dengan media digital, sayangnya belum sepenuhnya menjadi komponen penting dari kurikulum di negara ini. Akibatnya, banyak siswa menjadi korban eksploitasi naratif digital, yang mencakup body shaming, tren berbahaya, dan radikalisasi daring yang terselubung dalam konten hiburan.

Studi oleh Hobussalam dkk. (2022) menunjukkan bahwa guru sering kali merasa tidak siap menghadapi tantangan ini karena minimnya pelatihan pedagogis tentang literasi media. Meskipun demikian, ini adalah titik penting bagi profesi keguruan di abad ke-21, bukan hanya mengajarkan "apa yang benar" tetapi juga mengajarkan siswa untuk mempertanyakan alasan mengapa suatu hal dianggap benar. Pendekatan pembelajaran berbasis kritis (critical pedagogy), yang diusulkan oleh Paulo Freire, sangat penting dalam konteks ini. Freire (1996, dikutip oleh Supriyanto, 2021) mengatakan bahwa pendidikan sejati adalah proses dialogis yang membebaskan siswa dari "kesadaran magis" terhadap realitas sosial dan digital.

Guru harus membuat lingkungan belajar yang memungkinkan siswa menggunakan media sosial secara kritis daripada melarang atau menghukumnya. Hal ini bisa dimulai dengan hal yang mudah, mengintegrasikan  analisis konten media sosial ke dalam pendidikan lintas mata pelajaran. Misalnya, siswa dapat diajak mengkritik narasi hoaks atau bias gender dalam caption influencer di kelas Bahasa Indonesia, atau Guru dapat memfasilitasi diskusi etika digital dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Selain itu, sekolah harus mendorong guru untuk membangun "kurikulum tersembunyi digital", yaitu nilai-nilai yang secara konsisten terintegrasi dalam sikap, respons, dan praktik sehari-hari.

Meskipun demikian, idealisme ini sering bertentangan dengan realitas. Banyak guru terutama di daerah terpencil, masih menghadapi tantangan karena keterbatasan infrastruktur digital, tantangan administratif, dan kekurangan dukungan kebijakan. Sebaliknya, keterampilan afektif dan keterampilan abad ke-21 seperti literasi media, sering kali menjadi "lapisan tambahan" yang dapat dipilih karena tekanan untuk mencapai tujuan kognitif.

Pengalaman lapangan di salah satu sekolah menengah di Yogyakarta (2024) menunjukkan bahwa ketika guru diberi kesempatan untuk bereksperimen misalnya, memberikan siswa kesempatan untuk berpikir tentang jejak digital mereka selama seminggu, kesadaran diri dan empati digital siswa meningkat. "Apakah unggahan ini membantu atau justru menyakiti orang lain?" tanya siswa. Pertanyaan sederhana ini menunjukkan bahwa pendidikan berbasis nilai tetap dapat menembus suara algoritma.

Kisah-kisah inspiratif guru yang memanfaatkan media sosial untuk kebaikan muncul di tengah kekhawatiran tentang efek negatif media sosial. Salah satu contohnya adalah seorang guru SMP di Bandung, yang membuat konten di TikTok yang mengajarkan etika komentar online dan pemeriksaan kebenaran. Tidak menggurui dalam videonya yang viral, ia bertanya kepada siswanya, "Kalau kamu jadi korban bully di kolom komentar, gimana perasaanmu?" Metode humanis ini justru menanamkan empati digital lebih baik daripada larangan ketat.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa sebagai penjaga moral, guru tidak harus anti-teknologi. Guru dapat berfungsi sebagai jembatan antara dinamika teknologi dan nilai kemanusiaan dengan memasuki "dunia siswa" ruang digital. "Literasi digital bukan soal menguasai alat, tapi memanusiakan penggunaannya," kata Putri dan Wijaya (2023).

 

PENUTUP

Kesimpulannya, menciptakan generasi yang bijak melalui penggunaan media sosial adalah tugas penting di era informasi. Ia membutuhkan komitmen dari semua pihak, termasuk guru yang terus belajar, sekolah yang berani berinovasi, kebijakan yang mendukung literasi digital sebagai bagian dari kurikulum, dan keluarga yang memiliki pendekatan edukatif yang selaras. Namun, semua itu berpusat pada sosok utama guru yang dengan kesabaran dan keteladanan mampu mengajukan pertanyaan paling revolusioner di era digital, "Untuk apa aku membagikan ini?" Apa yang terjadi pada orang lain?”

Pada peringatan Hari Guru Nasional 2025, mari kita rayakan guru-guru yang tidak hanya mengajar tetapi juga melindungi masa depan generasi muda dari kehampaan makna di balik layar yang berkilau. Mereka melindungi akal sehat, mengajarkan empati, dan menenun nilai dalam kekacauan cerita digital. Semangat "Tut Wuri Handayani" semoga tetap hidup di halaman sekolah dan di setiap unggahan, komentar, dan karya digital yang dibuat oleh siswa muda mereka.

 

DAFTAR PUSTAKA

APJII. (2024). Survei Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2024. Asosiasi Penyelenggara JasaInternet Indonesia. https://apjii.or.id/content/read/55/252/Survei-Penetrasi-dan-Perilaku-Pengguna-Internet-Indonesia-2024

Hobussalam, H., Suryaman, M., & Fauzi, A. (2022). Teacher’s Role in Developing Students’ Critical Digital Literacy in the Post-Truth Era. International Journal of Instruction, 15(3), 589–606. https://doi.org/10.29333/iji.2022.15336a

Putri, R. A., & Wijaya, T. T. (2023). Digital Literacy and Misinformation Resilience Among Indonesian Adolescents. Jurnal Ilmu Komunikasi, 21(2), 145–160. https://doi.org/10.24198/jik.v21i2.42511

Supriyanto, A. (2021). Relevansi Pemikiran Paulo Freire dalam Pendidikan Kritis di Era Digital. Jurnal Pendidikan Humaniora, 9(2), 112–123. https://doi.org/10.21831/jph.v9i2.14520

 

 

 

 

Post a Comment

0 Comments