Nama : Naila Indah Nurani
Nim : 20325014
Kelas : PGMI A
Nasionalisme bukan hanya warisan sejarah,
melainkan fondasi moral yang harus terus diperbarui, dan gurulah yang menjadi
arsitek utamanya di tengah arus deras globalisasi.
Dunia kini semakin terhubung satu sama
lain. Orang bisa semakin mudah berinteraksi dengan siapa saja dan dari mana
saja, mulai dari berkomunikasi hingga bertransaksi melalui internet. Hal ini
pastinya membawa banyak keuntungan, seperti pertukaran informasi hingga pertukaran
barang yang lebih cepat. Tetapi di balik keuntungan-keuntungan itu, juga ada beberapa
risiko besar di baliknya, salah satunya yaitu nilai-nilai lokal bisa semakin tergerus
akibat masuknya pengaruh asing. Anak muda lebih sering mengikuti tren dari luar
negeri daripada melestarikan budaya lokal. Jika hal ini dibiarkan secara terus
menerus, nilai nasionalisme akan semakin terancam.
Melihat fenomena ini, peran guru sangat
dibutuhkan. Bukan hanya sebagai seorang pendidik yang mengajarkan mata
pelajaran di sekolah, tetapi juga pembentuk karakter siswa. Para guru
menanamkan nilai-nilai nasionalisme melalui perilaku sederhana dalam kehidupan sehari-hari,
seperti menceritakan kisah sejarah, mengajak siswa mengikuti upacara bendera, atau
mengenalkan tokoh-tokoh nasional melalui diskusi kelas. Guru ibarat pahlawan
yang berjuang untuk mencerdaskan generasi bangsa. Oleh karena itu, tanggal 25
November diperingati sebagai Hari Guru Nasional untuk menghargai dan
menghormati jasa para guru di Indonesia.
Di tengah arus globalisasi yang semakin
pesat yang membawa masuk pengaruh budaya, gaya hidup, dan pandangan hidup dari
luar, yang menyebabkan rasa kebangsaan melemah terutama di kalangan generasi muda
yang lebih mengenal teknologi digital yang serba cepat, guru menjadi sosok
penting yang bertanggung jawab atas pembentukan karakter melalui proses
pembelajaran yang bermakna. Nasionalisme bukanlah sesuatu yang bisa ditanamkan
hanya dengan menghafalkan sila-sila Pancasila atau menyanyikan lagu Indonesia Raya
saat upacara bendera saja. Nasionalisme adalah sikap yang tumbuh melalui
pemahaman mendalam tentang sejarah perjuangan, penghargaan terhadap
keberagaman, dan komitmen untuk berkontribusi demi kesejahteraan bersama. Guru
merupakan sosok yang dekat dengan siswa dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari
saat di ruang kelas hingga saat interaksi singkat selama istirahat, sehingga
guru memiliki kesempatan emas untuk menanamkan nilai-nilai cinta tanah air
melalui dialog, contoh, dan pengalaman yang berkaitan dengan kehidupan siswa. Tanpa
langkah nyata seorang guru yang sadar akan tanggung jawabnya nilai- nilai
nasionalisme terancam hilang oleh budaya global yang mengutamakan individualisme.
Langkah nyata seorang guru dapat terlihat
dalam proses pengajaran yang menyatukan nilai kebangsaan ke dalam kurikulum
pembelajaran maupun kehidupan sehari - hari. Keberagaman merupakan sebuah
kekuatan bagi bangsa Indonesia, lebih dari 1.300 suku, 700 bahasa daerah, dan 6
agama serta kepercayaan, hidup yang beriringan secara damai. Nasionalisme bukan
berarti memaksa keseragaman, melainkan menjadikan perbedaan menjadi keindahan.
Globalisasi bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi kita harus lebih bijak dalam
memilah apa yang diambil dan apa yang harus tetap kita jaga. Guru memiliki
peran penting untuk membantu siswa memahami bahwa kita boleh meniru hal baik
dari luar tetapi jangan sampai melupakan jati diri kita. Sebagai contohnya,
saat salah satu siswa gemar menonton drama korea, guru mengajak siswa
berdiskusi bahwa “kita menyukai budaya mereka karena mereka bangga dengan
tradisi mereka. Sedangkan kita pastinya juga memiliki budaya kebanggaan. Ada
batik, wayang, tarian, serta makanan khas di setiap berbagai daerah, semua itu
unik dan harus selalu kita banggakan dan budayakan”. Hal ini lebih dari sekadar
kegiatan apresiasi budaya, tetapi juga membangun kesadaran kita semua bahwa Bhinneka
Tunggal Ika merupakan prinsip kehidupan, bukan hanya sebagai semboyan di
lambang negara.
Peran seorang guru dalam membangun
nasionalisme kini semakin penting, terutama ketika menghadapi tantangan terkini
seperti literasi digital yang semakin rendah dan krisis identitas bangsa. Dalam
situasi ini, guru berperan sebagai pemandu utama untuk literasi kritis mereka
dengan mengajak siswa dalam pembelajaran project based learning, seperti verifikasi
cerita sejarah yang sedang viral di media sosial, atau bahkan membuat konten
sikap yang mengandung nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari. Selain
itu, peran guru sebagai teladan (role model) juga sangat penting dalam
pembentukan karakter dan akhlak siswa.
Oleh karena itu, seorang guru bukan hanya
sebagai penjaga warisan budaya saja, melainkan seseorang yang juga dapat menginsipirasi
siswa-siswanya berkaitan dengan nilai kebangsaan yang di implementasikan dalam
kehidupan sehari - hari. Namun, upaya ini tidak akan berhasil tanpa dukungan
menyeluruh dari kebijakan pendidikan yang memberi pelatihan kepada guru dalam
pendekatan multikultural dan literasi digital. Tantangan terbesar kedepannya
bukanlah menolak globalisasi, tetapi bagaimana cara memastikan bahwa arus global
justru dapat menjadi penguat jati diri bangsa. Di sinilah guru dituntut untuk
tidak hanya menguasai materi-materi pelajaran, melainkan juga memiliki kepekaan
dan komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan yang diwujudkan dalam cara
mengajar dan tujuan pendidikannya. Karena nasionalisme yang benar-benar hidup
bukanlah sekedar teori belaka, melainkan praktik setiap hari yang dijalankan
oleh setiap guru di kelas dengan keyakinan bahwa mendidik adalah salah satu cara
yang mulia untuk menjaga keutuhan dan arah bangsa. Melalui penerapan-penerapan
seperti ini, nasionalisme tidak dianggap sebagai sesuatu yang kuno atau ketinggalan
zaman, tetapi sebagai sebuah identitas yang layak untuk dipertahankan. Oleh
karena itu, guru perlu mencari cara yang kreatif dalam mengajarkan nasionalisme
dengan metode yang kekinian dan relatable.
Sehingga pada akhirnya, keberhasilan peran
guru dalam menanamkan nilai-nilai nasionalisme tidak berdiri sendiri, melainkan
bergantung pada komitmen bersama dari berbagai pihak. Guru bukanlah satu-satunya
aktor, guru juga perlu dukungan dari pihak keluarga dan masyarakat. Di rumah,
orang tua dapat memperkuat nilai-nilai kebangsaan melalui percakapan
sehari-hari atau diskusi keluarga yang melibatkan cerita tentang sejarah bangsa
dan pentingnya persatuan. Sementara itu, masyarakat juga dapat berkontribusi
melalui kegiatan seperti upacara bendera, karnaval, festival budaya, atau
kegiatan lainnya yang menekankan identitas nasional sehingga menciptakan
lingkungan yang mendukung pembentukan karakter secara menyeluruh.
Pendidikan nasionalisme bukan hanya acara
seremonial sesaat, melainkan sebuah proses berkelanjutan yang berakar pada
kehidupan sehari hari. Guru sebagai garda terdepan memiliki kekuatan untuk
mengubah ruang kelas menjadi sebuah tempat yang mampu memupuk cinta tanah air. Tanpa
kesadaran guru akan kewajiban ini, nasionalisme hanya akan menjadi slogan yang
tertempel di dinding kelas. Namun ketika seorang guru mampu menyentuh hati
siswa, nasionalisme lebih dari sekadar konsep, tetapi menjadi nafas kehidupan
yang mengalir dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keputusan siswa. Pada kondisi
inilah kekuatan sejati bangsa tumbuh, bukan dari kekuatan militer ataupun
kekayaan alam melainkan dari karakter generasi muda yang kokoh berpijak pada
nilai-nilai kebangsaan, berhati luhur, dan bersemangat cinta tanah air.
0 Comments